Jakarta – Peran Indonesia sebagai salah satu negara yang kaya sumber daya alam, terutama minyak dan gas bumi (Migas), akan segera berakhir. Selain karena terus turunnya produksi minyak bumi (kurang dari 1 juta barel/hari), juga karena tidak jelasnya manajemen gas dalam negeri. Belum lagi munculnya banyak Peraturan Daerah yang memusingkan dan koruptif.
Berhubung gas merupakan energi primer murah yang dibutuhkan oleh PT PLN agar biaya pokok produksi (BPP) mendekati tarif dasar listrik (TDL) versi 2003, atau agar harga komoditas dapat bersaing dengan impor atau agar harga pupuk terjangkau oleh petani dan sebagainya, maka tata niaga gas perlu diatur dengan baik. Kelangkaan gas akan berakibat subsidi listrik akan membengkak (sudah pernah dibahas pada artikel terdahulu-Red), produk Indonesia tidak dapat bersaing dengan produk impor, petani sulit memperoleh pupuk, dan lain-lain.
Krisis energi gas di Indonesia telah dimulai awal tahun 2010 ini karena pasokan gas tidak seperti yang direncanakan oleh pemerintah. Sementara itu dengan membaiknya perekonomian global, permintaan atau kebutuhan gas di sektor industri dan ketenagalistrikan juga meningkat. Selain itu, patut diduga kelangkaan gas saat ini terjadi karena BP Migas sebagai regulator dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tidak mampu menangani sektor Migas dengan baik.
Terbukti saat rapat koordinasi dengan Menko Perekonomian awal minggu ini, BP Migas tidak dapat menunjukkan data pergasan Indonesia dengan tepat dan lengkap. Kalau begitu, lalu apa tugas BP Migas? Lebih baik dibubarkan saja.Namun ada baiknya kita lihat dari sisi kebutuhan dan ketersedian gasnya terlebih dahulu.
Permasalahan Yang Terjadi
Dari segi regulasi, tentu manajemen pergasan di Indonesia mengacu pada UU no 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan beberapa peraturan pelaksanaan UU tersebut. Salah satunya yang menyangkut persoalan manajemen pergasan, yaitu Peraturan Menteri ESDM No. 3 tahun 2010 tentang Alokasi dan Pemanfaatan Gas Bumi Untuk Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri. Pada Pasal 6 ayat (3) tertulis : “Penetapan kebijakan alokasi dan pemanfaatan gas bumi dilaksanakan dengan prioritas pemanfaatan gas bumi untuk : (a) peningkatan produksi minyak dan gas bumi; (b) industri pupuk; (c) penyediaan tenaga listrik; (d) industri lainnya.”
Jadi memang pasokan gas bukan diprioritaskan oleh pemerintah untuk ketenagalistrikan dan industri, tetapi untuk penyedotan minyak mentah (lifting), termasuk pada sumur minyak yang sudah tua dengan tujuan agar produksi minyak meningkat. Jadi memang secara umum kebutuhan domestik lainnya yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti pupuk (menyangkut kepentingan petani), listrik (menyangkut kepentingan publik), barang produksi (menyangkut tenaga kerja) diabaikan oleh Kementerian ESDM.
Bayangkan berapa banyak gas yang terbuang karena dipakai oleh para kontraktor minyak (yang umumnya asing) untuk mengangkat minyak dari perut bumi Indonesia? Apa memang hasil produksi minyak yang diangkat sebanding dengan jumlah gas yang dibuang? Bandingkan jika gas yang dibuang untuk mengangkat minyak itu dipakai oleh PT PLN, pabrik pupuk, pabrik gelas, pabrik keramik, dan lain-lain. Berapa nilai tambah yang bisa dihasilkan buat bangsa ini dan berapa tenaga kerja yang bisa direkrut oleh industri yang menggunakan gas sebagai energi primernya ? Menurut saya, ini pemborosan dan perlu diubah kebijakannya.
Coba kita ambil contoh, karena buruknya manajemen gas oleh BP Migas dan kementerian ESDM, maka saat ini PT PLN dan IPP kekurangan pasokan gas di bawah kontrak sekitar 340 MMSCFD. Jumlah ini berpotensi menghilangkan penghematan subsidi APBN untuk listrik sekitar Rp 14 triliun per tahun. Karena dalam APBN 2010, PT PLN tidak menganggarkan biaya BBM, maka akan terjadi pemborosan biaya BBM sekitar Rp 42 triliun per tahun. Kondisi ini membuat PT PLN kehilangan listrik sekitar 6.000 MW atau setara dengan tenaga listrik untuk sekitar 6.600 konsumen rumah tangga katagori 900 KVA. Bukan main !
Di sisi industri, mereka kekurangan pasokan gas sekitar 350 MMSCFD. Ini merupakan kebutuhan gas dari sekitar 650 industri. Artinya akan ada potensi hilangnya Produk Domestik Bruto (PDB) sekitar Rp 73 triliun per tahun dan yang lebih membuat kita miris adalah hilangnya sekitar 650.000 kesempatan kerja! Jadi aksi demo yang dilakukan serikat buruh hari Kamis 25 Maret 2010 lalu memang terkait dengan persoalan ini.
Jika 350 MMSCFD itu digunakan untuk produksi minyak bumi diperkirakan akan menghasilkan minyak sekitar 300.000 barel per hari atau hanya setara dengan pendapatan negara sekitar Rp 68 triliun per tahun atau lebih kecil daripada potensi hilangnya PDB. Tragis memang bangsa ini.
Tindakan Pemerintah
Krisis energi gas sudah terjadi, namun saya belum melihat langkah-langkah konkrit Pemerintah selain hanya rapat dan rapat. Sementara pekerja industri yang dirumahkan atau di-PHK akibat pabrik tidak bisa berproduksi juga semakin banyak.
Saran saya untuk menangani krisis energi, khususnya gas adalah :
1. Kurangi pasokan gas ke luar negeri sampai batas minimum supply yang tertera di kontrak
2. Kurangi penggunaan gas untuk lifting minyak mentah, khususnya untuk sumur-sumur tua. Ganti dengan batubara atau gunakan teknologi lain yang menguntungkan.
3. Benahi manajemen pergasan Indonesia termasuk segera membangun kilang penampung gas, prosedur kontrak penjualan, kewajiban penyediaan gas dalam negeri dalam skema DMO.
4. Bubarkan saja BP Migas karena patut diduga selama ini mereka tidak perform kecuali jalan-jalan ke luar negeri dengan biaya negara dan tidak menampilkan data yang benar ke Presiden
5. Selain itu seperti selalu saya ungkapkan di beberapa tulisan terdahulu, ada baiknya Presiden segera mengganti Menteri ESDM dengan orang yang lebih paham dan mampu mengelola sumber daya alam kita, khususnya migas.
Akhir kata, jangan korbankan sekitar 35% pendapatan negara di tangan para pihak yang kurang mampu mengelolanya. Tolong wahai para pemimpin negara ini jangan korbankan petani, buruh dan publik dengan cara-cara lama yang koruptif. Ingat tanpa pengelolaan energi primer yang baik kita akan kembali berada di zaman Flintstone, tanpa listrik, tanpa infrastruktur yang memadai.
Salam
*) Agus Pambagio (Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen).
sumber: detik.com (29/3/2010)
bagaimana bisa pro rakyat, penguasanya dan pengelola negeri ini tidak memiliki rasa takut sedikitpun kepada Allah SWT, buktinya bukan aturan Allah SWT yang dipakai tapi justru aturan yang dibuat untuk menyenangkan tuan-tuan mereka yang justru menjadi musuh Allah SWT.
Segera bertaubatlah wahai pengelola negeri ini, senyampang nyawa masih belum sampai ditenggorokan. Segera kembali ke jalan Allah SWT dengan syariah dan khilafah, insya Allah hidup mulia dan sejahtera.
Allahu Akbar