JAKARTA- Ahli hukum pidana dari Universitas Gajah Mada,Yogyakarta Edi Hiariej, mengatakan korupsi di Indonesia tidak hanya saat pelaksanaan undang-undang saja, tapi juga saat pembuatan serta pembahasannya di DPR sudah berlangsung .
Saat berbicara dalam workshop wartawan yang membahas RUU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) di Bogor, Jumat, Edi Hiariej mengatakan bahwa pada saat pembahasan indang-undang di DPR, kalimat-kalimat, tanda baca menjadi sangat penting dan benar-benar bernilai, sehingga rawan terjadinya kejahatan korupsi. “Bagaimana mau memberantas korupsi, kalau DPR saja nggak punya argumentasi main lobi uang, blok dan drop, ” katanya.
Sementara itu, pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Saldi Israr mengatakan sulitnya melakukan pembaharuan hukum di lembaga penegak hukum baru seperti PPATK ini lebih disebabkan karena banyak aparat hukum konvensional seperti kepolisian dan Kejaksaan Agung merasa terganggu atas munculnya lembaga-lembaga tersebut.
“Penegak hukum konvensional seperti polisi, jaksa dan pengacara merasa terganggu atas munculnya lembaga tersebut, ” katanya dalam acara yang sama. “Akhirnya mereka “berselingkuh” dengan para pembuat undang-undang agar tidak digolkan pembaharuan hukum mereka,” jelasnya.
Secara konstitusional, Saldi menjelaskan tidak ada larangan terhadap para wakil rakyat untuk membatasi eksistensi lembaga-lembaga baru .
Saldi melihat, susahnya upaya untuk menambah kewenangan sebuah lembaga seperti PPATK sangat tergantung dari para legislator, sebab, ada beberapa alasan sehingga eksistensinya sulit ditambahkan dan diluaskan. “Pertama, alasan kebutuhan atau kepentingan. Kedua, adanya politik hukum, ketiga, upaya harmonisasi konvensi Internasional, ” tandasnya.
Kedua pakar ini mengungkapkan hal tersebut karena pembahasan RUU TPPU yang dianggap penting justru didrop oleh Komisi III DPR , diantaranya tentang hak penyelidikan PPATK, selain pelaporan transaksi advokat, notaris dan PPAT serta berbagai pasal krusial lainnya. (republika.co.id, 30/7/2010)