JAKARTA- Kebijakan yang diambil pemerintah sudah semakin jauh dari kepentingan rakyat, khususnya golongan menengah ke bawah atau rakyat miskin.
Setelah mewacanakan pencabutan subsidi bahan bakar minyak (BBM) atau pembatasan penggunaannya, pemerintah bahkan “ngotot” pada Juli 2010 ini akan menaikkan tarif dasar listrik (TDL).
Padahal kebijakan ini hanya menambah beban bagi rakyat, tak terkecuali pelaku usaha kecil dan menengah (UKM). Pemerintah sendiri seakan mengabaikan dampak berantai dari kenaikan TDL tersebut, seperti kenaikan harga barang-barang serta jasa/layanan publik.
“Jika alasannya untuk menahan lonjakan subsidi, jelas bahwa kebijakan pemerintah ini sudah tidak pro kepada rakyat miskin. Tidak benar bila dikatakan subsidi listrik ini tidak membebani rakyat miskin. Pemerintah harus melihat dampaknya. Rakyat miskin akan terus terbelenggu dengan kemiskinan yang semakin parah akibat dampak kenaikan TDL ini,” kata Managing Econit Advisory Group Hendri Saparini kepada Suara Karya di Jakarta, Minggu (26/4).
Menurut Hendri, kenaikan TDL yang sudah menjadi pilihan pemerintah akan memberi efek domino, karena pada akhirnya harga barang di pasar juga ikut naik. Sementara di kalangan rakyat miskin, selain beban tarif, efek kenaikan harga menjadi masalah serius yang belum tentu dapat diselesaikan.
“Dikhawatirkan rakyat miskin semakin terbelit utang dan tidak bisa membayar listrik. Harga kebutuhan pokok menjadi sulit terpenuhi. Ini masalah serius yang bisa berdampak luas, baik secara sosial maupun ekonomi itu sendiri,” tutur Hendri.
Apabila rakyat golongan bawah tidak mampu memenuhi kebutuhan, termasuk membayar tarif listrik yang dinaikkan tersebut karena pendapat tidak bertambah, menurut Hendri, risiko sosial pun muncul. Hal ini juga akan berdampak pada PLN seperti tunggakan membengkak.
Sementara kenaikan TDL yang sudah direncanakan sejak RAPBN 2010, menurut Hendri, akhirnya menimbulkan berbagai tanggapan yang sebenarnya tidak perlu terjadi jika sejak awal pemerintah tegas dalam kebijakan dengan mengutakan kebutuhan energi dalam negeri.
Jika akhirnya diputuskan TDL naik pada Juli tahun ini, maka ini hanya sebuah bentuk ketidakmampuan pemerintah mengelola anggaran. “Jadi seolah-olah pemerintah memberi subsidi, tetapi kenaikan TDL itu ditanggung semua orang, termasuk orang miskin. Jadi, subsidi juga menjadi beban mereka,” ujarnya.
Dalam hal ini, kebijakan energi nasional harus diarahkan untuk memenuhi kebutuhan energi nasional yang benar-benar segera dilaksanakan. “Kalau pemerintah mengatakan kebijakan energi nasional sudah diarahkan pada pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri, jangan ditunda-tunda,” tutur Hendri.
Terkait hal itu, Kepala Badan Pusat Statistik (PBS) Rusman Heriawan memperkirakan kenaikan TDL sebesar 15 persen pada bulan Juli nanti, akan menambah angka inflasi di kisaran 0,36 persen hingga 0,4 persen. “Itu baru direct impact. Kalau kenaikan TDL ini diikuti dengan kenaikan harga-harga yang lain, maka tambahannya 0,4 persen,” ujarnya.
Menurut dia, tambahan angka inflasi hingga 0,4 persen tersebut telah dimasukkan dalam perhitungan angka inflasi dalam rancangan anggaran pendapatan belanja negara perubahan (RABNP) 2010 yang dipatok di level 5,3 persen.
Namun, kata dia, jika tidak ada kenaikan TDL kami perkirakan inflasi itu di kisaran 4,5-4,8 persen. Karenanya, untuk mengamankan inflasi dari kenaikan TDL dan hal-hal lainnya maka asumsi angka inflasi dalam RAPBNP 2010 dipasang di angka 5,3 persen.
Seperti diketahui, pemerintah berencana untuk menaikkan TDL dengan rata-rata kenaikan sebesar 15 persen pada bulan Juli mendatang. Dengan kenaikan 15 persen saja, pemerintah masih harus menambah subsidi listrik dari Rp 37,8 triliun dalam APBN 2010 menjadi Rp 54,5 triliun dalam RAPBNP 2010. Namun jika TDL batal dinaikkan, maka subsidi akan bertambah Rp 7,3 triliun.
Selain masih tarik-menarik soal rencana kenaikan TDL yang mengakibatkan alotnya pembahasan RAPBNP di Komisi VII DPR, pemerintah dan Komisi VII DPR juga belum menyepakati masalah target lifting dan produksi minyak mentah hingga saat ini.
Karena itu, Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Harry Azhar Azis mendesak Komisi VII dan pemerintah untuk segera memutuskan target lifting dan produksi minyak. Banggar memberikan tenggat waktu kepada Komisi VII dan Pemerintah sampai dengan 26 April 2010 pada pukul 16.00 WIB.
“Untuk lifting minyak dan harga minyak belum bisa diputuskan karena Komisi VII belum memberikan rekomendasi sebagai acuan keputusan Banggar seperti diatur dalam UU Nomor 27/2009 tentang MD3 dan Tatib DPR. Banggar putuskan masih berikan waktu pada Komisi VII dan mitra kerjanya sampai dengan Senin, 26 April 2010, jam 16.00,” ujar Harry dalam pesan singkatnya kepada Suara Karya.
Menurut Harry, desakan ini disampaikannya mengingat Panja Asumsi, Pendapatan, Defisit dan Pembiayaan Banggar DPR bersama Pemerintah pada 23 April 2010 telah memutuskan asumsi makro APBNP 2010, yakni pertumbuhan ekonomi 2010 sebesar 5,8 persen, inflasi 5,3 persen, nilai tukar Rp 9.200 per dolar AS dan SBI 3 bulan 6,5 persen, sehingga kelanjutan pembahasan RAPBNP 2010 hanya menunggu usulan lifting dan ICP saja.
Dia menambahkan, bila Komisi VII dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tidak juga dapat memutuskan sampai dengan batas waktu yang ditetapkan maka kemungkinan pembahasan RAPBN-P di Banggar terganggu.
“Jadwal akan berubah bahkan pembahasan Panja Asumsi di Banggar bisa tidak selesai sesuai perintah UU MD3 di mana membatasi waktu pembahasan hanya satu bulan masa sidang setelah RAPBNP diajukan Presiden,” tutur Harry. (www.suarakarya-online.com, 26/4/2010)
sampai kapanpun kalau tetap pakai sistem demokrasi rakyat kecil gak akan bs hidup makmur. Sing mlarat yo tambah mlarat.
Sistem Islam lah yang akan mensejahterakan setiap warganya.
Kalau tidak percaya Bahwa sistem islam bisa mensejahterakan setiap warga negaranya, silahkan di buktikan sendiri. Mari kita berjuang bersama untuk menyerukan kpd pemerintah u/ mngganti sistem bathil ini dgn sistem Islam, yg hukum dan aturan² mainnya lgsg dari Allah SWT yang menciptakan kita semua. ALLahu AKBAR….