Makelar kasus yang melibatkan salah seorang pegawai Ditjen Pajak, Gayus Tambunan, menyulut gerakan boikot pajak terutama di dunia maya, dan ini dikhawatirkan bakal mengancam penerimaan negara dari pajak. Hal itu sebagaimana disampaikan Ketua Badan Anggaran DPR Harry Azhar Aziz, Jumat (26/3). Bahkan sebagian orang berpendapat bahwa pajak adalah darah kehidupan (life blood) negara. Pajak dibayar negara tegak; pajak diboikot negara ambruk. Benarkah tanpa pajak, negara akan ambruk? Bagaimana posisi pajak dalam sistem ekonomi Islam? Benarkah pajak mewujudkan keadilan?
Berbagai upaya dilakukan oleh Dirjen Pajak untuk meningkatkan pendapatan negara dari pajak baik melalui penyadaran penting pajak dalam pembangunan maupun melalui iklan di media yang terkenal dengan semboyannya “Apa Kata Dunia?” Hasilnya memang luar biasa, pendapatan negara dari pajak semakin meningkat dari tahun ke tahun, misalnya pada 1989 sumber pendapatan negara dari pajak masih sekitar 51 persen tetapi pada 2006 pendapatan negara dari pajak meningkat menjadi 75 persen, sisanya dari pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan pinjaman.
Namun ironisnya, ketika rakyat digenjot untuk membayar pajak, pada saat yang sama pemerintah semakin mudahnya mengobral kekayaan alam dan barang tambang dengan harga murah. Hal itu dilakukan melalui projek privatisasi dan swastanisasi, yaitu penyerahan pengelolaan SDA ke swasta khususnya asing melalui peningkatan investasi yang dilegalkan melalui UU seperti UU SDA, UU Pertambangan Mineral dan Batubara, UU Penanamaan Modal, dan lain-lain. Akhirnya terjadilah kondisi yang ironis. Rakyat dikejar-kejar dengan pajak, sementara kekayaan barang tambang dan SDA lain yang melimpah ruah justru dinikmati perusahaan asing. Oleh karena itu, sebenarnya naiknya sumber pendapatan negara dari pajak semakin menunjukkan kokohnya ekonomi neoliberal yang diterapkan oleh pemerintah.
Pada sisi pengeluaran negara, fungsi pajak yang secara teorinya memiliki fungsi regulasi atau distribusi dari orang kaya untuk orang miskin ternyata baru sebatas iklan karena kenyataannya setiap APBN yang dihasilkan selalu tidak prorakyat. Sebagai contoh, APBN 2010 dinilai masih pro terhadap birokrasi dan kapitalis, hal ini bisa dilihat dengan menurunnya anggaran subsidi dari Rp 166, 9 triliun (RAPBN 2009) menjadi Rp 144,3 triliun (RAPBN 2010) sedangkan pengeluaran didominasi oleh peningkatan gaji dari Rp 133 triliun (RAPBN 2009) menjadi Rp 161 triliun (RAPBN 2010) dan pembayaran bunga utang yang sangat tinggi Rp 115 triliun.
Makelar kasus yang melibatkan Gayus, karyawan golongan III A di Ditjen Pajak yang menangani kasus keberatan pajak yang diajukan lebih dari seratus perusahaan semakin menambah kekecewaan para pembayar pajak. Yang terbayang di benak mereka, golongan III A saja mampu melakukan korupsi Rp 28 miliar, bagaimana dengan pejabat-pejabat yang ada di atasnya? Maka sebenarnya hal yang wajar ketika muncul fenomena boikot pajak karena bisa jadi para pembayar pajak menyadari bahwa ternyata pajak hanya sebagai alat eksploitasi untuk kepentingan para kapitalis dan birokrat.
Dalam sistem ekonomi Islam, penerimaan negara tidak boleh bertumpu pada pajak. Menurut Abdul Qadim Zallum dalam bukunya, Sistem Keuangan Negara dalam Sistem Islam, sumber pendapatan negara bertumpu pada pengelolaan negara atas kepemilikan umum seperti sumber daya alam di antaranya kekayaan hutan, minyak, gas, dan barang-barang tambang lainnya yang menguasai hajat hidup orang banyak. Pada pemilikan umum ini, hanya negara yang b erperan sebagai pengelola. Dengan demikian, syariat Islam melarang pemberian hak khusus kepada orang atau kelompok orang (swasta), apalagi swasta asing. Sayangnya, yang justru terjadi adalah banyak kekayaan alam (hasil hutan, minyak bumi, barang tambang, dan lain-lain)–yang sejatinya milik rakyat–diserahkan begitu saja kepada swasta bahkan swasta asing, atas nama swastanisasi dan privatisasi. Jutaan ton emas dan tembaga di bumi Papua, misalnya, diserahkan kepada PT Freeport, sedangkan miliaran barel minyak di Blok Cepu diserahkan kepada Exxon Mobil. Kontrak blok gas tangguh yang berpotensi merugikan negara Rp 750 triliun (25 tahun) diberikan ke Cina.
Oleh karena itu, yang kita butuhkan saat ini bukan pemimpin yang terus-menerus memoroti rakyat dengan pajak melalui iklan yang menyesatkan, tetapi yang kita butuhkan adalah pemimpin yang mampu mengembalikan kekayaan alam atau sumber daya alam milik rakyat (saat ini hampir 90 persen sumber daya alam kita dikuasai asing) dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Tentu hal ini akan terealisasi kalau kita kita bebas dari cengkeraman neoliberal dan menggantinya dengan sistem ekonomi yang manusiawi, yaitu sistem ekonomi berbasis syariah.***
(sumber: Pikiran Rakyat , selasa 13 April 2010 bisa diakses melalui http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=136386)
Penulis, Koordinator Mata Kuliah Ekonomi Syariah- Fakultas Pendidikan Ekonomi & Bisnis Universitas Pendidikan Indonesia dan kandidat Doktor Bidang Ilmu Ekonomi Unpad.
SE TU JU….
tanpa pajak, negara ambruk? BETUUL, itu kalo system negaranya berbasis sekuler kapitalistik. tapi kalo berbasis syariah meski tanpa pungutan yg membebani rakyat(pajak)negara akan tetap kokoh….
masak sih???? MARI BUKTIKAN
TERAPKAN SYARIAH, TEGAKKAN KHILAFAH
Beware of the media. Means, beware of any information that’s being spread through the media. Media often being used to spread B.S information(propaganda) of democrazy and capitalism.
e.g : “hari gini gak bayar pajak? Apa kata dunia?”, adalah salah satu di antara kebohongan publik yang gencar dipropagandakan.
@ MUADZ, GOOD STATEMENT, Masalahnya, berapa persen sih orang Indonesia yang berniat (*berminat) dengan system yg berbasis syariah?? buktinya tiap kali pemilu partai yg berbasis religiusitas (*islam) tidak mendapatkan vote yg memuaskan (kecuali Gus dur dl), Let’s back to syariah.
mulai saat ini mari kita boikot pajak karena pajak hanya sebagai alat eksploitasi untuk kepentingan para kapitalis dan birokrat…
PAJAK HARUS DI HENTIKAN,KARNA MENYENGSARAKAN RAKYAT.
Hari gini masih bayar Pajak ?? Apa kata dunia !!
*kok ga ada bedanya dengan sistem upeti dalam institusi kerajaan. Dzalim, menyakiti warga sendiri, menunjukkan pendeknya akal rejim politik!
” Pajak dibayar Negara tegak”
” Pajak diboikot Negara ambruk “???
” Orang bijak bayar pajak ” ???
” Petugas pajak maling pajak Rakyat ” !!!
” Petinggi Negara mengobral SDA RI ke pihak swasta & asing,
untuk kepentingan mereka ”
” Rakyat kelaparan dibiarkan saja ” ???
” APA KATA DUNIA DAN AKHIRAT “
bayar pajak? apa kata akhirat ??!!!
Kata firman Allah begini dalam QS 2:277 :
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
diatas disuruh ndak untuk membayar PAJAK ??? !!
“Hari gini gak bayar pajak? Apa kata dunia?”
“Dunia tidak akan berkata apa-apa.”
“Pajak hanya akan menjerat leher rakyat”
“Apalah artinya bayar pajak tapi rakyat diumbar.”
“Ambruk tidaknya sebuah negara bukan terletak pada pungutan pajak tapi pada aturan sistem yang diterapkan.Ayo terapkan Syari’ah di seluruh dunia……
Tanpa pajak, negara ambruk???
Yap… hanya negara bodoh yang akan ambruk
Bodoh dalam manajemen SDA
Bodoh dalam manajemen SDM
Negara meminta pajak kepada rakyat???
Seperti preman-preman yang minta uang di jalanan
Jika tidak diberi, otot bertindak (hukum)
Kemana para pejabat yang ngakunya pinter???
Kemana para pejabat yang ngakunya berpendidikan tinggi punya gelar S.E., M.M. dsb???
Kemana ilmu mereka???
Kok taunya hanya meminta kepada rakyat???
Padahal mereka dibayar untuk mengatasi permasalahan rakyat, kok malah nambah beban rakyat….
Apa mereka dulu diajari untuk menjadi preman rakyat???