Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ikrar Nusa Bhakti menyatakan kewenangan majelis tinggi dalam organisasi Partai Demokrat terlalu kuat. “Saya kira itu terlalu powerful,” kata Ikrar kepada Tempo.
Majelis Tinggi ini merupakan organ baru dalam Partai Demokrat yang beranggotakan sembilan orang yang berwenang untuk menentukan pasangan capres-cawapres, gubernur, bupati, anggota legislatif, hingga penentuan parpol koalisi.
Ikrar juga menilai organ baru ini akan melemahkan independensi ketua umum partai dan secara umum kepengurusan dewan pipinan pusat Partai Demokrat. “Sikap paternalistik dalam Partai Demokrat ini sangat kuat. Saya kira sulit untuk katakan tidak padanya (SBY).”ujarnya.
Alhasil, kendati Anas Urbaningrum terpilih sebagai Ketua Umum partai akan menjabat sebagai wakil ketua di majelis tinggi, suaranya tak akan banyak terdengar di bawah bayangan SBY sebagai ketua majelis tinggi.
Hal ini, menurut Ikrar sudah terlihat bahkan sejak saat ini. “Kewenangan majelis tinggi untuk memilih gubernur dan wakil gubernur dalam Pemilu Kepala Daerah sejatinya bertentangan dengan keinginan Anas, karena ia menginginkan hal itu diserahkan pada daerah,” tuturnya.
Lebih jauh, Ikrar menyebut pola kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini mirip dengan yang dianut mantan Presiden Soeharto. “Sama-sama otoriter, hanya saja yang ini (SBY) dibalut cara yang lebih demokratis.”
Dalam Kongres Partai demokrat akhir pekan lalu, dibentuklah sebuah organ baru partai, yaitu majelis tinggi. MAjelis yang beranggotakan sembilan orang di bawah pimpinan Soesilo Bambang Yudhoyono ini mempunyai kewenangan menentukan keputusan strategis partai. (tempointeraktif.com, 25/5/2010)