AS Bersikap Diskriminatif Soal Visa Bagi Nama Muslim

Muda, rapi, dan cerdas. Pria berkewarganegaraan Prancis ini jebolan institut teknologi jempolan di negerinya, sebelum akhirnya “terdampar” di Rothschild Paris, menjabat pada level manajer di kantornya. Dan kini, dia bersiap untuk berangkat ke Amerika Serikat untuk mengambil program master di universitas papan atas negeri itu, University of California at Berkeley.

Namun, ada satu pengecualian bagi pria muda cerdas itu: namanya Mohamed Youcef Mami.

Menurut laporan The Washington Post, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat tengah rajin-rajinnya menyensor pendatang bernama Islam. Pengurusan visa ke AS, katanya, bisa memakan waktu hingga dua bulan untuk “proses administrasi.” Yang sebenarnya, kata media itu merujuk pada omongan beberapa diplomat, adalah untuk pemeriksaan terhadap beberapa daftar yang dikelola oleh badan-badan intelijen di Washington dirancang untuk mencegah teroris masuk ke negara ini.

Sejak Presiden Barack Obama murka terhadap badan intelijen yang tidak mengirimkan peringatan sehingga Umar Farouk Abdulmutallab, warga Nigeria yang mencoba meledakkan sebuah pesawat penerbangan Amsterdam-Detroit pada Hari Natal tahun lalu, pemeriksaan telah diperkuat dan daftar telah berkembang. Proses visa kemungkinan besar mandek dan yang bersangkutan tidak memperoleh visa jika namanya mirip dengan tersangka teroris, keluarganya, atau orang dekatnya.

Dan, Mohamed Youcef Mami, ketiban pulung akibat sensor serampangan ini. Ia dipulangkan dari Miami ke Lyon dengan penerbangan pertama, tidak disertakan dalam penerbangan selanjutnya ke San Fransisco, kota tujuannya. Dan, tak seorang pun bisa menjelaskan padanya mengapa. Padahal, pendaftaran di program keuangan tekniknya di Berkeley hampir usai. Panggilan telepon, email, dan surat dari Barkeley berlalu begitu saja. karena tetap ia tak diizinkan melanjutkan penerbangan ke sana. “Saya didiskriminasi karena nama yang melekat pada saya. Kemana perginya pidato Obama di Kairo tentang pentingnya persahabatan dengan dunia Islam,” ujar pria 27 tahun ini.

Saat wartawan mengkonfirmasi soal ini ke Kedutaan AS di Paris, jawabannya sungguh mengejutkan. Menurut mereka, tak ada yang salah pada diri Mami. Visanya juga sudah dikeluarkan. Apakah karena dia memilih penerbangan murah, sementara dia akan menunut ilmu di Berkeley, itukah yang disoal?

Pihak keduber AS di Paris pontang-panting karena media membesarkan kasus ini, dan, “Semua berakhir seperti film Hollywood. Kabar terakhir saya bisa pergi lagi ke AS dan langsung ke Berkeley, tapi bagaimana nasib orang-orang lain yang bukan saya?” ujar Mami, yang memilih menutup buku soal keruwetan pengurusan visa dan berniat menyelesaikan studi secepatnya.

Tidak semua kasus berakhir dengan gembira. Said Mahrane, seorang Prancis nasional lahir di Aljazair dan dibesarkan di Perancis, mendapat visa wartawan untuk menemani Presiden Nicolas Sarkozy ke Washington minggu ini sebagai koresponden untuk majalah berita mingguan Le Point. Rekan-rekannya dari publikasi lainnya – dengan nama tradisional Prancis – mendapat visa mereka dalam beberapa hari. Tapi Mahrane tidak pernah muncul.

Ketika mendekati tanggal keberangkatan, katanya, penasihat kebijakan luar negeri Sarkozy, Jean-David Levitte, diminta Kedutaan Besar AS untuk menunjukkan bahwa Mahrane adalah seorang jurnalis Paris terkenal dengan Sarkozy mengenalnya. Tapi tetap tidak ada visa dan penjelasan. Sarkozy dan rombongan pers lepas landas sesuai jadwal, tapi Mahrane harus tinggal. “Saya pernah mendapat jawaban,” katanya, “apalagi visa.”

Seorang juru bicara Kedubes AS, yang berbicara tentang kondisi anonimitas karena sensitivitas subyek, mengatakan dia tidak bisa mengomentari kasus-kasus individu tetapi menambahkan bahwa kadang-kadang nama masuk ke dalam sistem pemeriksaan keamanan dan mendapatkan hit karena, seperti yang sering kasus dengan Muslim, itu adalah nama umum. “Ini tidak berarti bahwa dia adalah orang yang benar-benar ada dalam database,” katanya.

Jadi, singkat kata, simpul Washington Post, perlu kesabaran ekstra jika hendak bepergian ke AS dengan nama Muslim yang kita miliki. (republika.co.id, 1/4/2010)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*