Pendahuluan:
Maraknya perederan video porno yang melibatkan kalangan artis dan figur publik sudah tidak terhitung banyaknya di negeri ini. Konsumsi terhadap produk pornografi dan pornoaksi ini pun telah meningkat tajam, mulai dari anak SD, SMP, SMU hingga orang dewasa. Dari kalangan masyarakat biasa, pejabat hingga anggota dewan. Dampaknya pun tidak bisa dianggap enteng. Survey terbaru Komite Perlindungan Anak, menyatakan ada 65% anak SMP menyatakan sudah tidak perawan lagi. Ketika ditanya, umumnya faktor yang mendorong mereka melakukan hubungan layaknya suami-isteri itu karena memenuhi rasa keingintahuan mereka (Kompas Online, 14/6/2010).
Yang lebih menyedihkan, di tengah resahnya masyarakat terhadap maraknya produk-produk amoral seperti ini, negara dengan perangkat hukum dan aparatnya seolah tidak bisa berbuat apa-apa. Undang-undang KUHP, tidak bisa menjerat pelaku zina, yang jelas-jelas merupakan perbuatan haram dan keji. Sementara UU Pornografi dan Pornoaksi juga sama, tidak bisa menjerat pelakunya, melainkan hanya pihak yang memproduksi dan mengedarkannya. Dengan kata lain, jika orang yang merekam adegan porno untuk kepentingan pribadi, maka UU tidak bisa menjeratnya. Di satu sisi, Presiden, Menteri Komunikasi dan Informatika, Polri hanya bisa prihatin, menghimbau dan meminta dukungan moral agar pelakunya mau mengakui perbuatan mereka dan jujur. Inilah paradok sistem dan rezim yang ada di negeri ini.
Di sisi lain, masyarakat yang resah dan tokoh-tokoh agama yang diharapkan bisa menjaga moral masyarakat mulai melakukan protes dan aksi. Padahal, aksi dan protes tersebut tidak bisa menghentikan praktik pornografi dan pornoaksi di tengah-tengah masyarakat. Satu-satunya yang bisa menghentikan semuanya ini adalah negara, dengan perangkat hukum dan aparat penegak hukumnya. Namun, masalahnya, jika hukum yang mengaturnya tidak ada, apakah aparat bisa menegakkan hukum? Hukum yang mana yang mau ditegakkan, sementara hukum negara tidak ada? Tentu tidak mungkin, aparat akan menegakkan hukum agama, yang tidak dijadikan sebagai hukum negara. Inilah yang sejak awal ditiupkan oleh praktisi hukum, bahwa dalam penegakan hukum, aparat tidak boleh melanggar hukum. Inilah susahnya negara yang tidak diatur oleh syariah, sehingga sesuatu yang jelas-jelas diharamkan dan dianggap sebagai kejahatan oleh syariah, tidak pernah dianggap sebagai masalah.
Dengan kata lain, maraknya praktik pornografi dan pornoaksi di tengah masyarakat, termasuk produksi, konsumsi dan distribusi produk-produk porno, tidak bisa dilepaskan dari sistem dan rezim yang mengatur negara ini. Sistem dan rezim liberal dan sekular. Inilah yang menjadi sumber dari terjadinya semuanya ini. Dampaknya pun tidak hanya dirasakan oleh orang-orang zalim, tetapi juga orang-orang yang baik, tidak luput terkena dampak dari bala’ ini. Maha Benar Allah, ketika berfirman:
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang dzalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya. (Q.s. al-Anfal [8]: 25)
Hukum Syariah Seputar Pornoaksi dan Pornografi
Mengingat maraknya pornoaksi dan pornografi ini di tengah-tengah masyarkat, terutama setelah beradarnya video porno figur publik, ditambah banyak anggota masyarakat yang tidak mengerti hukum seputar masalah ini, sehingga dengan dorongan rasa ingin tahu akibat masifnya pemberitaan, tidak sedikit di antara mereka pun telah terjerumus dan melakukan hal-hal yang sebenarnya telah diharamkan. Karena itu, umat harus dijelaskan hukum syariah yang mengatur masalah ini, sehingga bisa terhindar dari kemaksiatan yang dilakukan oleh orang-orang yang zalim.
Beberapa pertanyaan yang mengemuka di tengah masyarakat, antara lain: Bagaimana hukum merekam hubungan suami-isteri dalam film? Lalu, bagaimana hukum memberitakan dan menyebarkannya, sehingga bisa ditonton orang lain? Dan, bagaimana pula hukum mendownload, mencopi dan menggandakannya?
Islam telah menetapkan bahwa hubungan badan hanya boleh dilakukan antara seorang laki-laki dengan isteri dan budaknya (lihat QS al-Muminun [24]: 5-7). Selain itu, syara’ juga telah menetapkan batas-batas aurat yang harus dijaga kecuali di antara mereka. Bagi suami-istri, masing-masing diperbolehkan melihat seluruh bagian tubuh pasangannya. Bahz ibn Hakîm telah meriwayatkan dari bapaknya dari kakeknya, kakeknya berkata:
قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ عَوْرَاتُنَا مَا نَأْتِى مِنْهَا وَمَا نَذَرُ قَالَ « احْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلاَّ مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ
“Aku pernah bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah SAW, manakah bagian aurat kami yang harus kami tutupi dan mana yang boleh kami biarkan?” lalu Rasulullah SAW bersabda kepadaku, “Jagalah auratmu, kecuali dari istrimu atau hamba sahaya perempuanmu.” (HR Abu Dawud).
Mesikupun itu halal bagi suami isteri, namun aktivitas tersebut harus dilakukan dalam tempat yang tertutup. Tidak boleh dilihat oleh orang lainnya. Tak hanya itu, menceritakan perihal hubungan tersebut kepada orang lain diharamkan oleh syara’. Dalam hadits riwayat Muslim, Nabi saw. telah bersabda:
«إِنَّ مِنْ أَشَرِّ النَّاسِ عِنْدَ اللَّهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ الرَّجُلَ يُفْضِي إِلَى امْرَأَتِهِ وَتُفْضِي إِلَيْهِ ثُمَّ يَنْشُرُ سِرَّهَا» [رواه مسلم عن أبي سعيد الخدري]
“Sesungguhnya manusia yang paling jelek kedudukannya di sisi Allah pada Hari Kiamat ialah seseorang yang menyetubuhi istrinya dan istri bersetubuh dengan suaminya, kemudian suami menyebarkan rahasia istrinya.” (Hr Muslim dari Abi Said al-Khudri)1
Keharaman menceritakan tersebut termasuk keharaman suami yang mempunyai dua isteri atau lebih, dimana hubungan badan suami-isteri dengan isteri satu disampaikan kepada isteri yang lain.
Berdasarkan nas-nas di atas, maka keharaman hukum menceritakan tersebut termasuk keharaman merekam adegan ranjang untuk disebarkan, agar bisa ditonton orang lain. Dengan keras Nabi menggambarkan mereka seperti syaitan:
«هَلْ تَدْرُونَ مَا مَثَلُ ذَلِكَ فَقَالَ إِنَّمَا مَثَلُ ذَلِكَ مَثَلُ شَيْطَانَةٍ لَقِيَتْ شَيْطَانًا فِي السِّكَّةِ فَقَضَى مِنْهَا حَاجَتَهُ وَالنَّاسُ يَنْظُرُونَ إِلَيْهِ» [رواه أبو داود]
“Tahukah apa permisalan seperti itu?” kemudian beliau berkata: “Sesungguhnya permisalan hal tersebut adalah seperti syetan wanita yang bertemu dengan syetan laki-laki di sebuah gang, kemudian syetan laki-laki tersebut menunaikan hajatnya (bersetubuh) dengan syetan perempuan, sementara orang-orang melihat kepadanya.” (Hr Abu Dawud)2
Adapun merekam adegan hubungan badan seperti itu untuk keperluan sendiri, termasuk perbuatan sia-sia dan tidak ada gunanya, yang sebaiknya ditinggalkan:
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ» [رواه ابن ماجه]
“Tanda dari baiknya keIslaman seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya.” (Hr Ibn Majah)3
Lebih dari itu, jika hasil rekaman tersebut lalu disimpan, maka dapat menjadi wasilah yang mengantarkan kepada perbuatan haram. Sebab, siapa yang dapat menjamin hasil rekaman itu tidak jatuh kepada orang lain? Dan jika jatuh pada orang, amat mudah beredar dengan cepat dan amat sulit dihentikan. Oleh karena itu, hal ini dapat diterapkan kaidah syara’:
اَلْوَسِيْلَةُ إِلَى الْحَرَامِ مُحَرَّمَةٌ
“Sarana yang bisa mengantarkan kepada keharaman, maka hukumnya jelas-jelas diharamkan.”
Adapun hukum memberitakan dan memperbincangkan peristiwa seperti ini juga diharamkan, karena termasuk menyebarkan perbuatan maksiat. Nabi saw. dengan tegas menyatakan:
«كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلاَّ الْمُجَاهِرِينَ وَإِنَّ مِنَ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلاً ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ فَيَقُولَ يَا فُلاَنُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ» [متفق عليه]
“Setiap umatku dimaafkan (dosanya) kecuali orang-orang menampak-nampakkannya dan sesungguhnya di antara bentuk menampak-nampakkan (dosa) adalah seorang hamba yang melakukan perbuatan di waktu malam sementara Allah telah menutupinya kemudian di waktu pagi dia berkata: ‘Wahai fulan semalam aku telah melakukan ini dan itu, ‘ padahal pada malam harinya (dosanya) telah ditutupi oleh Rabbnya. Ia pun bermalam dalam keadaan (dosanya) telah ditutupi oleh Rabbnya dan di pagi harinya ia menyingkap apa yang telah ditutupi oleh Allah.” (Muttafaq ‘Alaih)4
Karena itu, hendaknya seorang Muslim menjaga lisannya dari membicarakan perbuatam maksiat orang-orang seperti mereka (mujahirin), bukan untuk menutup aib mereka, tetapi agar tidak terlibat dalam menyebarkan perbuatan keji maksiat mereka di tengah-tengah orang Mukmin. Juga termasuk menjaga lisan dan pikiran dari perkara-perkara yang sia-sia. Kecuali untuk menjelaskan hukumnya, agar umat tidak melakukan kemaksiatan yang serupa.
Karena seluruh perbuatan di atas diharamkan, maka mendownload, mengcopi dan menyebarkannya, meski yang disebarkan adalah madaniyyah (produk materi/bukan pemikiran), tetapi karena madaniyyah ini terkait dengan hadharah tertentu, dan isinya diharamkan oleh Islam, maka mendownload, mengcopi dan menyebarkannya jelas hukumnya haram.
Memberantas Pornografi dan Pornoaksi adalah Tugas Negara
Negara sebagai institusi yang melaksanakan seperangkat pemahaman, standarisasi dan keyakinan adalah satu-satunya institusi yang memiliki seluruh otoritas, yang bisa menyuburkan pornografi dan pornoaksi, atau sebaliknya. Para penyelenggara negara tidak boleh hanya menyatakan prihatin, menghimbau dan beretorika. Karena wilayah negara adalah wilayah kekuasaan.
Dalam kasus peredaran video porno tersebut, semestinya negara melalui Kemenetrian Informatika dan Komunikasi harus mengambil tindakan tegas, menghentikan pemberitaan, penayangan atau gosip yang terkait dengan video tersebut. Semuanya ini untuk menjaga, agar masyarakat tidak terlibat dalam perbuatan yang diharamkan, yaitu menyebarluaskan kemaksiatan. Jika dalam kasus terorisme negara bisa mengontrol informasi dan pemberitaan media massa, semestinya dalam kasus seperti ini, tindakan yang sama juga bisa dilakukan. Bahkan, harus dilakukan, karena dampak dari pornoaksi dan pornografi ini jauh lebih dahsyat daripada aksi-aksi terorisme.
Selain itu, aparat penegak hukum juga harus bersikap tegas. Jika karena alasan tidak ada payung hukum, maka sebenarnya pemerintah bisa saja mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu), agar kasus seperti ini bisa dituntaskan dan tidak berlarut-larut. Sebagaimana dalam penanganan aksi terorisme, pemerintah pernah mengeluarkan Perpu, karena alasan tidak adanya payung hukum untuk memberantas aksi tersebut, maka dalam kasus seperti ini, hal yang sama sebenarnya bisa dilakukan. Tetapi, masalahnya adalah, apakah pemerintah mempunyai kemauan politik untuk memberantas pornografi dan pornoaksi tersebut? Atau memang sengaja membiarkannya, karena alasan kebebasan dan HAM, tentu semuanya kembali kepada pemerintah.
Dengan demikian, jelas, bahwa masalahnya bukan tidak bisa diberantas, tetapi apakah ada kemauan politik dari penyelenggara negara untuk melakukan itu. Baik dari legislatif yang memproduk undang-undangnya, maupun dari eksekutif dan judikatifnya. Jika ini dibiarkan, dan terus-menerus berlangsung tanpa tindakan, maka wajar jika Pornografi dan Pornoaksi marak di negeri ini, karena memang sistem dan rezimnya mendukung aksi-aksi porno. Jika sudah begitu, maka hanya bala’ dan adzab yang akan ditimpakan oleh Allah kepada penduduk negeri ini.
Syariah dan Khilafah Solusi
Kenyataan ini semakin meyakinkan kita, bahwa hanya syariah dan Khilafah yang benar-benar bisa dan sungguh-sungguh memberantas pornografi dan pornoaksi di tengah masyarakat. Bukan hanya itu, hanya syariah dan Khilafahlah yang bisa menjaga pikiran, perasaan dan budaya masyarakat yang sehat, dan jauh dari pornografi dan pornoaksi.
Dengan hukum syariah yang lengkap dan mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, serta ketegasan sanksi hukum dan penegaknya, maka syariah dan Khilafah telah mampu melahirkan masyarakat dengan peradaban yang paling tinggi di dunia sepanjang sejarah. Umat Islam pun dikenal dengan akhlaknya yang luhur. Masyarakatnya pun dikenal sebagai masyarakat yang beradab dan bersih.
Wahai Kaum Muslim:
Tidakkah semuanya ini telah cukup menyadarkan kita, bahwa sistem dan rezim Sekular yang memerintah negeri inilah yang sebenarnya menjadi sumber dari semua keburukan dan kejahatan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Karena masyarakat adalah produk dari pemikiran, perasaan dan sistem yang diterapkan oleh negara.
Tidakkah telah tiba waktunya bagi kita, untuk kembali kepada sistem syariah di bawah naungan Khilafah? Karena, itulah satu-satunya jaminan kemuliaan hidup kita. Itulah satu-satunya jaminan kebaikan masyarakat dan keluarga kita. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nya lah kamu akan dikumpulkan. (Q.s. al-Anfal [8]: 24)
1 Imam Muslim, Shahih Muslim, hadits no 2597.
2 Imam Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, hadits no 1859.
3 Imam Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, hadits no 3966.
4 Imam Bukhari, Shahih al-Bukhari, hadits no 5608; Imam Muslim, Shahih Muslim, hadits no. 5306.