BANJARMASIN – Setelah menggelar aksi demo terkait pemberantasan pornografi dan seks bebas, pekan lalu, Hizbut Tahrir Kalimantan Selatan kembali menggelar aksi serupa menolak kenaikan tarif dasar listrik (TDL), Minggu (27/6).
Koordinator Aksi Damai Penolakan Kenaikan TDL Hizbut Tahrir Indonesia Kalsel, Zainal Muttaqin kepada Radar Banjarmasin mengatakan tak kurang dari 1.000 massa HTI dari Kabupaten Barito Kuala, Kota Banjarmasin, Kota Banjarbaru, Kabupaten Banjar, Kabupaten Tanah Laut dan Kabupaten Tanah Bumbu ikut dalam aksi damai tersebut.
“Target kita adalah menyampaikan tuntutan dan pandangan Hizbut Tahrir untuk menolak kenaikan tarif dasar listrik. Mengapa menolak ? pertama jelas dampaknya,” cetusnya.
Dampaknya, lanjut dia, jelas bagi masyarakat. Saat ini saja, masyarakat sudah menghadapi kenaikan beruntun sejak 1998. Kenaikan beruntun itu berbuah kemiskinan, kesengsaran, kriminalitas. “Nah sekarang sudah seperti itu dinaikan lagi, betapa sengsaranya rakyat,” imbuhnya.
Menurutnya, tentu saja fungsi pemerintah itu adalah melindungi dan mengayomi rakyat. Namun saat ini pihaknya memandang pemerintah tidak memiliki “political will”, tidak ada upaya kerja keras untuk memecahkan masalah masyarakat, namun lebih memilih langkah praktis kendati menyengsarakan rakyat.
“Kenapa hal itu dilakukan oleh pemerintah, karena pemerintah saat ini tidak memiliki solusi dari setiap permasalahan yang muncul. Yang kedua, pemerintah terikat dengan bank dunia, ADB, dan lembaga-lembaga luar negeri dan terikat dengan hutang dan menggantungkan diri kepada negara-negara kaya seperti Amerika dan Eropa,” ungkapnya.
Dari sini tambah Muttaqin, cukup jelas membuktikan ketiadaan konsep yang dimiliki untuk menyelesaikan persoalan kelistrikan nasional. Dengan kondisi ini pula kata dia, sejatinya negeri masih masih dalam jajahan negara-negara besar.
Inti persoalan kelistrikan itu sendiri dalam pandangan Hizbut Tahrir, bisa dilihat dari berbagai aspek. Pertama adalah aspek bahwa kelistrikan itu pasti menggunakan bahan bakar, berarti sumber daya energy. Nah berarti sumber daya energy itu bisa dari Migas, dari batubara, dari tenaga air, panas bumi dan lain sebagainya. Dan dari semua kajian hukum Islam sumber-sumber energi tersebut termasuk ranah kepemilihan umum.
Menurutnya, faktanya saat ini sumberdaya energi tersebut banyak dimiliki oleh investor, dimiliki swasta dan dimiliki oleh asing. Sehingga ketika badan Negara seperti PLN memerlukan bahan bakar, mereka harus membeli dengan harga New York atau luar negeri.
“Bayangkan kita memiliki sumberdaya energi, tapi sumber daya energy itu tidak bisa kita manfaatkan karena sudah menjadi milik asing,” timpalnya.
Kedua lanjutnya, lembaga negara seperti PLN secara otonomatis menggunakan harta kepemilikan umum. Sehingga seharusnya, mulai dari produksi sampai pada pendistribusian listrik itu dikelola oleh negara.
Namun saat ini faktanya, PLN dipecah-pecah sebagai bentuk upaya menswastanisasi sektor-sektor PLN secara halus. Dengan dipecahkan PLN menjadi beberapa sektor mulai dari produksi, distribusi hingga retail merupakan cara untuk membuka pintu masuknya investasi asing ditubuh PLN.
“Nah dari sektor-sektor inilah, swasta asing ingin masuk dengan cara tarif dasar listriknya harus dinaikan terlebih dahulu sebab jika harga TDL tetap disubsidi, tak ada untungnya bagi asing yang akan menanamkan saham masuk ke sector-sektor PLN tersebut,” bebernya.
Sementara, pemerintah banyak beralasan, yang sebenarnya alasan klise, bahwa subsidi itu tidak tepat sasaran. Alasan tersebut untuk menutupi rapuhnya diinternal PLN yang sejatinya terjadi ketidakefisienan yang luar biasa hingga memicu tumbuh suburnya pasar gelap berkedok pemasangan listrik baru,
“Persoalan utama PLN saat ini tidak mampu menyediakan daya listrik yang memadai. Kita melihat permasalahannya juga ada pada sumber daya pembangkit, distribusi,” tukasnya.
Untuk itu, sumber daya energi harus dikuasi Negara sebagai kepemilikan umum. Jangan lagi sumber daya habis-habisan dieksploitasi, dijual keluar. Kedua saat ini minim pembangunan pembangkit listrik dengan asalan pemerintah tidak punya uang. Lantas kemana kekayaan negeri selama ini. Jika sumber daya energi tersebut dikuasi oleh negara, tentu alasan pemerintah tidak memiliki uang tidak akan terjadi. (radar banjarmasin, 28/6/2010)
Artikel terkait: