Setelah Presiden Mesir, Husni Mubarak mengumumkan pengangkatan Ahmad Al-Tayeb sebagai Syaikh Al-Azhar yang baru. Syaikh itu pun segera membuat pernyataan untuk menjelaskan kebijakannya dalam pengelolaan wilayah kekuasaan jabatan syaikh ini. Ia mengumumkan, bahwa ia akan meneruskan langkah-langkah pendahulunya, Sayed Thanthawi.
Ia menyatakan bahwa Al-Azhar telah membentuk sebuah komite untuk dialog antara agama, dan komite ini akan terus melakukan tugas-tugasnya dengan lebih baik.
Surat kabar “Asy-Syarq Al-Ausath” dalam edisi 21/3/2010 mempublikasikan hasil wawancaranya dengan Syaikh Al-Azhar yang baru. Dimana ia berkata: “Kami selalu menyerukan bahwa dialog harus berada jauh dari masalah akidah. Sebab dialog dalam masalah akidah hanya menciptakan polemik yang tidak berguna, dan hanya melahirkan kebencian. Namun, dialog yang produktif itu ada dalam pembagian yang sama.”
Ia berkata: “Salah satu prioritas saya selama periode mendatang adalah merealisasikan globalisasi Al-Azhar, dan penyebaran pendekatan (metode) Islam moderat yang dianut oleh Al-Azhar ke seluruh penjuru dunia.”
Pernyataan Ahmad Al-Tayeb, Syaikh Al-Azhar yang baru diangkat oleh rezim Mesir ini, kontan memicu reaksi dari kaum Muslim yang sadar, dan mereka menolak pandangan Syaikh yang baru ini. Sebab, pernyataannya ini jelas sekali bertentangan dengan Al-Qur’an, yang fokus membahas akidah (doktrin) agama-agama lain, dan membantahnya, khususnya akidah (keyakinan) Ahlul Kitab. Al-Qur’an tidak hanya berhenti di sini, bahkan Al-Qur’an menyerang mereka, dan membodohkan mereka akibat keyakinan mereka yang bathil, yang menjadi landasar pemikiran dan perilaku mereka, dan Al-Qur’an mengancam mereka dengan azab jahannam yang sangat pedih.
Sungguh! Karena kefanatikan mereka yang mendalam (buta), Syaikh Al-Azhar ini berpikir bahwa perdebatan dalam masalah akidah tidak melahirkan apa-apa selain kebencian saja.
Kaum Muslim, juga menolak apa yang disebut dengan jalan tengan dan moderat, sebab istilah ini asing bagi Islam, dan bahkan bertentangan dengan Islam. Al-Qur’an justru menjelaskan, bahwa Allah telah menjadikan kaum Muslim sebagai umat yang adil dan pilihan, agar mereka kelak menjadi saksi atas perbuatan manusia pada hari kiamat, bahwa mereka (kaum Muslim) telah menyampaikan kepada mereka agama Allah. Sehingga, dengan begitu mereka layak menjadi saksi, sebab mereka adil dan kesaksiannya dapat dipercaya.
Di sisi lain, Syaikh Al-Azhar yang baru ini bersikeras untuk mempertahankan keanggotaannya dalam Partai Nasional Demokratik yang sedang berkuasa, yaitu sebuah partai politik sekuler yang berdasarkan pada gagasan yang bertentangan dengan Islam dengan pertentangan yang sangat jelas, serta berhukum dengan selain yang diturunkan oleh Allah SWT. (kantor berita HT, 28/03/2010)
Al Harits bin Hauth berkata kepada Ali: “Apakah Anda mengira, kami menganggap Thalhah dan az-Zubair berada dalam kebathilan (saat Perang Jamal)? Maka ALi radhiya-Llahu ‘anhu menjawab: Wahai Harits (tampaknya) itu masih kabur bagimu. Sesungguhnya kebenaran tidak diketahui dari tokoh (rijal)-nya, tetapi kenalilah kebenaran itu sendiri, maka kamu akan mengetahui orangnya.” (Al Qurthubi, al-Jami’, Juz I/340)
“Sesungguhnya dari hamba-hamba Allah yang paling takut kepada-Nya adalah para Ulama'”.
Semakin jelas bagi kita siapa dia, bukan?