Negara, sebagaimana individu, merupakan subyek hukum syariah. Negara harus menetapkan metode tertentu dalam mengadopsi hukum syariah. Bagi negara, mengadopsi hukum ada yang wajib dan ada yang mubah. Jika adopsi hukum ini terjadi di atas dua metode yang berbeda, maka akan terdapat pertentangan terkait asas yang di atasnya adopsi itu dilakukan.
Ada tiga alasan mengapa negara harus menetapkan metode tertentu dalam mengadopsi hukum-hukum syariah. Pertama: hukum yang wajib dijalankan adalah hukum syariah, bukan hukum akal; yakni hukum Allah, bukan hukum buatan manusia. Karena itu, dalil yang darinya digali hukum harus bersumber dari wahyu. Kedua: penetapan bahwa dalil yang darinya digali hukum itu benar-benar bersumber dari wahyu, harus dengan qath’i (definitif/pasti), sebab ini termasuk bagian dari akidah, sementara akidah tidak boleh diambil kecuali dari sesuatu yang memberi keyakinan. Ketiga: jika tidak ada ketegasan bahwa dasar pengambilan hukum itu harus benar-benar bersumber dari wahyu, dikhawatirkan akan muncul di tengah-tengah umat pemikiran yang tidak islami, karena digali dari sumber yang tidak berasal dari wahyu. Oleh karena itu, harus ada penegasan bahwa dalil-dalil yang darinya digali hukum-hukum yang akan diterapkan oleh negara adalah dalil-dalil yang benar-benar bersumber dari wahyu.
Telaah atas Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Daulah Islamiyah kali ini akan membahas pasal 12 tentang dalil-dalil yariah yang diakui negara, yang berbunyi: “Al-Kitab (Al-Quran), as-Sunnah, Ijmak Shahabat dan Qiyas adalah dalil-dalil syariah yang diakui.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 48).
Dalil-dalil Syariah yang Diakui
Dalil, menurut pengertian bahasa, adalah sesuatu yang menunjukan pada sesuatu yang kongkrit (hissi) atau yang abstrak (maknawi). Menurut ulama fikih, dalil adalah sesuatu yang di dalamnya terdapat petunjuk. Menurut ulama ushul, dalil adalah sesuatu yang dengan penelaahan yang sahih bisa menghantarkan pada pengetahuan atas mathlûb khabari (hukum suatu perkara yang sedang dicari status hukumnya), atau sesuatu yang dijadikan hujjah bahwa perkara yang dibahas adalah hukum syariah (Az-Zain, Ilmu Ushûlil Fiqh al-Muyassar, hlm. 297).
Adapun dalil-dalil hukum syariah yang diakui oleh negara dan telah memenuhui kualifikasi qath’i, pasti bersumber dari wahyu, ada empat: Al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qiyas.
1. Al-Quran.
Al-Quran adalah kalam (firman) Allah yang berupa mukjizat, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dengan bahasa Arab, terdapat di antara dua ujung mushaf, disampaikan secara mutawatir, membacanya adalah ibadah, dimulai dengan surat al-Fatihah dan ditutup dengan surat an-Nas (An-Nikmah, Ulûmul Qur’ân, hlm. 8).
Dalil bahwa al-Quran berasal dari wahyu Allah SWT, baik redaksi maupun maknanya, merupakan dalil yang qath’i (pasti). Kemukjizatan al-Quran juga menjadi dalil yang qath’i bahwa al-Quran merupakan kalam (firman) Allah, bukan perkataan manusia. Al-Quran yang merupakan kalam (firman) Allah itu dengan pasti menyebutkan, bahwa wahyu telah diturunkan kepada Rasulullah saw. (Lihat: QS al-An’am [6]: 19; QS al-Anbiya’ [21]: 45). Dua ayat ini dan yang lainnya merupakan dalil-dalil yang qath’i bahwa al-Quran disampaikan melalui wahyu yang berasal dari Allah SWT (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 50). Dengan demikian, al-Quran merupakan dalil syariah yang ditetapkan berdasarkan dalil-dalil yang qath’i.
2. As-Sunnah.
As-Sunnah dan al-Hadis pengertiannya sama, yaitu perkataan, perbuatan dan ketetapan yang datang dari Rasulullah saw. (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, I/178).
Kedudukan as-Sunnah sebagai dalil yang qath’i—yang merupakan dalil yang dibawa oleh wahyu, yang maknanya dari Allah SWT, sementara redaksinya dari Rasulullah saw.—telah disebutkan dengan tegas dan jelas di dalam beberapa ayat al-Quran. Allah SWT berfirman:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى * إِنْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى
Tiadalah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya) (QS an-Najm [53] : 3-4).
قُلْ إِنَّمَا أَتَّبِعُ مَا يُوحَى إِلَيَّ مِنْ رَبِّي
Katakanlah, “Sesungguhnya aku hanya mengikut apa yang diwahyukan dari Tuhanku kepadaku.” (QS al-A’raf [7]: 203).
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Apa yang Rasul berikan kepada kalian, terimalah. Apa yang dia larang atas kalian, tinggalkanlah. Bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya (QS al-Hasyr [59]: 7).
Ayat-ayat ini dan yang lainnya menunjukkan dengan tegas dan jelas bahwa as-Sunnah yang diucapkan Rasulullah saw. tidak lain adalah wahyu dari Allah SWT. Dengan tegas dan jelas pula Allah SWT telah memerintahkan kita agar menaati apa saja yang Rasulullah perintahkan, dan menjauhi apa yang beliau larang. Dalil bahwa as-Sunnah datang melalui wahyu adalah dalil yang qath’i. Oleh karena itu, kedudukan as-Sunnah sebagai dalil ditetapkan berdasarkan nash yang qath’i ats-tsubut qath’i ad-dilalah, yakni sumber dan maknanya pasti (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 50).
3. Ijmak Sahabat.
Ijmak Shahabat adalah kesepakatan para Sahabat tentang hukum suatu perkara, bahwa hukum tersebut merupakan hukum syariah (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 52).
Arti Ijmak Sahabat ini bukan berarti kesepakatan atas pendapat pribadi Sahabat, melainkan kesepakatan atas hukum tertentu bahwa ia merupakan hukum syariah. Sebab, pendapat Sahabat bukan wahyu, dan masing-masing mereka tidak ma’shum (terpelihara) dari kesalahan. Kesepakatan mereka atas hukum suatu perkara menunjukkan bahwa mereka mengetahui dalil, lalu mereka bersepakat atas hukum tersebut, tetapi dalil hukum itu tidak mereka riwayatkan Dengan kata lain, bahwa mereka tidak akan bersepakat kecuali atas perkara yang ada nashnya (Abu Zahra, Ushûl al-Fiqh, hlm. 198).
Adapun dalil yang membuktikan bahwa Ijmak Sahabat merupakan dalil hukum syariah yang qath’i, bersumber dari wahyu, adalah: Pertama, Allah SWT telah memuji mereka di dalam al-Quran dengan nash yang qath’i ats-tsubut qath’i ad-dilâlah, yakni sumber dan maknanya pasti (Lihat: QS at-Taubah [9]: 100).
Pujian Allah ini ditujukan kepada semua Sahabat. Karena itu, hukum yang disepakati oleh mereka yang mendapat pujian dari Allah ini pasti benar. Sebab, mustahil mereka sepakat atas sesuatu yang salah, karena hal itu bertentangan dengan pujian Allah kepada mereka.
Kedua: Sahabat adalah orang yang menjadi tempat kita mengambil agama ini. Merekalah yang menyampaikan al-Quran kepada kita. Allah SWT telah berjanji untuk menjaga al-Quran (QS al-Hijr [15]: 9). Sahabat adalah orang yang membawanya kepada kita. Dengan demikian, janji Allah itu juga menunjukkan jaminan-Nya kepada orang yang membawanya, yaitu para Sahabat. Selain itu, mustahil mereka yang membawa agama dan al-Quran kepada kita sepakat melakukan kesalahan dan kedustaan, karena secara logika hal ini mustahil terjadi. Sebab, jika terjadi, maka hal itu bertentangan dengan jaminan Allah melalui dalil yang qath’i. Dengan demikian, Ijmak Sahabat merupakan dalil yang qath’i (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 51).
Karena itu, hanya Ijmak Sahabat saja yang dapat dijadikan sebagai hujjah. Imam Dawud berkata:
الإِجْمَاعُ إِنَّمَا هُوَ إِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ فَقَطْ
Ijmak (yang diakui) tidak lain hanyalah Ijmak Sahabat saja (Asy-Syaukani, Irsyâdul Fukhûl, hlm. 53).
Bahkan Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullâh mengatakan:
مَنِ ادَّعَى اْلإِجْمَاعَ فَهُوَ كَاذِبٌ
Siapa saja yang mengklaim ada ijmak (setelah masa Sahabat) maka ia berdusta. (Al-Jauziyah, A’lâm al-Muwaqqi’în, I/498).
4. Qiyas.
Qiyas adalah menyertakan suatu perkara terhadap yang lainnya dalam hukum syariah karena terdapat kesamaan ‘illat (pendorong adanya hukum syariah) di antara keduanya (Abu Rusytah, Taysîr al-Wushûl ila al-Ushûl Dirâsât fi Ushûl al-Fiqh, hlm. 85).
Dalil yang qath’i yang menunjukkan bahwa qiyas adalah hujjah dalam menentukan hukum berangkat dari tempat yang menjadikan qiyas sebagai dalil syariah, dalam hal ini tidak lain adalah nash itu sendiri yang menjadi rujukan qiyas. Sebab, ‘illat dalam qiyas tidak diambil kecuali apabila syariah telah menunjukkannya. Dengan demikian, menganggap qiyas sebagai dalil syariah merupakan suatu keharusan.
Qiyas pada hakikatnya kembali pada nash itu sendiri. Oleh karena itu, qiyas dikatakan dengan ma’qul an-nash (nash yang rasional). Atas dasar ini, qiyas ini dalilnya adalah nash itu sendiri yang mengandung ‘illat, yakni penyebab timbulnya hukum. Jadi, apabila dalil ‘illat adalah al-Quran maka dalil qiyas ini juga al-Quran. Apabila dalil ‘illat adalah as-Sunnah maka dalil qiyas ini juga adalah as-Sunnah. Apabila dalil ‘illat adalah Ijmak Sahabat maka dalil qiyas ini adalah juga Ijmak Sahabat. Dengan demikian, dalil qiyas adalah dalil yang qath’i, sama dengan dalil-dalil al-Quran, as-Sunnah, dan Ijmak Sahabat. (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, III/320).
Dalil-dalil Lain
Adapun dalil-dalil yang lain—seperti Ijmak kaum Muslim, mazhab Sahabat, istihsan, mashalih mursalah, dan lainnya—maka tidak dianggap sebagai hujjah dalam menetapkan hukum syariah. Semua itu merupakan sesuatu yang disangka dalil, padahal sebenarnya bukan dalil. Sebab, semua itu datang dengan sesuatu yang menunjukkannya sebagai dalil, namun dengan jalan yang zhann (dugaan), bukan jalan yang qath’ (pasti).
Hanya saja, berdalil dengan dalil-dalil ini, termasuk dalam syubhah ad-dalil (dalil yang masih diperselisihkan), dianggap berdalil dengan dalil syariah. Meski bagi yang tidak menganggapnya sebagai dalil, itu tidak termasuk hukum syariah, namun dalam pandangannya itu merupakan hukum syariah, karena masih ada syubhah ad-dalil (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 76).
Karena itu, negara tidak boleh melarang, apalagi menghukum jika ada warga negaranya yang melakukan amalan berdasarkan dalil-dalil dari selain keempat dalil di atas, selama tidak bertentangan dengan hukum syariah yang telah diadopsi negara, sebab amalan itu termasuk dalam syubhah ad-dalil.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []
Daftar Bacaan
Abu Rasytah, Atha’ bin Khalil, Taysîr al-Wushûl ila al-Ushûl Dirâsât fi Ushûl al-Fiqh, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan III, 2000.
Abu Zahrah, Muhammad, Ushûl al-Fiqih, (Dar al-Fikr al-Arabi), tanpa tahun.
Al-Jauziyah, Imam Ibnu Qayyim, A’lâmul Muwaqqi’în, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah), 1996.
An-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddin, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.
An-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddin, Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah Juz I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan VI, 2003.
An-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddin, Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah Juz III, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan III, 2005.
An-Nikmah, Ulûmul Qur’ân, (Tanpa Penerbit), Cetakan II, 2008.
Asy-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Abdullah, Irsyâdul Fukhûl, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah), 1994.
Az-Zain, Dr. Samih Athif, Ilmu Ushûlil Fiqh al-Muyassar, (Beirut: Dar al-Kitab al-Lubnani), Cetakan I, 1990.