PARIS- Ketegangan antara pemerintah Prancis dan komunitas Muslim di negara itu meningkat sesudah seorang wanita ditilang karena mengenakan burkah sewaktu mengemudikan mobil. Sebuah masjid di Istres, sebuah kota barat laut dari Marseille, dihujani sekitar 30 peluru yang ditembakkan oleh kelompok bersenjata pada dini hari Ahad, menurut polisi. Kini, persoalan meluas tak hanya seputar boleh tidaknya wanita bercadar menyetir, tapi ke soal poligami.
Pekan lalu, Muslimah berusia 31 tahun itu diberhentikan oleh dua orang polisi dan didenda 40 dollar karena mengemudikan mobil dengan penglihatan yang terhalang oleh burka. Ia menyatakan naik banding karena hak asasinya dilanggar oleh Menteri Imigrasi Prancis yang sedang menginvestigasi laporan bahwa suaminya mempunyai 12 orang anak dari empat orang istri yang semuanya mengenakan burkah dan menerima tunjangan sebagai wanita lajang.
Kementerian Dalam Negeri Prancis mengancam akan mencabut kewarganegaraan Hebbadj, suami perempuan itu. Hebbadj dalam sebuah konferensi pers pada hari Senin berpendapat bahwa hukum Prancis tidak melarang poligami. “Sejauh yang saya tahu, itu tidak dilarang di Perancis, juga bukan dilarang di bawah Islam,” kata Hebbadj, yang mengelola toko daging halal di barat kota Nantes. “Mungkin di bawah iman Kristen, tetapi tidak di Perancis.”
Ia menyatakan, sangat banyak warga Prancis yang memiliki gundik. “Jika Anda kehilangan kewarganegaraan Perancis Anda untuk memiliki gundik, maka banyak orang Perancis akan kehilangan kewarganegaraan mereka.”
Menteri Imigrasi Eric Besson sedang menyelidiki apakah Hebbadj harus kehilangan kewarganegaraan Perancis, yang dia dapatkan setelah menikah dengan wanita Perancis pada tahun 1999, meskipun ia telah tinggal di Perancis sejak usia dua tahun.
Kontroversi Hebbadj dan istrinya datang sebagai pemerintah sedang mempersiapkan undang-undang untuk melarang pemakaian cadar. Sebuah RUU tersebut akan dipresentasikan bulan depan.
Presiden Nicolas Sarkozy mengatakan tabir penuh, yang dikenal sebagai burqa atau niqab, adalah tidak diterima di Prancis. Pakaian itu, katanya, adalah merupakan sebuah penghinaan terhadap nilai-nilai Prancis yang menghormati perempuan. (republika.co.id, 27/4/2010)