Sydney – Bank Indonesia (BI) diguncang isu suap dari Bank Sentral Australia (RBA) untuk pencetakan uang pecahan Rp 100.000. Suap itu diduga melibatkan pejabat senior BI berinisial ‘S’ dan ‘M’.
Perwakilan anak usaha RBA di Indonesia, Radius Christanto, antara tahun 1999 hingga 2006 secara eksplisit disebut mereferensikan nilai suap yang besar ke pejabat BI, seperti tertuang dalam fax ke Securency International and Note Printing Australia atau Peruri Australia pada 1 Juli 1999.
Menurut korespondensi Christanto melalui fax yang dilansir dari harian The Age, Selasa (25/5/2010), Christanto menerima komisi dari Securency/NPA senilai US$ 3,65 juta melalui rekening di bank Singapura, sesaat setelah dia membantu memenangkan kontrak dari BI pada tahun 1999.
Ia juga mengindikasikan dua pejabat senior berinisial ‘S’ dan ‘M’ menerima US$ 1,3 juta atau sekitar Rp 12 miliar dari anak usaha Reserve Bank of Australia (RBA) untuk memenangkan kontrak itu.
Korespondensi antara Christanto dengan anak usaha RBA itu juga menunjukkan adanya kolusi antara pejabat BI, Christanto dan pejabat surat berharga RBA untuk menggelembungkan nilai kontrak pencetakan uang pecahan menjadi 20 per sen dengan sebuah kesepakatan untuk kemudian dipangkas menjadi 10 per sen.
Dokumen itu juga menunjukkan rencana pejabat BI, Christanto dan pejabat senior RBA itu untuk melakukan kecurangan dalam tender ke depan untuk mencegah perusahaan rival memenangkan kontrak.
Dalam kesepakatan itu, anak usaha RBA akan membayar penalti US$ 344.000 untuk keterlambatan pengiriman uang tersebut. Menurut seorang pejabat, penalti itu dibagi secara resmi dan tidak resmi kepada pejabat BI.
RBA merupakan bank sentral sekaligus otoritas pencetak uang di Australia. Securency/NPA yang setengah sahamnya dikuasai RBA mencetak uang di hampir 30 negara, termasuk Indonesia.
Pada tahun 1999, BI memang memutuskan untuk mencetak uang plastik Rp 100.000 di Australia. Pencetakan uang di Australia itu sempat memunculkan protes dari Peruri yang mengaku sebenarnya sanggup mencetak dan menerima order dari BI.
Ketika kasus itu terjadi, RBA dipimpin Gubernur Bob Rankin, sementara Securency/NPA dipimpin oleh mantan Deputi Gubernur RBA, Graeme Thompson. Sedangkan Bank Indonesia ketika itu dipimpin oleh Gubernur BI Sjahril Sabirin. Sjahril memimpin BI pada periode 1998 hingga 2003 sebelum akhirnya diganti oleh Burhanuddin Abdullah.
Kasus suap ke pejabat senior Bank Indonesia itu mencuat setelah sebelumnya kasus suap dari pejabat RBA muncul di sejumlah negara. Sejauh ini investigasi Australian Federal Police (AFP) memfokuskan pada suap dari Securency International senilai 20 juta dolar Australia kepada sejumlah pejabat bank sentral di Vietnam, Nigeria dan Malaysia untuk memenangkan kontrak pencetakan uang di negara-negara tersebut selama periode tahun 2003 dan 2006. (detik.com, 25/5/2010)