Ibn Arabi Pendukung Pluralisme Agama, Benarkah?

JAKARTA- Meskipun lebih dikenal sebagai tokoh Sufi, Ibn ‘Arabi juga kampium dalam studi agama-agama. Ia bernama lengkap Abu Bakr Muhammad ibn al‘Arabi al-Hatimi al-Tai, asal Murcia, Spanyol. Ia lahir tanggal 17 Ramadhan 560 H/28 Juli 1165 dan meninggal pada 16 November 1240 bertepatan tanggal 22 Rabiul Akhir 638 pada usia tujuh puluh tahun.

Oleh para pengikutnya, Ibn Arabi diberi julukan ”Syaikh al-Akbar” (Sang Mahaguru) atau”Muhyiddin” (”Sang Penghidup Agama”). Ayahnya adalah pegawai penguasa Murcia, Spanyol. Ketika Ibn ’Arabi berusia tujuh tahun, Murcia ditaklukkan oleh Dinasti al Muwahiddun (al-Mohad) sehingga ayahnya membawa pergi keluarganya ke Sevilla.

Pada tahun 620/1233, Ibn ’Arabi menetap secara permanen di Damaskus, tempat sejumlah muridnya, termasuk al-Qunawi yang menemaninya sampai akhir hayat. Selama periode tersebut, penguasa Damaskus dari Dinasti Ayyubiyah, Muzhaffar al-Din merupakan salah seorang muridnya. Ibn ‘Arabi wafat di Damaskus pada 16 November 1240 bertepatan tanggal 22 Rabiul Akhir 638 pada usia tujuh puluh tahun.

Ibn ‘Arabi telah menulis 289 buku dan risalah. Bahkan menurut Abdurrahman Jami, ia telah menulis 500 buku dan risalah. Sedangkan menurut al-Sya’rani, karya Ibn Arabi berjumlah 400 buah. Di antara karya Ibn Arabi yang paling terkenal adalah al-Futûhat al-Makkiyyah, Fushûshul Hikam, dan Turjumân al-Asywâq.

Beberapa dasawarsa terakhir Ibn ‘Arabi oleh sebagian kalangan sering diklaim sebagai pelopor paham Pluralisme Agama. Dr Syamsuddin Arif menyebut, nama Ibn ‘Arabi dicatut dan dijadikan bemper untuk membenarkan konsep ‘agama perennial’ atau religio perennis yang dipopulerkan oleh Frithjof Schuon, Seyyed Hossein Nasr dan William C Chittick dalam tulisan-tulisan mereka.

Padahal Ibn ‘Arabi tegas menyatakan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang sah di dalam pandangan Allah SWT. Setelah Nabi Muhammad SAW diutus, maka pengikut agama-agama para Nabi sebelumnya, wajib beriman kepada Nabi Muhammad SAW dan mengikuti syariatnya. Sebab, dengan kedatangan sang Nabi terakhir, maka syariat agama-agama sebelumnya otomatis tidak berlaku lagi.

Dr Mohd Sani bin Badrun, alumnus ISTAC-IIUM, dalam tesisnya berjudul “Ibn al-‘Arabi’s Conception of Religion”, menegaskan bahwa menurut Ibn Arabi, syariat para Nabi terikat dengan periode tertentu, yang akhirnya terhapuskan oleh syariat Nabi sesudahnya. Hanya Alquran, menurutnya, yang tidak terhapuskan. Bahkan Alquran menghapuskan syariat yang diajarkan oleh Kitab-kitab sebelumnya. Karena itu, syariat yang berlaku bagi masyarakat, adalah syariat yang dibawa oleh Nabi terakhir.

Salah satu kesimpulan penting dari teori agama-agama Ibn Arabi yang diteliti oleh Dr Mohd Sani bin Badrun adalah: “Kaum Yahudi wajib mengimani kenabian Isa AS dan Muhammad SAW. Kaum Kristen juga wajib beriman kepada kenabian Muhammad SAW dan Alquran. Jika mereka menolaknya, maka mereka menjadi kafir.” Bahkan, Ibn Arabi pun berpendapat, para pemuka Yahudi dan Kristen sebenarnya telah mengetahui kebenaran Muhammad SAW, tetapi mereka tidak mau mengimaninya karena berbagai faktor, seperti karena kesombongan dan kedengkian.

Menurut Ibn ‘Arabi, sebagaimana dikutip oleh Dr Mohd Sani bin Badrun, tanda paling nyata kebenaran Muhammad saw adalah Alquran, yang diturunkan dalam bahasa Arab yang secara mutlak tidak dapat ditiru oleh orang-orang Arab sendiri (al-Futûhat, 3:145). Bahkan beliau bertanya secara retoris, “Apalagi tanda yang lebih bermukjizat selain daripada Alquran?” (al-Futûhat, 4:526). Alquran juga mendatangkan apa yang sebagiannya telah disampaikan oleh kitab-kitab terdahulu yang Muhammad tidak tahu isi kandungannya melainkan melalui dari Alquran.

Menurut Sani, Ibn ‘Arabi justru meyakini bahwa orang-orang Yahudi, Nasrani, ahli-ahli kitab (ashab al-kutub) pasti tahu bahwa Alquran adalah bukti dari Allah akan kebenaran Muhammad (al-Futûhat, 3:145). Oleh karena mereka yang mendustakan kebenaran Nabi Muhammad bakal diazab Tuhan karena Ia telah menurunkan Alkitab dengan haq dan sesungguhnya orang-orang yang berselisih itu benar-benar dalam penyimpangan yang jauh (al-Futûhat, 4:526).

Ibn ‘Arabi juga menegaskan bahwa para pemimpin ahli kitab telah menyesatkan pengikut mereka dengan memerintahkan apa yang tidak pernah dikatakan Allah, bahkan menyatakan kepada pengikutnya bahwa “ini dari Tuhan”. Seperti dalam Alquran, Ibn ‘Arabi mengumpamakan para pemimpin ahli kitab itu seperti orang yang diberi kitab tapi dilemparkan ke punggung mereka dan menjualnya dengan harga yang murah.

Mereka berbuat demikian karena sikap sombong (uluww). Sebagai fakta sejarah, ini cukup untuk menjadikan agama ahli kitab sebagai ‘agama hawa nafsu’ pemimpin mereka yang menyalahi kandungan Kitab mereka yang asal (al-Futûhat, 1:303). Menurut Ibn ‘Arabi, ‘agama hawa nafsu’ ini terlembagakan di kalangan Yahudi dan Nasrani yang akibatnya kebenaran Nabi Muhammad SAW tersembunyi dari pengikut ahli kitab.

Karena itu, dengan membaca karya-karya Ibn ‘Arabi secara serius, sangat keliru jika memasukkan sang tokoh ini ke dalam barisan Transendentalis, yang memandang bahwa semua agama sebenarnya jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan dan akan bertemu pada level esoteris. Menurut Dr Sani, kekacauan terbesar soal pemikiran keagamaan Ibn Arabi muncul dari karya William Chittick, Imaginal World: Ibn al‘Arabi and the Problem of Religious Diversity. Namun masih banyak kaum Muslimin yang salah dalam membaca pemikiran Ibn ‘Arabi karena mengikuti pemikiran pemikir Barat tersebut. (republika.co.id, 22/5/2010)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*