Mendudukkan Kembali Fungsi Keluarga
Oleh Kholda Naajiyah
Tanggal 29 Juni diperingati sebagai Hari Keluarga Nasional. Keluarga adalah elemen terkecil masyarakat yang diharapkan menjadi sumber kebahagiaan dan kesejahteraan. Sudahkkah itu terwujud? Marilah kita cermati, betapa masih banyak problem yang dialami keluarga-keluarga di Indonesia. Seperti keluarga yang kesulitan ekonomi, kesulitan mengakses pendidikan hingga keluarga yang tercerai berai. Krisis keluarga ini bermula dari terjadinya bergeseran fungsi dan peran keluarga itu sendiri.
Keluarga idealnya menjalankan delapan fungsi, namun hal ini sudah mulai mengalami disfungsi. Pertama, fungsi reproduksi. Keluarga yang dibangun melalui lembaga suci pernikahan, dimaksudkan untuk melahirkan keturunan yang sah. Namun saat ini, makin banyak keluarga yang tidak mampu melaksanakan fungsi ini. Selain faktor takdir Allah SWT, gaya hidup tak sehat, memicu kegagalan pasangan suami-istri mendapatkan keturunan.
Di sisi lain, keluarga makin membatasi jumlah keturunan karena adanya kekhawatiran-kekhawatiran seperti: biaya persalinan mahal, biaya pendidikan anak mahal, dan malu kalau banyak anak. Terlebih kaum perempuan, makin banyak yang enggan hamil, melahirkan dan menyusui anak karena sibuk berkarier atau takut merusak keindahan tubuhnya. Padahal, bila fungsi reproduksi ini diabaikan, eksistensi keluarga dan bahkan manusia akan terancam. Bagaimana nasib generasi penerus jika proses reproduksi tidak berjalan?
Sementara itu, fungsi ini juga sudah diambil-alih oleh pelaku seks bebas, di mana keturunan yang mestinya hanya lahir dari pernikahan bisa dilahirkan di luar nikah. Hal ini jelas membahayakan eksistensi lembaga pernikahan.
Kedua, fungsi ekonomi. Terbentuknya keluarga, berarti terwujudnya kesatuan dan kemandiri ekonomi. Keluarga mendapatkan harta dan membelanjakan untuk memenuhi keperluan seluruh anggota keluarga sehingga terwujud kesejahteraan. Namun, fungsi ini kerap sulit dilakukan sebuah keluarga manakala problem akses terhadap sumber-sumber ekonomi tertutupi. Banyak pengangguran dari kalangan suami, padahal dialah penopang nafkah keluarga. Di sisi lain, harga-harga kebutuhan pokok terus meroket sehingga nafkah kerap tak mencukupi untuk seluruh anggota keluarga. Tak heran bila masih banyak yang berada di bawah garis kemiskinan. Jelas, ini sangat mengganggu terwujudnya keluarga bahagia dan sejahtera.
Ketiga, fungsi edukasi. Keluarga haruslah menjadi tempat pertama dan utama dalam mendidik anak hingga cerdas dan bertakwa. Tapi, fungsi ini hampir seluruhnya dialihkan ke sekolah. Terlebih pada keluarga dimana ayah dan ibu sama-sama sibuk, sulit melaksanakan fungsi edukasi. Suami yang seharusnya mendidik istri, juga tidak berjalan sebagaimana mestinya dengan dalih istri-istri saat ini sudah pintar. Para suami khawatir, jika mendidik sedikit keras, dianggap melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga. Demikian pula ibu terhadap anak, sulit melakukan fungsi edukasi selama disibukkan dengan pekerjaan di luar rumah. Tak hanya bagi para wanita karier, ibu-ibu yang notabene tidak bekerjapun, sibuk dengan urusan diri seperti belanja, ke salon, senam, nonton televisi atau sekadar ngerumpi.
Keempat, fungsi sosial. Potret sebuah keluarga mencerminkan status sosial, bahkan kadang prestise keluarga itu. Anggota keluarga yang berpendidikan, menunjukkan sebuah keluarga intelektual. Anggota keluarga yang saleh dan salehah, menunjukkan keluarga baik-baik. Rumah yang nyaman, rapi dan bersih, mencerminkan taraf hidup keluarga. Namun, kini makin banyak keluarga yang cuek dengan masing-masing anggota keluarganya, apakah berperilaku baik atau buruk. Ketika anak berperilaku tak terpuji, nama baik orang tua hancur. Seperti anak terlibat narkoba, hamil di luar nikah atau melakukan tindak kriminalitas.
Kelima, fungsi protektif. Keluarga memiliki peran untuk melindungi anggotanya dari ancaman fisik, ekonomis dan psikososial. Ayah sebagai penyayom istri dan anak, tak hanya melindungi dari bahaya fisik, tapi juga bahaya kelaparan misalnya. Karena itu, idealnya tidak boleh ada ayah atau ibu yang menelantarkan anaknya, membiarkan anaknya gizi buruk atau pergi ke luar negeri menjadi TKI/TKW hingga melalaikan tugasnya sebagai orangtua. Memang, semua terjadi karena kondisi buruk di dalam negeri yang memaksa mereka mengadu nasib ke negeri orang. Dan tentu hal ini tidak bisa dibiarkan terus terjadi.
Keenam, fungsi rekreatif. Keluarga merupakan pusat rekreasi bagi para anggotanya. Jadikan rumah sebagai sumber kebahagiaan. Karena itu, ciptakan keluarga yang penuh tawa canda dan keceriaan. Ayah jangan membawa masalah ke rumah, ibu selalu tersenyum, anak-anak selalu gembira. Begitulah idealnya sebuah keluarga. Namun kini, banyak masalah yang terjadi di keluarga hingga pertengkaran ayah-ibu kerap terdengar, bahkan di hadapan anak-anak. Anak tidak betah di rumah, adalah pertanda keluarga tidak harmonis sehingga mencari hiburan dan kesenangan di luar rumah.
Ketujuh, fungsi afektif. Keluarga adalah tempat bersemainya cinta kasih, empati dan kepeudlian. Tumbuhkan kasih sayang antaranggota keluarga. Meski hal ini fitrah, namun banyak yang sudah mengabaikannya. Banyak keluarga yang begitu formal, tanpa ada getar-getar kasih sayang dalam interaksinya. Ayah yang lelah seharian bekerja, hanya menjadikan rumah tempat tidur semata. Anak-anak yang sudah tumbuh remaja dan menemukan dunianya sendiri, menjadikan rumah sekadar tempat singgah. Tak ada rasa kangen bila jauh dari ayah ibunya, melainkan hanya kangen dengan materinya (uang saku).
Kedelapan, fungsi relijius. Keluarga hendaknya memberikan pengalaman keagamaan kepada para anggota. Anak-anak dididik agama sejak dini, ayah menjadi imam dan ibu mengenalkan anak-anak pada generasi sahabat. Ayah dan ibu menjadi penyampai ajaran Islam, anak-anak menjadi sasaran pertamanya. Begitulah idealnya. Namun, betapa banyak keluarga yang tak lagi menjadikan agama sebagai pondasi dalam interaksi, melainkan nilai-nilai liberal. Seperti keluarga yang mengabaikan aspek spirutual, membebaskan anaknya memilih sendiri agamanya, atau menyekolahkan anak ke sekolah beda agama. Jelas ini tidak sejalan dengan fungsi relijius.
Berdasrkan uraian di atas, mari kita perkokoh fungsi dan peran keluarga di atas agar mudah goyah. Keluarga adalah tempat bersemainya bibit-bibit generasi penerus, sudah selayaknya mendapat perhatian serius. Dengan demikian, benar-benar terbentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera, lahir dan batin.(*)
Kholda Naajiyah, S.Si,
Aktivis Hizbut Tahrir Indonesia.
Allohumma ij’alna wa ahlana min ahlil ilmi wal khoiri