Pekan lalu, Octavia Nasr, redaktur senior CNN urusan Timur Tengah yang telah berkiprah sejak tahun 1990, secara sepihak diberhentikan gara-gara memuji almarhum Ayatullah Muhammad Hossein Fadhlullah, marji syiah Lebanon.
Nasr di jejaring sosial Twitter menulis, “Fadhlullah adalah tokoh senior Hizbullah Lebanon yang patut dihormati. Saya pun terpengaruh atas meninggalnya beliau.” Kalimat pendek yang keluar dari nurani redaktur CNN ini, ternyata berbuah getir bagi Nasr sendiri. CNN sebagai media massa global yang mengaku mengusung kebebasan berpendapat, secara sepihak mencopot Nasr. Masalah ini menunjukkan sebuah realitas yang terpendam di jantung budaya Barat, bahwa kebebasan yang didengung-dengungkan selama ini hanya omong kosong belaka.
Belum reda pembungkaman yang dilakukan media massa Barat terhadap redakturnya sendiri, pemerintah Inggris menghapus catatan Duta Besar Inggris di Lebanon yang memuji Ayatollah Fadhlullah, setelah tercantum di situs Departemen Luar Negeri Inggris. Penghapusan itu dilakukan menyusul adanya tekanan dari Rezim Zionis Israel.
Televisi BBC menyebutkan bahwa catatan Dubes Inggris untuk Lebanon itu membuat Tel Aviv geram. Dalam catatannya, Dubes Inggris itu menulis, “Ayatollah Fadhlullah adalah sosok yang terhormat dan seorang politisi besar. Siapapun yang menemui Ayatollah Fadlullah, akan menikmati pertemuan tersebut. Saya pun termasuk orang menikmati pertemuan dengan Ayatollah Fadhlullah. Untuk itu, saya benar-benar kehilangan atas wafatnya beliau.”
Kingsly Martin jurnalis terkemuka Inggris, dalam bukunya yang berjudul, ‘The People Want to The Press’ menulis, “Kebebasan pers sangat urgen dari sisi kebebasan informasi, kebebasan interpretasi dan kebebasan mengkritik. Namun di Inggris yang ada hanyalah kebohongan belaka. Di sini, kebebasan seperti orang kampung yang tinggal di hotel mewah!.”
Di bagian lain bukunya, Martin menulis, metode yang dipakai kantor berita yang berada dalam naungan imperium media global terlalu sering menyelewengkan realitas sebenarnya dengan menampilkan berita setengah bohong dan memotong kutipan pidato seseorang demi membenamkan tujuannya…”
Sydney Mosel, jurnalis terkemuka Inggris lainnya menyinggung hegemoni media Inggris dalam bukunya “The Trusth about Journalism”. Mosel menulis, setelah mengumpulkan sejumlah uang, saya bisa keluar dari belenggu hegemoni media massa global dengan menjadi penulis lepas.
Riset yang dilakukan asosiasi jurnalis Eropa pada tahun 2008 menyebutkan bahwa tidak ada kebebasan berpendapat di 20 negara Eropa. Di luar fakta itu, lebih dari 500 akademisi di universitas Israel baru-baru ini melayangkan surat protes ke Departemen Pendidikan Rezim Zionis Israel mengenai pembungkaman kebebasan berpendapat di universitas-universitas Israel. (IRIB, 10/7/2010)
Demokrasinya kalau merugikan dirinya sendiri berubahlah ke aslinya arogansi kekuatan & kekuasaan…tidak mengenal lawan maupun kawan akan diembat-babat. Haai…pemuja ajaran demokrasi (sampai-sampai ada dua partai demokrasi segala siii ?) tuuuh contoh kecil saja sudah tidak demokrasi. Jangan harap deh akan ada keadilan yg hakiki dari yg namanya demokrasi.
Dasar Kafir, mau enaknya aja, pas buat kepentingan umat islam kebebasan berpendapat dilarang, katanya “dilarang melarang,” kok pas gini malah jadi double standart, mang Ideologi yang aneh