JAKARTA –Hingga akhir 2009 masih sekitar 8,7 juta atau 5,3 persen penduduk Indonesia di atas 15 tahun buta aksara. Dari jumlah tersebut, sebagian besar berusia di atas 45 tahun.
Pemerintah menargetkan angka buta aksara akhir 2010 tersisa 4,79 persen atau sekitar 8,3 juta. “Ini masih proyeksi, menunggu klarifikasi data dari BPS (Badan Pusat Statistik),” tutur Direktur Jenderal Pendidikan Non Formal dan Informal (PNFI), Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas), Hamid Muhammad, di Jakarta, Senin (6/9).
Penjelasan itu disampaikan dalam kaitan pelaksanaan Hari Aksara Internasional (HAI) yang diperingati setiap 8 September. Menurut Hamid, peringatan HAI tahun ini tidak dapat dilaksanakan tepat 8 September karena bertepatan hari libur nasional menjelang Hari Raya Idul Fitri. Peringatan direncanakan pada 10 Oktober 2010 di Balikpapan, Kalimantan Timur.
Hamid menyebut sejumlah permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam upaya meningkatkan keberaksaraan masyarakat, khususnya penduduk buta aksara. Antara lain karena sisa buta aksara adalah kelompok masyarakat yang tersulit, baik dari sisi ekonomi (sangat miskin), geografis (terpencil, terpencar, dan terisolasi), maupun secara sosial budaya.
Selain itu, disparitas gender buta aksara antara laki-laki dan perempuan masih relatif besar. “Kelompok perempuan miskin yang buta aksara lebih besar dari penduduk laki-laki,” ujarnya.
Hamid juga mengakui angka buta aksara kembali dari warga belajar yang sudah dibelajarkan melalui program pendidikan keaksaraan dasar masih cukup besar. “Buta aksara kembali karena tidak dipakai,” katanya. “Kondisi menjadi buta aksara kembali tidak hanya terjadi pada usia dewasa, tapi juga anak-anak usia sekolah yang putus sekolah di kelas 2 dan kelas 3 SD.”
Menghadapi permasalahan tersebut, Hamid mengatakan, sejak tahun 2009 penyelenggaraan program penuntasan buta aksara dibangun dalam kerangka kerja AKRAB (Aksara Agar Berdaya). Ini sejalan dengan kerangka Literacy Initiative for Empowermen (LIFE) Unesco.
Dalam hal ini, kata Hamid, upaya penuntasan buta aksara melalui pendidikan keaksaraan, terintegrasi dengan kerangka hidup dan program kemiskinan secara umum. Dengan kerangka AKRAB, keterlibatan berbagai organisasi dan lembaga seperti perguruan tinggi, lembaga swasta, perusahan BUMN/BUMD, organisasi sosial, keagamaan, organisasi perempuan dapat ditingkatkan. Salah satu di antaranya dengan menerbitkan Koran Ibu atau kegiatan baca tulis.
Koran Ibu, jelas Direktur Pendidikan Masyarakat Ditjen PNFI, Kemendiknas, Ella Yulaelawati, sebagai media menulis dari perempuan, oleh perempuan, dan untuk perempuan. Melalui media itu, perempuan buta aksara berlatih menulis agar tidak buta aksara kembali. ”Sedang dirintis Koran Anak, terutama yang termarjinalkan,” tuturnya. (republika.co.id, 7/9/2010)