JAKARTA- Pengamat politik dari Universitas Indonesia Bony Hargens menilai Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tidak peka terhadap kondisi masyarakat. Hal itu tampak dari tindakan DPD membangun rumah aspirasi di setiap daerah senilai Rp40 miliar hanya sekedar menjadi tempat menjaring aspirasi masyarakat.
“Kalau memang anggota DPD itu mau memperjuangkan daerah dan tahu apa kebutuhan daerah karena mereka putra daerah, mereka tidak akan pernah mungkin mau menerima dana sebesar itu hanya untuk membangun rumah aspirasi,” tegas Bony di Jakarta, Rabu (4/8).
Anggota DPD menurutnya, tidak memiliki empati terhadap daerahnya. Daerah lebih membutuhkan anggaran untuk pembangunan saranan kesehatan, pendidikan, dan dan infrastruktur ketimbang rumah aspirasi. “Mereka kan bisa menegaskan kepada DPR yang punya hak budget, kami memang butuh aspirasi, namun kami tidak memerlukan rumah aspirasi semahal itu. Anggaran untuk rumah aspirasi cukup Rp5 miliar dan sisanya dialihkan untuk hal lain yang dibutuhkan masyarakat,” jelasnya.
Yang penting dari sebuah rumah aspirasi menurutnya, adalah fungsinya dan bukan gedungnya. Gedung rumah aspirasi DPD di daerah tidak akan bisa bermanfaat banyak untuk masyarakat, jika ternyata aspirasi masyarakat juga tidak bisa tersalurhkan. Sebaliknya gubuk reot pun akan lebih bermanfaat jika anggota DPD bisa lebih mengaspirasikan keinginan masyarakat daerah.
“Jelas fasilitas yang diberikan kepada anggota DPD dibandingkan dengan kewenangan maupun kemampuan yang mereka miliki sangat tidak seimbang. Ini kan sama saja memberikan hansip sebuah pesawat tempur, karena walaupun diberikan fasilitas lebih, tetap saja hansip tidak akan pernah bisa menerbangkan pesawat tersebut apalagi menggunakannya untuk bertempur,” imbuhnya.
Penanggaran yang mahal dan juga sama rata bagi setiap daerah menurut Bony juga sangat tidak masuk akal, terlebih jika dilihat rumah itu hanya digunakan untuk 4 orang anggota DPD dan tidak sepanjang tahun. “Kita kan sampai sekarang juga belum tahu berapa lama atau seberapa sering anggota DPD berkantor di daerah karena selama ini hal itu memang belum pernah diungkapkan oleh DPD. Selain itu membeli rumah seharga Rp40 miliar, yang untuk ukuran Jakarta saja bisa mendapatkan gedung bagus, bagaimana dengan di NTT, misalnya? Uang sebesar itu bisa untuk membangun istana,” tegasnya.
Oleh karena itu Bony menduga DPD sudah seperti lembaga negara lainnya yang lebih mengedepankan proyek daripada memperjuangkan apa yang seharusnya. Jika ini yang terjadi maka kewenangan sedikit itu justru lebih baik buat DPD. Jika ini yang terjadi maka pembentukan DPD untuk menguatkan system menjadi sebaliknya, DPD hanya menjadi lembaga negara yang tidak memiliki dampak positif bagi rakyat.
Direktur Advokasi PSHK Ronald Rofiandri melihat kurangnya pemberitaan tentang DPD dan segala kegiatannya, membuat pembangunan rumah aspirasi senilai Rp40 miliar itu luput dari perhatian media massa, selain karena ketidakmampuan DPD mengolah isu dan berhubungan dengan media. Dengan demikian maka segala kegiatan mereka seperti tetap meneruskan proyek rumah aspirasi yang mahal itu bisa terlaksana dengan mulus tanpa ada polemik.
“Nampaknya ketidakmampuan anggota-anggota DPD dalam memainkan isu dan berhubungan dengan media bukan hanya karena faktor ketidakmampuan, namun juga kesengajaan, karena dengan demikian maka apapun kegiatan DPD, walaupun bertentangan dengan keingan masyarakat tetap bisa dilaksanakan,” jelasnya. (mediaindonesia.com, 5/8/2010)
wow…. enak banget ya… jadi anggota dewan
bisa ini dan itu…..
tak peduli dengan rakyat..
rakyat mau menderita, gizi buruk, mau mati………..
nda pusing yang penting happy (naudzu billa)