Piala Dunia Perparah Kemiskinan di Afrika?

JAKARTA-Dalam satu bulan ini, miliaran pasang mata akan tertuju ke Afrika Selatan. Negeri Mutiara Hitam itu menjadi pusat perhatian seantero jagad karena menjadi penyelengga event akbar sepakbola sedunia: Piala Dunia 2010. Semua orang, tak kenal batas usia, status sosial, ekonomi, dan jenis kelamin, ramai membicarakan perhelatan empat tahunan ini. Orang yang tidak bisa bermain bola dan memiliki pengetahuan pas-pasan soal sepakbola sekali pun, juga tak mau ketinggalan.

Indonesia memang tidak pernah ikut tampil di putaran final Piala Dunia, namun secara aktif ambil bagian untuk memeriahkannya. Hampir semua media, baik cetak maupun elektronik di negeri ini, menjadikan pesta akbar sepakbola dunia ini sebagai berita utama. Iklan maupun program yang ditayangkan pun selalu berkaitan dengan ‘si bundar’. Dana yang digelontorkan untuk membiayai program-program ini sudah tentu sangat besar. Terlebih-lebih bagi media televisi yang mendapatkan hak untuk menyiarkan pertandingan secara langsung selama satu bulan.

Lalu apa kaitannya perhelatan Piala Dunia 2010 dengan kemiskinan? Ketika Piala Dunia digelar pada tahun 2006 di Jerman, Presiden Libya Moamar Khadafi mengkritik habis-habisan penyelenggaraan Piala Dunia. Menurutnya, Piala Dunia tak ubahnya perbudakan zaman modern yang menghambur-hamburkan uang belaka. Menurutnya, uang jutaan dolar yang dihabiskan untuk Piala Dunia seharusnya bisa digunakan untuk memberantas kemiskinan di negara-negara berkembang.

Apa yang dikatakan Moamar Khadafi ada benarnya juga. Tahun ini, untuk pertama kalinya Benua Afrika mendapat ‘kehormatan’ menjadi tuan rumah Piala Dunia 2010. Sejumlah kalangan berharap, dengan menjadi tuan rumah Piala Dunia 2010, wajah kemiskinan dan konflik yang selama ini melekat pada Afrika akan berubah. Namun, di balik harapan itu, muncul angka-angka yang mengejutkan.

Dana yang digelontorkan oleh Pemerintah Afrika Selatan untuk kegiatan ini tidak sedikit. Mereka telah mengeluarkan sedikitnya USD 5 miliar untuk pembangunan sepuluh stadion sepakbola ber standar FIFA, bandara, jalan raya, dan fasilitas publik lainnya. Sementara, FIFA sendiri menggelontorkan 1 miliar dolar AS untuk event ini. Itu lebih kurang Rp 56 triliun. Angka ini menempatkan Piala Dunia 2010 menjadi event termahal abad ini.

Lalu, apakah dengan dana yang sangat besar itu bisa mengubah kemiskinan di Afrika? Jawabannya belum tentu, karena mengubah kemiskinan tidak bisa dalam waktu satu bulan saja. Efek domino ekonomi juga tidak menjadi jaminan kemiskinan di Afrika Selatan bisa dientaskan.

Afrika Selatan memang lebih maju dibandingkan negara-negara Afrika lainnya. Produk Domestik Bruto per kapitanya mencapai 10 ribu dolar AS, gedung pencakar langit dan bangunan mewah lainnya tak sulit ditemui. Namun di balik semua itu, masih banyak dijumpai ‘township’, tempat kumuh bagi warga Afrika miskin, yang tetap menampilkan wajah kemiskinan Afrika. Di saat yang sama, tingkat pengangguran di Afrika Selatan mencapai 25,1 persen, dan kira-kira 50 persen penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan. Lebih dari seperempat jumlah penduduknya hidup dari santunan dari negara.

Hitung-hitungan ahli ekonomi setempat mengatakan bahwa penyelenggaraan Piala Dunia 2010 ini bisa mendatangkan pendapatan sekira 5 miliar dolar AS dan berpotensi membuka lapangan kerja baru bagi sekira 400 ribuan orang. Namun, apakah hitung-hitungan ini sesuai dengan kenyataan atau –meminjam istilah Azyumardi Azra– hanyalah ‘rekayasa statistik’ belaka? Pengalaman di beberapa event besar serupa sebelumnya, hitung-hitungan di atas kertas tidak pernah pas dengan kenyataan. Kalaupun event ini mendatangkan untung, hanya segelintir elite saja yang menikmatinya.

Bagi negara maju dan kaya, hal ini tentu bukan persoalan. Kebanggaan dan prestise yang didapatkan sebagai tuan rumah Piala Dunia tidak bisa dinilai dengan uang. Namun, bagi sejumlah negara yang baru maju, ditunjuk menjadi tuan rumah Piala Dunia adalah peras otak dan sumber daya. Jadi, dengan kemiskinan yang masih melingkupi hampir 30 persen penduduk Indonesia, apakah kita tetap berminat menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022 mendatang? (republika.co.id, 18/6/2010)

2 comments

  1. menjadi tuan rumah piala dunia sepak bola bukan dengan di tunjuk oleh FIFA tp atas kemauan negara yg bersangkutan dan itu juga diputuskan dengan poting/ ambil suara seperti itulah,,

  2. dunia ini telah dicengkram oleh kapitalisme dan semua orang terlena olehnya,kita tak sadari berapa banyak dana terhamburkan untuk ‘nobar’ di kafe2,membeli pernik2 pildun dan lebih buruk lagi judi yg merajalela dengan dalih hanya untuk ‘kesenangan saja, toh tidak besar2 judinya, cuma traktir makan atau seribu dua ribu rupiah’ apabila semua dana2 itu kita pakai untuk kegiatan dakwah, niscaya syariah akan segera diterapkan dan khilafah segera ditegakkan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*