Mewaspadai Isu Terorisme

Oleh:Akhiril Fajri | Humas DPD 1 Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Lampung

Isu terorisme di Indonesia kembali mencuat. Padahal, isu terorisme itu telah lama tenggelam namun sekarang muncul lagi. Ada beberapa kejanggalan di balik mencuatnya isu terorisme tersebut. Antara lain orang-orang yang diduga teroris setelah digerebek selalu ditembak mati. Kenapa tidak ditangkap hidup-hidup agar bisa diminta keterangan yang sebenarnya dari mereka?

DARI setiap penggerebekan/penembakan mati mereka-mereka yang baru terduga teroris, polisi dan media begitu cepat menyimpulkan dan memberi keterangan ke publik bahwa mereka yang diduga teroris tersebut terkait jaringan tertentu. Seperti gerakan jamaah Islamiyah. Masyarakat juga seolah dipaksa menerima opini publik yang diciptakan media melalui keterangan polisi yang mengatakan teroris sering diidentikkan dengan orang Islam dan simbol-simbol Islam. Seperti alumni pesantren, pria berjenggot, wanita bercadar, dan sebagainya.

Jika dicermati, akar terorisme atau kekerasan di tengah-tengah kaum Muslim bisa terjadi karena beberapa kemungkinan. Pertama, adanya pemahaman agama yang keliru. Dalam hal ini harus diakui bahwa ada sebagian orang/kelompok Islam yang menjadikan teror atau kekerasan atas nama jihad sebagai bagian dari upaya melakukan perubahan masyarakat. Mereka ini pada dasarnya tidak memahami thariqah (metode) Rasulullah SAW —yang sebetulnya tidak pernah menggunakan kekerasan—selama dakwahnya pada Periode Makkah. Bahkan, aksi jihad (perang) baru dilakukan Rasulullah setelah berdirinya Daulah Islam di Madinah yang sekaligus saat itu beliau menjadi kepala negaranya. Artinya, jika orang/kelompok dakwah konsisten memahami bahwa kondisi saat ini sama dengan kondisi Makkah, maka thariqah dakwah Rasulullah di Makkah—yang tidak pernah menggunakan aksi-aksi kekerasan—itulah yang harus dicontoh saat ini.

Kedua, adanya faktor luar berupa terorisme yang dilakukan negara-negara penjajah seperti AS dan sekutunya di negeri-negeri Islam. Inilah yang disebut dengan terorisme negara (state terrorism). Terorisme negara ini telah menimbulkan ketidakadilan yang memicu kebencian yang mendalam di Dunia Islam sehingga mendorong sejumlah aksi-aksi perlawanan tidak hanya di wilayah kekerasan, tapi juga di sejumlah wilayah lain.

Ketiga, adanya operasi intelijen demi melakukan stigmatisasi dan monsterisasi terhadap Islam dan kaum Muslim. Diakui atau tidak, operasi ini sering dilakukan oleh intelijen asing secara langsung maupun dengan ’meminjam’ tangan-tangan lain.

Pengamat intelijen Wawan Purwanto pernah membuat kesaksian yang mengejutkan dalam bukunya yang berjudul ”Terorisme Undercover” membeberkan Nordin dan Dr. Azhari hanyalah pelaku lapangan yang dibayar. Hal tersebut membuktikan adanya keterlibatan asing dalam terorisme di Indonesia.

Pakar intelijen AC Manullang yang juga mantan Direktur Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) pun berpendapat Noor Din hanya dipakai kekuatan asing untuk menjelek-jelekan Islam dan terorisme adalah bagian dari kegiatan intelijen.

Dari tiga kemungkinan di atas, sebagian kalangan, termasuk pemerintah, sayangnya terkesan hanya fokus pada kemungkinan pertama. Sebaliknya, dua kemungkinan terakhir sering diabaikan. Padahal, dua kemungkin terakhir inilah yang pada faktanya menjadi faktor utama dari mencuatnya kasus-kasus terorisme.

Mengapa, misalnya, tidak ada satu pun pihak, termasuk Pemerintah, yang mempersoalkan tindakan terorisme AS dan sekutu-sekutunya terhadap Irak, Afganistan, Pakistan, Palestina, Somalia, dan lainnya yang nyata-nyata telah menewaskan jutaan manusia? Padahal jelas, siapa pun yang ingin serius memberantas terorisme sampai ke akar-akarnya seharusnya berupaya menghilangkan sumber utama munculnya terorisme itu. Yakni dengan menghentikan langkah-langkah AS yang biadab dan kejam ini.

Lalu menyangkut faktor ketiga, sejumlah aksi terorisme, seperti peledakan gedung WTC pada 11 September 2001 sampai sekarang tidak dapat dibuktikan bahwa itu betul-betul tindakan teroris yang didalangi Osama bin Laden. Sudah banyak pengamat Barat (AS) sendiri menyebut kasus Peledakan WTC 11 September 2001—yang menjadi pemicu awal isu terorisme—sebagai penuh rekayasa dan sangat mungkin didalangi pemerintahan AS sendiri demi proyek jangka panjangnya: Perang Melawan Terorisme.

Demikian pula di dalam negeri, yakni Kasus Bom Bali 1 dan 2, juga Kasus Bom Marriot 1 dan 2, yang juga sangat mungkin merupakan hasil ’kerjaan intelijen’ asing. Ini karena banyaknya kejanggalan dalam kasus tersebut yang sudah banyak diungkap para pengamat. Tujuannya tidak lain, lagi-lagi demi terus-menerus memojokkan Islam dan kaum Muslim.

Walhasil jika pemerintah terus-menerus mengabaikan dua faktor terakhir ini, kasus-kasus terorisme akan sangat sulit diselesaikan, karena kasus-kasus tersebut memang dikehendaki pihak asing. Yakni negera-negara penjajah seperti AS dan sekutunya demi terwujudnya target mereka: terus memojokkan sekaligus melemahkan kekuatan Islam dan kaum Muslim.

Karena itu, seluruh komponen umat Islam, khususnya para ulama dan intelektualnya, juga kalangan pesantren serta berbagai organisasi dan partai Islam, sudah seharusnya bersatu dan menyatukan sikap dalam isu terorisme. Pertama, umat tidak boleh mudah untuk saling curiga, juga tidak terpancing oleh provokasi apa pun yang bisa semakin menambah keruh suasana. Semua informasi yang disampaikan media juga harus dicek. Allah Swt berfirman, ”Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti agar kalian tidak menimpakan suatu musibah atas suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kalian menyesal atas perbuatan kalian itu.” (TQS al-Hujurat [49]: 6)

Kedua, umat harus mulai bersikap kritis dan waspada terhadap setiap upaya yang berusaha mengaitkan aksi-aksi terorisme dengan gerakan Islam, dakwah Islam; juga dengan wacana syariah dan Khilafah Islam; atau dengan Islam itu sendiri. Sebab, itulah justru yang selama ini dikehendaki mereka demi mencitraburukkan Islam dan kaum Muslim yang pada akhirnya melemahkan kekuatan Islam dan semakin melanggengkan sekularisme. Semua itu hakikatnya adalah makar mereka terhadap Islam dan kaum Muslim.

Allah Swt berfirman, ”Sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka pun telah mengadakan makar. Lalu Allah menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya, lalu atap (rumah itu) jatuh menimpa mereka dari atas, dan datanglah azab itu kepada mereka dari tempat yang tidak mereka sadari.”(TQS an-Nahl [16]: 26)

Umat harus menyadari bahwa mereka (AS) juga secara sistematis melemparkan propaganda yang mencitraburukkan Islam seperti mengaitkan Islam dengan terorisme, fundamentalisme, ekstremisme, dan sebutan-sebutan negatif  lainnya. Padahal dalam kamus Islam tidak ada itu Islam sebagaimana halnya di atas. Karenanya, kenapa stigma-stigma miring itu muncul karena demi satu hal: memberangus Islam sebagai kekuatan politik dan ideologis sekaligus semakin melanggengkan penjajahan mereka, dengan melanggengkan sekularisme dan kapitalisme di negeri ini. serta memecah belah umat sehingga akhirnya munculnya di tengah-tengah masyarakat sikap curiga terhadap para dai-dai atau pendakwah.

Ketiga, umat harus terus meningkatkan aktivitas dakwah dan perjuangan demi tegaknya syariah Islam melalui institusi Khilafah. Allah Swt berfirman: Katakanlah, “Bekerjalah kalian. Pasti Allah dan Rasul-Nya serta kaum Mukmin akan melihat pekerjaan kalian itu..” (TQS at-Taubah [9]: 105) Hanya dengan syariah dan khilafah umat ini bisa mengatasi segala persoalan yang mereka hadapi, termasuk yang diakibatkan propaganda Perang Melawan Terorisme. Wallâhu a’lam bi ash-shawab.

Sumber: radarlampung.co.id (17/5/2010)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*