JAKARTA – Mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani mewariskan utang yang cukup besar bagi para pembayar pajak. Selama lima tahun mengurus keuangan negara, total utang Indonesia bertambah Rp 275 triliun menjadi Rp 1.588 triliun.
Tumpukan utang terbanyak berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara dengan bunga cukup tinggi, mencapai 15,5 persen. Jatuh tempo SBN paling besar terjadi pada 2012.
Berdasar kan data Kementerian Keuangan, pada 2005 jumlah total utang Indonesia sebesar Rp 1.313 triliun dan posisi sementara Mei 2010 mencapai Rp 1.588 triliun. Dalam lima tahun terakhir, pemerintah terlihat mengerem utangnya ke pihak asing, ada penurunan Rp 47 triliun. Namun, pengereman ini dibalas dengan lonjakan utang domestik karena bertambah Rp 322 triliun.
Ini belum memperhitungkan pembayaran cicilan pokok utang dan bunga utang asing serta jatuh tempo dan pembelian kembali surat utang di APBN. Di APBN-P 2010 saja, pembayaran cicilan pokok utang asing mencapai Rp 54,1 triliun dan bunga utangnya mencapai Rp 105,6 triliun. Jumlah ini setara dengan seperlima pos pendapatan dan hibah 2010 yang sebesar Rp 992 triliun.
Direktur Pengelola Econit, Hendri Saparini, mengatakan, pemerintah menerapkan kebijakan anggaran yang keliru karena bertumpu pada utang. Kebijakan APBN yang relatif aman adalah bertumpu pada penerimaan negara, seperti pajak dan nonpajak. Terutama negosiasi ulang kontrak migas dan tambang.
Hendri meminta pemerintah terus mengevaluasi utang-utang yang ada, khususnya utang yang belum dilaksanakan. Berdasarkan data Kemenkeu, jumlah utang yang belum digunakan mencapai rata-rata 10 miliar dolar AS per tahun. Dengan kondisi ini, Hendri berpendapat situasi utang Indonesia berbahaya.
”Pemerintah selalu menyatakan utang turun karena dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB). Memang, utang turun dilihat dari sana, tapi stok utang justru naik. Kesannya (utang) aman, padahal kan tidak,” kata Hendri, Senin (24/5).
Pada Maret 2010 rasio utang Indonesia 27 persen terhadap PDB. Angka ini diklaim aman oleh pemerintah.
Mantan menkeu, Fuad Bawazier, menilai, dilihat dari rekam jejak utang, peran Sri Mulyani bisa dibilang merugikan negara. “Sri Mulyani itu sibuk menambah utang negara saja. Itu sangat merugikan kita,” katanya. Apalagi, lanjut Fuad, konsep ekonomi makro yang dijalankan Sri membuat suku bunga kredit menjadi tinggi sehingga pengusaha kesulitan membuka usaha dan ekspansi.
Peran Presiden
Ketua Komisi Keuangan Negara (XI) DPR, Emir Moeis, membela Sri Mulyani. Ia menegaskan, Sri tidak sepenuhnya disalahkan karena menjalankan kebijakan pemerintah yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Menurutnya, kepemimpinan SBY memilih kebijakan utang berdasarkan sistem defisit besar. Sayangnya, ia menilai sistem ini gagal.
“Sistem ini tidak berhasil. Sebelum SBY, policy utang kita kan zero deficit. Pemerintah ini telah terjebak oleh kebijakan defisit besar,” kata Emir.
Masalah lainnya, utang di APBN juga tidak mampu menggerakkan proyek infrastruktur yang padat karya. “Utang bu kan ke infrastruktur, tapi beralih ke tempat lain. Anggaran meningkat, tapi pembangunan minim,” papar Emir.
Hendri dan Emir sepakat, bila Indonesia ingin mengurangi utang, perlu ada terobosan baru oleh Menkeu Agus Mar towardojo. Kebijakannya mengurangi stok utang atau mengelola rasio utang? Kalau rasio berarti business as usual, tapi kalau stok berarti PR-nya lebih berat, ujar Hendri.
Wakil Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Lukita Dinarsyah Tuwo, mengatakan, pemerintah berusaha mengelola utangnya dengan baik. Ini terlihat dari rasio utang terhadap PDB dan stabilnya pertumbuhan ekonomi Sepanjang utang tersebut dapat dikelola dengan baik untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih besar, kenapa tidak (berutang)? kata Lukita. (republika.co.id, 25/5/2010)
itukah menteri yang digadang-gadang “pintar” dan diunggul-unggulkan?…. jadi pintarnya hanya meninggalkan hutang untuk rakyat indonesia ini? ck..ck..ck…