Teror Gas belum Berakhir

LEDAKAN gas 3 kilogram masih menjadi menu yang teratur disajikan saban hari. Bagaikan bom teroris, sambung-menyambung meletus setiap saat. Korban terus berjatuhan, entah meninggal dunia atau luka-luka bakar.

Tidak hanya nyawa yang melayang, tetapi juga harta benda. Rumah terbakar dan harta hangus. Yang tersisa isak tangis dan derita rakyat.

Yang menjadi korban ledakan gas adalah rakyat kelas bawah yang menjadi sasaran proyek konversi minyak tanah ke gas sejak 2007. Dalam tiga tahun terakhir sekitar 45 juta tabung gas sudah diedarkan. Namun dari jumlah itu, 9 juta tabung yang tidak memenuhi standar juga berbaur di tengah masyarakat.

Sebanyak tujuh instansi pemerintah terlibat proyek konversi gas dengan koordinasi di tangan Menko Kesra. Meski mengerahkan segerbong instansi, belum ada tanda-tanda ledakan gas bakal berakhir.

Soal ledakan gas itu sudah dibicarakan dari tingkat kabinet hingga rapat para menteri terkait. Tetapi masalah tidak juga tuntas. Yang ditunggu rakyat adalah keamanan dan kenyamanan menggunakan gas 3 kg. Tetapi justru jaminan itu yang tidak bisa diberikan pemerintah.

Rapat terus digelar, tetapi kesimpulannya tertata di meja sang menteri. Rakyat tetap gelisah dan bertanya, “Hari ini maut giliran siapa?”

Kita menangkap kesan pemerintah selalu tidak cekatan dan tidak cukup cerdas menangani masalah yang terkait dengan rakyat kecil, tetapi begitu gesit ketika masalah menyangkut elite dan kaum berduit.

Nyawa rakyat kecil di negeri ini seolah-olah amat murah. Puluhan orang telah tewas, puluhan lainnya menderita luka-luka bakar dan mengerang di rumah-rumah sakit. Masih kurangkah semua itu? Kurangkah seorang Rido Yanuar, bocah empat tahun asal Bojonegoro, Jawa Timur, yang kini berbaring di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo untuk menjalani operasi plastik karena wajahnya tersambar ledakan gas?

Pemerintah membutuhkan berapa korban lagi untuk bisa diyakinkan agar mengambil tindakan cepat?

Rupanya pemerintah lebih mementingkan penyelamatan dana subsidi minyak tanah daripada nyawa rakyat. Pemerintah mengejar target pengurangan subsidi hingga Rp40 triliun pada akhir 2010 ini.

Kita berpendapat sebenarnya tidak sulit pemerintah menarik tabung-tabung gas yang bocor kemudian menggantinya dengan yang baru. Pemerintah tidak sampai mengeluarkan dana Rp1 triliun untuk pengadaan tabung baru. Dana itu pun bisa diambil dari penghematan subsidi yang hingga Juni sudah mencapai Rp30 triliun. Mengapa untuk kepentingan rakyat kecil pemerintah begitu pelit?

Kita juga bertanya-tanya mengapa begitu banyak vendor yang terlibat dalam proyek konversi itu? Bayangkan saja 74 vendor tabung elpiji 3 kg, 32 vendor kompor, 15 vendor katup tabung, 13 vendor regulator, dan 15 vendor slang. Bagaimana pengawasannya di tingkat konsumen?

Bangsa ini memang gemar mengatasi masalah dengan membentuk tim. Tim elpiji 3 kg hanya rajin rapat tanpa hasil nyata. Padahal ledakan gas tidak diselesaikan dengan rapat berhari-hari, tetapi memerlukan keberanian pemimpin mengambil sikap tegas dalam tempo cepat. (mediaindonesia.com, 27/7/2010)

One comment

  1. inilah salah satu teror dari kebijakan yang salah…!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*