Nomor: 181/PU/E/06/10
Jakarta, 17 Juni 2010/5 Rajab 1431 H
PERNYATAAN
HIZBUT TAHRIR INDONESIA
Menolak Kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL)
Melalui persetujuan DPR, mulai 1 Juli 2010 pemerintah akan menaikkan Tarif Dasar Listrik (TDL) yang besarnya berkisar antara 6-20%. Hanya dua kelompok yang tidak mengalami kenaikan, yakni pelanggan rumah tangga kecil dengan daya 450-900 VA karena dianggap tidak mampu serta pelanggan dengan daya di atas 6.600 VA karena sudah membayar TDL sesuai harga pasar.
Seperti yang sudah-sudah, alasan yang dikemukakan pemerintah adalah untuk mengurangi beban subsidi. Dengan kenaikan TDL ini, diharapkan bisa dihemat dana pemerintah sebesar sekitar Rp 5 triliun. Meski tidak semua golongan pemakai akan dinaikkan, tapi kenaikan TDL ini pasti tetap saja akan makin menyulitkan kehidupan masyarakat luas. Biaya hidup pasti akan bertambah karena harga barang dan jasa pasti juga akan ikut naik. Kadin menghitung, dengan kenaikan TDL antara rata-rata sekitar 10% ini, akan mengakibatkan kenaikan biaya produksi sekitar 33%, yang tentu akan menaikkan harga jual barang. Para produsen dengan alasan kenaikan bahan baku akan menaikan harga jual produk. Dan akhirnya pasti akan menyebabkan multiplier efect yang bermuara pada kenaikkan harga dan penurunan daya beli masyarakat dan berujung pada penurunan produksi yang berdampak pada pemutusan hubungan karyawan/pengangguran.
Berkenaan dengan hal tersebut, Hizbut Tahrir Indonesia menyatakan:
-
Menolak rencana kenaikan harga TDL itu karena hal itu tidak sesuai dengan prinsip yang benar dalam pengelolaan sumber energi nasional serta akan semakin membebani kehidupan masyarakat yang kebanyakan telah hidup dalam kesusahan. Sumber energi, termasuk listrik, adalah milik umum yang oleh karena itu rakyat berhak untuk mendapatkannya secara murah atau cuma-cuma. Rasulullah saw menyatakan: “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput dan api.”(HR. Abu Daud). Termasuk dalam api disini adalah energi berupa listrik.
-
Menaikkan TDL bukanlah jalan yang tepat karena sesungguhnya masih banyak cara yang bisa ditempuh untuk mengurangi apa yang disebut besarnya subsidi itu. Yakni, Pertama meningkatkan efisiensi pengelolaan PLN dan mengurangi kebocoran serta korupsi. Kedua, dengan memanfaatkan seoptimal mungkin pembangkit dual firing yang dimilik oleh PLN dengan menambah pasokan gas. Bila cara ini dilakukan, penghematan yang bisa dilakukan oleh PLN dibanding dengan menggunakan BBM bisa mencapai Rp 50 triliun. Oleh karena itu, produksi gas yang ada harus diprioritaskan bagi konsumsi dalam negeri khususnya untuk listrik dan pabrik pupuk. Kebijakan porsi kuota gas untuk eskpor lebih besar dari pada untuk alokasi dalam negeri, seperti yang terjadi pada gas Donggi Senoro dimana 70% ditetapkan untuk ekspor sementara sisanya untuk dalam negeri jelas tidak tepat dan bertentangan dengan prinsip pengelolaan energi yang benar tadi.
-
Alokasi gas Donggi Senoro yang lebih besar untuk ekspor di tengah kebutuhan dalam negeri yang terus meningkat, serta swastanisasi pembangkit listrik yang membuat harga listrik terus meningkat adalah bukti dari praktek-praktek kotor para pejabat negara yang berkolusi dengan para pengusaha. Ini pula fakta dari apa yang disebut Corporate State atau Negara Korporasi yang dikendalikan oleh simbiosis antara penguasa dan pengusaha. Dalam negara semacam ini, keputusan politik dibuat bukan sungguh-sungguh untuk kepentingan rakyat melainkan untuk kepentingan mereka sendiri dalam rangka meraup dana bagi kepentingan politik mereka guna meraih kekuasaan yang lebih besar, lebih tinggi dan lebih lama lagi. Dalam negara semacam ini, UU dan peraturan-peraturan, seperti UU Migas yang penuh keanehan itu dibuat untuk memuluskan kepentingan itu. Dalam UU Migas terdapat ketentuan bahwa produksi migas paling sedikit 25% untuk kepentingan dalam negeri. Itu artinya, produksi migas bisa hanya 25% yang disalurkan ke dalam negeri, selebihnya untuk ekspor. Dan itu pula yang dijadikan dasar oleh pemerintah ketika memutuskan alokasi gas Donggi – Senoro, yakni 30% dalam negeri dan 70% ekspor.
-
Inilah salah satu praktek kotor yang dilakukan oleh para pejabat dalam sistem sekuler. Ketika syariah Islam dicampakkan, mereka bekerja hanya berdasar prinsip maslahat. Dan ternyata maslahat yang dituju bukan untuk masyarakat banyak tapi untuk kepentingan diri dan kelompoknya saja. Maka sistem semacam ini harus dihentikan, diganti dengan sistem yang betul-betul bekerja untuk kepentingan semua manusia. Itulah sistem Islam dengan syariahnya yang pasti akan membawa rahmat bagi semua. Insya Allah.
Jurubicara Hizbut Tahrir Indonesia
Muhammad Ismail Yusanto
Hp: 0811119796 Email: Ismailyusanto@gmail.com
Saya mempunyai pandangan yang berbeda untuk masalah PLN ini, memang yang dikatakan diatas mungkin benar, namun untuk jangka pendek menaikkan TDL adalah keharusan, namun saya juga tidak setuju dengan cara pemerintah menaikkan TDL, seharusnya PLN tidak menaikkan TDL berdasarkan golongan. menurut saya PLN perlu memberikan batasan-batasan pemakaian listrik, misal untuk pemakaian s/d 30 KW digratiskan saja. selanjutnya untuk yang s/d 100 KW dikenakan 50% dari harga dasar listrik dan diatas itu dikenakan 100% dari harga dasar listrik. Dengan cara ini maka subsidi listrik benar-benar dinikmati oleh yang berhak (rakyat kurang mampu), sedangkan yang kaya akan membayar secara adil. Selanjutnya negara agar terus mendorong PLN untuk melakukan penghematan sehingga apa yang disampaikan diatas dapat terwujud.
menurut saya, akar masalah listrik di Indonesia itu adalah di kebijakan penanganan masalah sumber energi di Indonesia. selama sumber energi diswastanisasi, maka listrik pun akan selalu mahal. inilah kesalahan negara dalam menetapkan kebijakan yang berdasar pada ideologi kapitalis.
kenaikan TDL tidak perlu terjadi jika pengelolaan sumber energi diserahkan pada negara untuk kesejahteraan rakyat. subsidi listrik bukan sesuatu yang buruk, apalagi pada hakikatnya sumber energi adalah milik rakyat. subsidi juga merupakan hak warga negara seluruhnya. dengan listrik murah, roda ekonomi akan bergerak lebih kencang, harga murah dan berimplikasi pada kesejahteraan
Sebenarnya kenaikan tarif listrik sangat Riskan dan Dilematis,
akan memberatkan beban kehidupan rakyat benar,tapi bagi PLN sebagai pelaksana perusahaan itu harus,kalau tidak akan mengurangi mutu pelayanan yang sangat drastis karena ini menyangkut pembiayaan yang tak mencukupi lagi,kalau berhemat untuk menutupi biaya kekurangan biaya yang begitu besar tak memungkinkan lagi,menghemat dimana lagi di ADM pegawai sudah manfaatkan kertas bolak balik dan separo yang masih kosong,di bidang tehnik sudah memodifikasi barang yang masih bisa di pakai,gaji karyawan tak pernah lagi naik dan sudah setara dengan gaji pegawai negeri sipil dengan memikul tanggung jawab penuh selama 24 jam terhadap pelayanan masyarakat.
Kalau masyarakat tahu nya pelayanan PLN kurang bagus,tiap sebentar listrik biaya naik, tidak sesuai aspirasi,Masya ALLAH,mengurus pengelolaan energi yang sebegitu besar dengan infra struktur mutu yang minim dan pembiayaan yang tak mencukupi apa yang bisa anda bayangkan.coba anda bayangkan kalau di rumah anda tarif listrik terpasang 900 va kalau di kompersi ke pengelolaan energi kompensinal anda harus mengelola sekitar 12 ekor kuda ( 1pk = 72 kw )Gonjang-ganjing masalah energi PLN ini adalah karena sistem pemerintahan yang tidak sesuai dengan aturan Tuhan ( Liberal) adalah aturan yang di buat oleh manusia,dalam Alqur’an saya pernah membaca bahwa manusia itu bodoh,jadi karena manusia itu di ciptakan oleh Tuhan ( ALLAH )maka segala sesuatu yang mengatur tentang kehudupan manusia itu juga harus yang berasal dari Tuhan.
Sebagai contoh kalau anda punya Mobil produk Toyota tak bisa anda rawat pakai cara-cara BMW.
Saya sangat setuju dengan Hizbut Tahrir,kalau mau kehidupan kita selaras dan baik,kita harus kembali ke Khilafah Islamiah.
Kita tak bisa berharapkan kebaikan selain dari ALLAH ini adalah prinsip dasar yang harus di sadari oleh umat Islam.
kalo dasar pembahasannya adalah teknis naik atau tidak naik, mungkin asumsi mas sutomo msh bisa diperdebatkan. tapi keinginan kita sebagai umat Islam adalah pengaturan energi berdasarkan syariat, yang diantara kasusnya adalah kenaikan tdl ini
jadi seharusnya bisa digratiskan utk semua
argumentasi subsidi juga dipertanyakan. kalo subsidi adalah sumber ketidakadilan, banyak bantuan pemerintah yang merupakan subsidi terselubung. seperti bail out misalnya. apalagi bila dilihat bahwa fungsi sosial negara harusnya lebih kuat dari fungsi negara sebagai pedagang. kalo mau berfungsi sebagai pedagang, ngapain buat negara yang hanya menguntungkan segelintir orang?
saya setuju tidk naik karena lisrik merupakan unsur yang penting untuk mempengaruhi harga berbagai komoditi. Listrik akan menggerakan perusahaan kalau harga listrik naik maka ongkos produksi naik dan berakibat barang-barang produksi naik. Bagi yang miskin nampaknya listrik dapat keringanan tetapi apa cukup hidup dengan lisrik saja ? Apa tidak beli barang-barang ?. Bisa saja rumahnya terang tetapi tidak mampu beli sabun, beras gula yang semuanya pasti akan naik. yang sebelumnya mampu beli tapi sedikit sedikit atau pas-pasan.
Penerintah dan DPR yang tidak menggunakan hadist Nabi adalah pemerintah yang dzolim karena jelas-jelas akan menyengserakan rakyat kok ditempuh juga.
Tapi solusi pak Sutomo juga kurang tepat, Bagi orang kaya yang memiliki pabrik, kenaikan TDL akan mengakibatkan meningkatnya biaya produksi, sehingga untuk mengatasi hal tersebut pengusaha akan menaikan harga2 barang kebutuhan masyarakat, bisa juga pengusaha akan melakukan efisiensi jumlah kariyawan sehingga akan timbul PHK secara masal, dan bagi pengusaha UKM maka akan mengakibatkan sulit bersaing dengan produk2 cina yang membanjir dipasaran, dan bagi masyarakat akan mengalami penurunan daya beli dan ternyata tetap saja kenaikan TDL berpengaruh besar bagi rakyat miskin yang berpendapatan rendah. So…tolak kenaikan TDL kan???
bukti semakin nyata dampak buruk sistem kapitalis bagi manusia
Kenaikan TDL ini sebenarnya adalah ‘by design’ (baca: sudah diskenariokan) melalui UU Ketenagalistrikan yang telah disahkan beberapa waktu lalu yang goal settingnya adalah swastanisasi PLN. Agar para pengusaha (kapitalis) mau menginvestasikan dananya dibidang kelistrikan maka harga listrik harus dinaikkan atau disesuaikan dengan harga dunia, sehingga hal ini dapat menarik minat para investor khususnya asing untuk membuat perusahaan2 pembangkit tenaga listrik.
Jadi kenaikan TDL ini rasanya sulit (tidak mungkin) ditolak DPR, lah wong yang mensahkan UU Ketenagalistrikan juga mereka kok. Dengan adanya kenaikan TDL ini semakin membuat susah nasib rakyat yg jelas2 sudah susah. Hal ini membuktikan kalau ternyata DPR yang katanya wakil rakyat ternyata tidak pro rakyat, tapi pro pengusaha (kapitalis).
So.. Tolak kenaikan TDL, tolak juga tuh para wakil rakyat yang nanti pada nyalon, karena percuma dipilih kalo ngga bisa ngebela rakyat! Lebih baik kita dukung para pengemban dakwah islam yang menawarkan ide2 islam (syariah & khilafah) sebagai solusi tuntas masalah ummat & bangsa indonesia. Waallahu a’lam…
Bagaimana pendapat HTI semisal di bentuk PLN Swasta/PLN Plat hitam/perush. listrik swasta?
Jadi customer dari PLN plat hitam ini khusus buat mereka yg bisa beli listrik non subsisi + pelayanan ekstra.
PLN plat merah tetap ada, dan mereka tetap melayani permintaan listrik masyarakat, dengan catatan listrik bersubsidi, watt yang terbatas dan pelayanan biasa.
Mohon tanggapannya, terima kasih.
– Shaddy
SATU HAL KAPITALIS ADALAH YAHUDI,DAN YAHUDI TIDAK ADA HAK UNTUK HIDUP DI BUMI ALLAH INI.TITIK
seperti inilah sistem kapitalisme yg membutakan umat muslim sendiri,,
umat muslim diarahkan untuk tidak mempercayai solusi islam yg jelas-jelas solusi yg komprehensif..
sekarang lah saatnya untuk membelokan opini barat yg melencengkan pemikiran umat islam akan islam yg komprehensif..
ayo umat muslim nan pengemban da’wah,
lejitkan potensi kalian sebagai khoiru ummah,
sebarkan opini-opini islam…
ALLAHU AKBAR
Ada dua cara yang harus diklarifikasi soal TDL ini. Pertama adalah soal eksistensi PLN dan Privatisasi. Kalau ingin mempertahankan PLN sebagai undertaker pengadaan listrik maka pemerintah harus mengalokasikan dana itu lewat APBN melalui cross subsidi atau adjustment dengan post revenue lainnya. Artinya lewat kebijakan fiskal yang akan menstimulus perekonomian masyarakat walau harga disubsidi. Kedua, melepas listrik melalui privatisasi. Independence power plant yang memungkinkan PPA itu marketable setelah project running well. Kalau PPA tidak marketable maka bagaimana swasta bisa melakukan project derivative value untuk leverage investasi. Karena tidak mungkin swasta harus tunggu 10 tahun kembali modal. Kecuali sumber dana dari investor institusi yang cost of fundnya mahal. Masalah Listrik adalah aturan yang tidak konkrit.Mau mengontrol tapi engga mau ambil resiko. Mau melepas engga mau endorsed PPA. Sementara listrik itu adalah bagian dari tanggung jawab negara.