Dr. Ali Jam’ah, Mufti Mesir menilai bahwa niqab bukan kewajiban agama. Sementara pakaian syar’iy (menurut Islam) yang dituntut dari perempuan Muslim adalah semua bentuk pakaian yang tidak menggambarkan pesona tubuh, tidak transparan dan menutupi seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Dikatakan bahwa jika syarat-syarat ini telah terpenuhi oleh model pakaian apapun, maka seorang wanita Muslim boleh memakainya.
Ia menambahkan dalam kajiannya yang dikeluarkan oleh Menteri Awqaf dengan judul: “Niqab Yang Berhubungan Dengan Tradisi“, bahwa niqab bukan kewajiban agama. Bahkan pendapat jumhur ulama memperbolehkan wanita membuka wajah dan telapak tangannya. Dalam membolehkan ini jumhur ulama Hanafi, Maliki dan Syafi’i berdalil dengan dengan ayat-ayat al-Qur’an dan as-Sunnah. Allah SWT berfirman: “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya.” (TQS. An-Nûr [24] : 31). Sementara Nabi Saw bersabda: “Wanita yang berihram jangan memakai niqab dan jangan pula memakai sarung tangan.” (HR. Bukhari).
Ia menjelaskan bahwa justru ada kebutuhan untuk memperlihatkan wajah ketika transaksi jual beli. Dan ia berkata: “Jika ada beberapa ulama yang berpendapat wajibnya niqab dengan dalil beberapa nash yang maknanya masih kemungkinan (muhtamal), maka jumhur menjawab hal ini, bahwa sesuatu yang masih kemungkinan tidak sah dijadikan dalil. Sementara itu, masalah pakaian terkait erat dengan tradisi.”
Surat kabar Mesir “Ad-Dustûr” mengatakan: “Kajian itu mengemukakan pendapat Dr Abdul Halim Abu Syaqah terkait masalah memakai niqab, yang mengatakan bahwa “Niqab adalah semacam aksesoris kecantikan di awal datangnya Islam, seperti halnya sorban, burnus (sejenis mantel bertudung kepala), dan celana. Dan dengan memakai niqab tampak kecantikan apa yang di wajah, yaitu kedua mata.”
Ia menambahkan bahwa pakaian itu modelnya bervariasi, di mana antara satu lingkungan dengan lingkungan yang lain berbeda, sesuai tingkat sosial masyarakat. Sebagaimana ia mengatakan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal membolehkan niqab dalam beberapa keadaan, namun beliau tidak menetapkannya. Imam Ahmad bin Hambal berkata: “Tidak mengapa memakai niqab“. Niqab adalah model aksesoris kecantikan perempuan yang dipakai oleh para wanita merdeka di masa Jahiliyah, dan hal itu berlangsung hingga era setelah Islam. Sekiranya niqab itu sarana untuk menjaga kesucian dan kehormatan perempuan, tentu Rasulullah memilihnya untuk para istrinya.
Kajian itu juga mengemukakan pendapat Dr Mahmud Hamdi Zaqzuq, yang mengatakan: “Niqab menghalangi komunikasi antar manusia. Sedang Nabi Saw bersabda: “Senyummu pada saudaramu adalah shadaqah.” (HR. Tirmidzi).
Ia berkata: “Hal ini tidak terkait dengan kebebasan pribadi, justru ini merupakan bentuk penyalahgunaan kebebasan tersebut, karena perbuatan bertentangan dengan sifat asli manusia. Bahkan niqab ini merupakan episode dalam rangkaian ketidakadilan sosial yang terus-menerus terhadap perempuan, yang diberlakukan akibat matinya etika dan keringnya pengetahuan, yang semuanya terjadi karena kebodohan terhadap agama. Ini merupakan taklid buta yang dipaksakan atas dirinya atas nama agama.”
*** *** ***
Yang jelas ikhtilaf dalam masalah niqab ini adalah ikhtilaf yang masih diperboleh dalam Islam, sebab di sana ada subhatud dalil, yakni dalil yang masih diperselisihkan. Sehingga dalam masalah ini tergantung pada masing-masing, yang berpendapat bahwa memakai niqab hukumnya wajib bagi perempuan, maka ini hukum syara’ baginya, karenanya ia wajib terikat dengannya.
Sebenarnya masalah niqab ini dimunculkan kepermukaan dengan tujuan untuk menciptakan islamophobia dan perpecahan di antara kaum Muslim sendiri. Sebab niqab ini sudah ada sejak seribu empat ratus tahun yang lalu, dan selama itu tidak pernah ada masalah. Niqab baru dipermasalah ketika Islam sudah mulai mendapat tempat di hati masyarakat, khususnya di negeri-negeri non-Islam (islamtoday.net, 1/10/2010).