LONDON- Sebuah laporan merekomendasikan Presiden AS Barack Obama agar membuka ruang dialog dengan Ikhwanul Muslimin untuk mencegah apa yang ia sebut dengan kelompok-kelompok ekstremis Salafis mengisi kekosongan akibat tidakadanya partisipasi “Aktivis Islam Moderat” dalam politik.
Laporan yang dibuat oleh Institut Brookings Amerika, dan disusun oleh peneliti di the Saban Center untuk Kebijakan Timur Tengah, Shadi Hamid dengan judul: “Reaksi Aktivis Islam Terhadap Penindasan …. Apakah Mainstream Kelompok Islam Akan Memakai Ekstremisme?”
Laporan itu menetapkan langkah-langkah praktis yang perlu diambil oleh pemerintah Obama, terutama dukungan secara terbuka terhadap hak semua kelompok oposisi, termasuk gerakan Islam, khususnya Ikhwanul Muslimin di Mesir dan Yordania, untuk berpartisipasi dalam pemilu mendatang. Dan mendukung hak semua kelompok politik “non kekerasan” untuk berpartisipasi dalam proses pemilihan .
Menanamkan Pengaruh Amerika
Laporan ini juga merekomendasikan tentang perlunya kedutaan Amerika kembali berdialog dengan para aktivis Islam, setelah hampir satu dekade setelah pemerintah mantan Presiden AS, George W. Bush dan Ikhwanul Muslimin memutuskan untuk tidak berdialog di antara kedua belah pihak pasca serangan 11 September 2001.
Laporan tersebut menegaskan bahwa dengan saluran-saluran dialog yang terbuka ini memungkinkan Amerika Serikat untuk menanamkan pengaruh dalam strategi yang ditempuh oleh kelompok Islam, khususnya yang berkaitan dengan partisipasi dalam pemilu.
Korban “Permainan” Hasil Pemilihan
Laporan tersebut mengakui bahwa Ikhwanul Muslimin di Mesir dan Yordania telah menjadi korban dari “permainan” hasil pemilihan terakhir.
Laporan itu memaparkan inisiatif reformasi yang dilontarkan oleh Ikhwanul Muslimin di Mesir pada tahun 2004. Bahkan hal ini dianggapnya sebagai “Tonggak utama dalam evolusi politik dalam Ikhwanul Muslimin, yang merupakan upaya untuk mengangkat masalah demokrasi dan pengumpulan kekuatan-kekuatan politik lainnya di sekitar visi bersama demi sebuah perubahan.”
Laporan itu mengatakan bahwa ini merupakan yang pertama kalinya kelompok (Ikhwanul Muslimin) menyatakan keyakinan mereka terhadap sistem parlemen, dan hak partai untuk memenangkan sebanyak mungkin suara dalam rangka membentuk pemerintahan.
Laporan itu juga memaparkan pengalaman Ikhwanul Muslimin di Yordania, serta pemboikotan mereka terhadap pemilihan umum pada tahun 1997, dan kembali berpartisipasi di tahun 2003. Bahkan dalam pemilihan kali ini mereka mendapatkan 17 kursi, dan memenangkan mayoritas suara.
Laporan juga menunjuk pada program reformasi yang diumumkan oleh kelompok (Ikhwanul Muslimin) pada tahun 2005. Dan laporan menilai hal ini sebagai “Ekspresi dari arah jangka panjang gerakan Islam baru untuk fokus pada reformasi demokratis.”
Laporan memaparkan tentang keputusan Ikhwanul Muslimin di Yordania untuk memboikot pemilu yang akan berlangsung tahun ini setelah menuduh pemerintah berlaku curang dalam pemilihan umum tahun 2007.
Menurut laporan itu, bahwa penyelenggaraan pemilu tanpa partisipasi kelompok Islam “Akan mengurangi legitimasi, dan membuka pintu bagi kelompok-kelompok Salafis untuk mengisi kekosongan itu.” (islammemo.cc, 23/8/2010).