Anas bin Malik ra menuturkan, bahwa Baginda Rasulullah SAW pernah bersabda, “Ada tiga kafarat, tiga derajat, tiga penyelamat dan tiga muhlikat. Tiga kafarat (penebus dosa) adalah: menyempurnakan wudhu pada saat cuaca amat dingin, menunggu waktu-waktu shalat dan melangkahkan kaki ke masjid untuk shalat berjamaah. Tiga derajat adalah: memberi makan (orang lemah dan lapar), menebarkan salam dan mendirikan shalat malam saat kebanyakan manusia tidur terlelap. Tiga penyelamat (munjiyat) adalah: berlaku adil dalam keadaan marah ataupun ridha, bersikap wajar dalam keadaan kaya ataupun fakir serta takut kepada Allah SWT dalam keadaan sepi maupun ramai. Tiga muhlikat (penghancur) adalah: sifat kikir yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti dan takjub terhadap diri sendiri (Al-Bazzar, Musnad al-Bazzar, II/290).
Kafarat, Darajat, Munjiyat
Dari penuturan Rasulullah SAW di atas, berarti ada sembilan yang perlu diupayakan seorang Muslim. Pertama: Menyempurnakan wudhu pada saat cuaca sangat dingin. Tentu, ini tidak disukai oleh siapapun. Namun, bagi seorang Muslim cuaca amat dingin tak akan menjadi halangan untuk menunaikan shalat. Kedua: menunggu waktu-waktu shalat, tentu karena rindunya untuk menunaikan setiap shalat fardhu. Ketiga: melangkahkan kaki ke masjid untuk shalat berjamaah. Inilah yang akan menjadi kafarat (penebus dosa).
Keempat: memberi makan orang-orang lemah dan lapar. Kelima: mengucapkan salam kepada orang yang dikenal maupun tak dikenal. Keenam: menunaikan shalat malam (tahajud) saat orang-orang lelap tertidur dan tenggelam dalam mimpi. Inilah yang akan mengangkat derajat seseorang di akhirat kelak.
Ketujuh: berlaku adil dalam keadaan marah ataupun ridha. Dengan itu, seorang Muslim tidak akan berlaku dzalim kepada orang lain pada saat marah, dan ia pun tak rela terjatuh pada keharaman hanya demi meraih keridhaan manusia. Kedelapan: bersikap wajar dalam keadaan kaya ataupun fakir; ia bersyukur saat kaya dan bersabar saat fakir. Kesembilan: senantiasa menumbuhkan rasa takut kepada Allah SWT, baik dalam keadaan sepi (tersembunyi dari manusia) maupun dalam keadaan ramai (berada di tengah-tengah manusia). Sebagian ulama berpendapat, didahulukannya dalam keadaan sepi karena di situlah derajat takwa yang paling tinggi. Ketiga hal ini akan menyelamatkan seorang Muslim dari azab Allah SWT di akhirat kelak.
Muhlikat
Sebaliknya, dari hadits di atas, ada tiga perkara yang mesti dijauhi seorang Muslim: Pertama: Sifat kikir yang selalu ditaati. Sifat kikir ini menjadikan pelakunya enggan untuk menunaikan hak Allah SWT maupun hak makhluk. Di dalam sebuah hadis sahih Baginda Rasulullah pernah bersabda, “Kalian harus waspada terhadap sifat kikir. Sebab, sifat kikir telah menghancurkan orang-orang sebelum kalian. Kikir telah menjadikan mereka berlaku bakhil, dzalim dan memutuskan tali persaudaraan.” (HR al-Hakim dan al-Baihaqi).
Kedua: Hawa nafsu yang diikuti. Dalam hal ini, Imam Ali kw pernah berkata, “Sesungguhnya ada hal yang paling aku khawatirkan atas kalian, yakni mengikuti hawa nafsu dan panjang angan-angan. Mengikuti hawa nafsu bisa mengakibatkan orang menyimpang dari kebenaran, sementara panjang angan-angan bisa menjadikan orang lupa akan akhirat.” (HR al-Baihaqi dalam Sya’b al-Iman, VII/369).
Banyak nash Alquran maupun hadits yang mencela sikap memperturutkan hawa nafsu. Allah SWT, misalnya, berfirman (yang artinya): Siapakah yang lebih sesat daripada orang yang memperturutkan hawa nafsunya tanpa mendapatkan petunjuk dari Allah SWT? (TQS al-Qashshash: 50). Allah SWT juga berfirman (yang artinya): Hukumilah manusia dengan cara yang benar dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu hingga membuat kamu tersesat dari jalan Allah dan mendapatkan azab yang sangat keras (TQS Shad: 26).
Menurut Ibn Taimiyah, siapa saja yang tidak mengikuti perintah Allah SWT dan Rasul-Nya pada dasarnya dia telah mengikuti hawa nafsunya tanpa mendapatkan petunjuk dari Allah SWT. Karena itulah, Imam Hasan al-Bashri pernah berkata, “Hati-hatilah terhadap hawa nafsu dan ra’yu-mu dalam hal urusan agama Allah dan mintalah nasihat dari Kitabullah untuk dirimu.”
Ketiga: Takjub terhadap diri sendiri, yakni memandang dirinya sebagai sempurna/hebat sembari melupakan kenyataan bahwa semua yang ada pada dirinya merupakan nikmat Allah yang wajib disyukuri. Imam al-Ghazali menyatakan, sikap ujub (takjub diri) adalah menganggap dirinya besar; ia terlena dengan ragam nikmat yang dia rasakan sembari melupakan sang Pemberi nikmat. Sikap ujub ini pada akhirnya sering melahirkan sikap sombong (arogan). Sikap ini tercermin dalam apa yang diisyaratkan Baginda Rasulullah SAW, “Sombong itu menolak kebenaran dan cenderung merendahkan orang lain.” (HR Muslim, at-Tirmidzi dan al-Hakim).
Tiga yang terakhir inilah yang dapat menghancurkan pelakunya, di dunia apalagi di akhirat. Na’udzu billah min dzalik. [] ABI
kalau penguasa negeri ini mangamalkan hadits itu ada harapan negeri ini membaik berangsur sembuh dari bencana
(HR al-Baihaqi dalam Sya’b al-Iman, VII/369)
mungkin yg benar:
(HR al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman, VII/369)
Nilai nilai Islam yang demikian indah ini kerak kali dijadikan tempat pelarian bagi umat Islam yang putus asa terhadap kondisi ummat yang kian terpuruk akibat tidak diterapkannya syariat secara kaffah oleh negara. Akhirnya dia meminimalisir kewajibannya untuk berjuang dengan merasa cukup dengan nilai-nilai tadi. Astagfirullah
subhanallah, betapa sempurnanya Islam, betapa indahnya Islam. Seandainya semua menyadarinya,tentu perjuangan penegakkan Khilafah tak sealot ini. namun Allah masih memberi kesempatan kepada para pejuang untuk meraih pahala perjuangan ini karena kecintaanNya kepada para mujahid. Tetap semangat, tetap berada dibarisan Dakwah.
Memang manusia tidak layak untuk SOMBONG…Na’udzu billah min dzalik.
subhanallah islam begitu sempurna