Polri kembali menebar janji-janji tanpa bukti. Setelah gagal membuktikan pernyataan mereka soal kepemilikan rekaman pembicaraan antara Deputi Penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi Ade Raharja dan Ary Muladi, polisi pun tak bisa membuktikan keberadaan daftar telepon (call data record/CDR).
Entah karena tak memilikinya atau sengaja tak mau menyerahkan, hingga tuntutan terhadap terdakwa Anggodo Widjojo dibacakan, CDR yang sebelumnya dijanjikan Polri itu tak juga sampai ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Senin (16/8/2010), Ketua majelis hakim Tjokorda Rae Suamba baru saja membuka sidang ketika kuasa hukum Anggodo, OC Kaligis, menanyakan soal CDR Ade-Ary itu.
”Sampai sekarang tidak ada. Majelis pun tak bisa menerima barang bukti di luar persidangan,” kata Tjokorda. Dia lalu menanyakan perihal CDR itu kepada ketua jaksa penuntut umum Suwarji.
Namun, Suwarji pun mengaku belum menerimanya. Jangankan rekaman atau CDR, surat dari pengadilan saja tak ditanggapi Polri sama sekali. ”Sampai sekarang tidak ada jawaban sampai ke kami,” kata Suwarji.
Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Ito Sumardi mengungkapkan, pihak kepolisian memiliki data berupa daftar telepon, bukan rekaman telepon. Daftar telepon itu segera disampaikan kepada pihak Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Kompas, 12/8/2010).
Jawaban Ito ini adalah pengakuan pertama setelah mereka masih ngotot memiliki rekaman itu, tetapi belum bisa diserahkan karena masih dipelajari (Kompas, 11/8/2010). Kamis (29/7/2010), Kepala Polri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri juga menyatakan masih punya rekaman itu dan mempertimbangkan untuk menyerahkannya. ”Kalau memang diminta, ya tentunya sesuai dengan prosedur dari hakim, ya kami akan penuhi,” kata Kapolri.
Pernyataan Kapolri itu barangkali memang lebih untuk menguatkan pernyataan-pernyataannya pada akhir tahun silam ketika konflik ”cicak vs buaya” memanas. Waktu itu, Kapolri menyatakan, alasan penahanan terhadap Bibit dan Chandra bukan rekayasa karena mereka memiliki bukti rekaman pembicaraan telepon Ade-Ary hingga 64 kali.
Jaksa Agung Hendarman Supandji juga mengatakan hal yang sama dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR, Senin (9/11/2009) di Jakarta (Kompas, 10/11/2009).
Belakangan Hendarman mengakui belum pernah mendengar sendiri percakapan dalam rekaman itu. ”Itu laporan dari Pak Kapolri. Dan saya mengecek melalui Pak Marwan (Jaksa Agung Muda Pengawasan Marwan Effendy) bahwa jaksa mengatakan itu ada,” katanya.
Kenapa Polri sebagai penegak hukum tertinggi negeri ini mengabaikan perintah pengadilan? Jangan-jangan rekaman atau bahkan CDR itu memang tak ada. Apakah Kapolri dan Jaksa Agung telah melakukan kebohongan kepada publik? (kompas.com, 19/8/2010)
kebohongan seperti itu kan sdh kita dengar tiap hari, kita pun terbiasa krnnya