Masalah TKI, Bukti Kebobrokan Sistem Kapitalisme
Oleh : Siti Nafidah
Sungguh malang nasib Sumiati dan Kikim. Dua TKI perempuan asal Dompu NTB dan Cianjur ini telah menjadi korban penyiksaan sadis sang majikan. Bahkan karena siksaan sadis itu nyawa Kikim harus hilang dengan cara mengenaskan; disiksa, diperkosa, digorok dan dibuang bak binatang di tempat sampah.
Ironisnya, ibarat mengidap amnesia akut, seluruh bangsa inipun hanya bisa terperangah. Bersikap seolah-olah peristiwa semacam ini baru kali ini terjadi. Para penguasa nampak panik menutupi keteledoran. Sementara media sibuk memberitakan. Adapun rakyat kebanyakan asyik berdiskusi, dan menjadikannya topik obrolan baru, menggantikan topik-topik lain yang datang bergantian.
Namun bisa dipastikan persoalan ini lambat laun akan pupus dengan sendirinya, sejalan dengan bergulirnya waktu, dan banyaknya persoalan yang seolah tak pernah mau hengkang dari negeri dengan berjuta masalah ini. Nama Sumiati dan Kikim pun, dipastikan akan menghilang dari perbincangan, dan suatu saat data kasusnyapun lenyap di peti-eskan.
Itulah yang juga pernah terjadi pada Nirmala Bonat, Siti Zainab, Siti Hajar, Nuraeni, dan ribuan TKI perempuan bernasib malang yang saat kasusnya bermunculan bangsa ini memberi respon yang sama. Namun apa yang terjadi kemudian? Nama dan kasus merekapun raib entah kemana.
Lantas, bagaimana dengan nasib jutaan TKI lain yang tak sempat terekam kamera dan terendus media? Padahal detik ini pun, bisa jadi di antara mereka, ada yang sedang meratapi nasib dan berjuang sendirian menghadapi kesewenang-wenangan para majikan.
Wahai Penguasa, Dimanakah Kalian?
Nasib kebanyakan TKI memang malang. Mereka yang mayoritas kaum perempuan dipuja bak pahlawan, karena menjadi sumber devisa buat kelangsungan hidup negara yang senyatanya tak bisa dihasilkan oleh keringat hasil kerja para penguasa. Namun di saat yang sama, mereka harus rela menghadapi ketidak acuhan para penguasa akan nasib miris yang menimpa mereka.
Seberapa besar jasa TKI, Republika pernah merilis data, bahwa hingga September 2010, total dana remitansi yang dikirimkan TKI di luar negeri, telah mencapai 5,031 miliar dolar Amerika dengan angka terbesar datang dari Malaysia disusul Arab Saudi (republika.co.id, 23/11). Data lain menyebut, dari tahun 2009 hingga awal maret 2010 pemasukan devisa yang dihasilkan dari remitansi yang dikirimkan TKI mencapai 6,615 milyar dolar AS atau setara Rp. 60 Trilyun (antaraNews dan vivaNews, 1/3). Dan untuk tahun 2010, Bank dunia bahkan memprediksi akan mencapai 7 milyar dolar lebih (politikindonesia.com,11/11).
Bayangkan betapa besar kontribusi para TKI pada perekonomian bangsa ini. Bahkan nilai devisa TKI ini disebut-sebut menempati posisi nomor dua setelah Migas. Penghasilan menggiurkan inilah yang rupanya menjadi alasan kenapa penguasa begitu bersemangat mendorong dan memfasilitasi pegiriman TKI ke luar negeri. Cukup dengan mengekspor TKI terutama kaum perempuan, devisa datang sendiri. Tak heran jika Indonesia disebut-sebut sebagai salah satu negara pengekspor buruh migran terbesar dunia dengan persentase buruh migran perempuan (BMP) mencapai 80 persen. Yang menjadi negara tujuan antara lain Arab Saudi, Malaysia, Singapura dan Hongkong.
Ironisnya, hingga hari ini tidak ada data pasti tentang berapa jumlah TKI yang bekerja di luar negeri. Beberapa waktu lalu SBY menyebut angka 3.271.584 orang. Sementara situs migrantcare menyebut ada 4,5 juta orang (migrantcare.net, 24/11). Di antara sekian banyak TKI yang mengadu nasib di luar negeri ini, tak sedikit yang malah menuai masalah. Menurut catatan Migrant Care, sepanjang 2010 saja, jumlah total dari berbagai jenis masalah yang dialami buruh migrant mencapai 45.845 kasus dan 908 orang mati sia-sia (okezone,24/11). Sementara menurut SBY, TKI bermasalah ‘hanya’ ada 0,01 persen (4.385 orang) saja, dengan jenis masalah berupa pelanggaran kontrak, gaji tidak dibayar, jam kerja serta beban kerja yang tidak sesuai, tindakan kekerasan hingga pelecehan seksual.
Yang menjadi pertanyaan adalah, jika jasa TKI tak bisa diabaikan, lantas seberapa peduli pihak pemerintah terhadap permasalahan mereka? Jawabannya, mungkin bisa tercermin dari ungkapan SBY tatkala menanggapi perdebatan soal kasus Sumiati dan Kikim: “TKI, bekali handphone saja!”. Alih-alih fokus pada solusi strategis, SBY malah melontarkan gagasan kontroversial. Seolah-olah, persoalan TKI dan harga perempuan, hanya persoalan remeh temeh saja. Ironisnya ide yang dinilai sangat menggelikan dan tidak layak muncul dari seorang Presiden ini justru ditanggapi positif oleh BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia), lembaga yang seharusnya turut bertanggungjawab terhadap munculnya permasalahan TKI dan memaksimalkan upaya perlindungan atas mereka.
Dari fakta ini saja nampak jelas bagaimana peran penguasa yang seharusnya menjadi pelayan dan pelindung masyarakat. Sikap tak acuh mereka malah kian melegitimasi kedzaliman yang menimpa para perempuan penambang devisa. Bahkan keberadaan hukum normatif yang diberlakukan penguasa, yakni UU No 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI), bagi sebagian kalangan, justru dianggap sebagai sumber masalah. Selain karena tak memberikan skema yang jelas bagaimana perlindungan harus dijalankan, UU ini bahkan dinilai menjadi alat legal bagi PJTKI untuk melakukan eksploitasi melalui bisnis TKI. Jika demikian halnya, pantaslah jika ada yang menyatakan, bahwa negara dan penguasa semacam ini adalah sumber kekerasan sebenarnya.
TKI Perempuan dan Jebakan Kemiskinan
Atas merebaknya kasus TKI khususnya yang perempuan, para pengamat dan LSM rata-rata hanya menyorot soal kinerja pemerintah dalam persoalan regulasi yang harus diperbaiki, termasuk desakan merativikasi konvensi PBB terkait buruh migrant, serta masalah lemahnya positioning pemerintah dalam kegiatan diplomasi, dll. Padahal jika dicermati, ada hal mendasar yang seharusnya menjadi fokus utama pemerintah dalam menyelesaikan masalah TKI, yakni persoalan gurita kemiskinan dan sulitnya lapangan pekerjaan di dalam negeri.
Kemiskinan dan pengangguran memang merupakan PR terbesar negeri ini. Kemiskinan, bahkan menjadi potret bersama sekitar 31 juta penduduk Indonesia (13,33 persen dari 238 juta) dengan standar pendapatan yang digunakan Rp. 211.000/kap/bln (Sensus BPS, 2010). Bayangkan jika besaran standar kemiskinan yang tidak manusiawi ini dinaikkan. Mungkin lebih dari setengah penduduk Indonesia yang akan masuk pada katagori miskin.
Sejalan dengan kemiskinan, angka pengangguranpun tak kalah fantastis. Di tahun 2010 ini, diperkirakan jumlah pengangguran terbuka mencapai angka 10 persen (23 juta). Dan ini belum termasuk jumlah pengangguran terselubung dan tertutup yang angkanya bisa dua kali lipat. Mandegnya pertumbuhan ekonomi dan investasi di sektor riil akibat krisis global disebut-sebut sebagai penyebab terjadinya dua hal ini. Sulitnya lapangan pekerjaan dan rasionalisasi besar-besaran di sektor perindustrian membuat angkatan kerja termasuk jutaan lulusan perguruan tinggi tak terserap potensinya. Kehidupan masyarakat yang sulit ini, kemudian diperparah dengan krisis pangan dan energi yang memicu kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Dampak susulannya, gizi buruk dan anak terlantar pun merebak dimana-mana, kualitas kesehatan dan pendidikan masyarakat kian menurun, kriminalitas meningkat, dan lain-lain.
Pada kondisi seperti inilah jutaan keluarga-keluarga miskin harus bertahan hidup. Dan untuk membantu perekonomian keluarga mereka, para ibu dan kaum perempuanpun terpaksa ‘memberdayakan diri’, membantu para bapak mencari uang, di tengah peran domestik yang sangat penting dan tak kalah berat. Salah satu opsi yang terbuka adalah dengan menjadi TKI ke luar negeri, sekalipun beresiko tinggi.
Dengan rata-rata bekal kualitas pendidikan dan skill yang pas-pasan, para tenaga kerja perempuan inipun terbang jauh merenda asa. Bertahun-tahun rela meninggalkan keluarga, suami dan anak mereka. Pekerjaan sebagai PRT, perawat, bahkan PSK pun menjadi pilihan paling realistis bagi kebanyakan dari mereka. Hanya sedikit yang bisa bekerja sebagai dokter, guru/dosen, artis, dll. Nampaknya, mereka sudah tak peduli bahwa pilihan ini telah berdampak pada pelanggaran hukum syara yang akan mendatangkan kemurkaan Allah SWT. Di samping mencari nafkah bukan kewajiban mereka, dari statusnya sebagai istri, akan banyak kewajiban atas suami yang terabaikan saat dia menjadi TKI di luar negeri. Begitupun sebagai ibu, kewajiban mulianya sebagai pengasuh, pendidik dan pencetak generasi umat berkualitas akan terlalaikan sama sekali.
Kemiskinan, Cermin Ketidakmampuan Negara Mewujudkan Kesejahteraan
Sebagai negara super kaya, tak semestinya Indonesia menjadi negara miskin dan menggantungkan hidupnya dari eksploitasi tenaga kerja perempuan di luar negeri. Begitupun, tak akan ada alasan bagi para bapak untuk tak bekerja dan menggantungkan hidup mereka dan keluarganya dengan merelakan para isteri bekerja menyabung nyawa di luar negeri.
Indonesia sebenarnya punya modal lebih dari cukup untuk mensejahterakan seluruh rakyatnya hingga tujuh turunan sekalipun. Sumber daya alam kita melimpah ruah, baik berupa hutan, laut, sungai dengan segala isinya, bahan tambang berupa mineral, minyak, gas bumi, dll. Tahun 2009 saja, Badan Geologi merilis data, bahwa Indonesia masih memiliki cadangan batubara 104.760 juta ton, emas 4.250 ton, tembaga 68.960 ribu ton, timah 650.135 ton dan nikel 1.878 juta ton. Sayangnya, amanah Allah berupa kekayaan alam milik rakyat ini tak dikelola secara baik oleh para penguasa Indonesia dari masa ke masa. Konsistensi mereka pada kebijakan ekonomi liberal kapitalistik telah menyebabkan sebagian besar kekayaan itu jatuh ke tangan asing. Jebakan kesepakatan internasional, hutang luar negeri dan rekayasa krisis ekonomi ala Yahudi berikut penyelesaian masalah mereka pada resep IMF telah membuat pemerintah kita tunduk pada kemauan asing.
Akibatnya? Ladang minyak bumi Indonesia hampir 90 persen dikuasai asing. Begitupun SDA yang lain. Salah satunya, PT. Freeport-McMoRan pengelola tambang emas asal Amerika mendapat izin gratis untuk mengeksploitasi pertambangan emas di Ertsberg dan Grasberg Papua melalui perjanjian Kontrak Karya yang sejak tahun 1967 terus diperpanjang hingga saat ini. Tiap hari, perusahaan ini ditengarai berhasil menambang 102.000 gr emas (bayangkan, harga emas 24 karat sekitar Rp. 400 ribu/gr) berikut ‘bonus’ berupa tembaga dan uranium. Jika dihitung, emas kita yang sudah mereka rampok berjumlah 102.000grX43thX365 hari. Padahal emas yang mereka keruk ini bisa menjadikan kita memiliki cadangan devisa yang berlimpah tanpa harus mengorbankan rakyat terutama kaum perempuan mereka untuk jadi TKI. Belum lagi perusahaan-perusahaan asing lainnya, yang dengan cara sama mereka mendapat legalisasi merampok kekayaan kita. Ada Exxon Mobil, Shell, British Petroleum, Total S.A., Chevron Corp. dll yang di tahun 2009, semuanya diperkirakan mengelola kekayaan alam Indonesia dengan nilai 1.655 miliar dolar AS atau sekitar Rp. 17.000 triliun/tahun = 17 kali lipat dari APBN Indonesia tahun 2009 yang hanya mencapai rp 1.037 triliun.
Tentu saja semua kekayaan ini, seharusnya bisa menjadi modal pemerintah untuk membangun negara dan mesejahterakan rakyatnya, dengan memenuhi hak dasar mereka, baik sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dll secara mudah, murah bahkan gratis. Dengan demikian, keluarga-keluarga di negeri ini, akan menikmati hidup dengan mudah dan merasakan ketentraman yang sesungguhnya. Para bapak, beroleh kemudahan mencari nafkah karena lapangan pekerjaan tersedia dengan mudah. Kebutuhan para Ibu dan anak-anakpun akan terjamin, sehingga tugas mulia mencetak generasi berkualitas akan berlangsung secara sempurna. Sayangnya, ini tak terjadi. Perselingkuhan para penguasa dengan pihak asing dan kapitalis, membuat mereka lebih rela menjadi kacung asing dan menjalankan kebijakan-kebijakan anti rakyat, seperti program liberalisasi, privatisasi BUMN, pencabutan subsidi, dan membuat berbagai regulasi yang menguntungkan asing/kapitalis ketimbang rakyat banyak, semisal UU No. 1/1967 tentang PMA, UU No. 4/2004 tentang Sumber Daya Air, UU Migas, dll.
Saatnya Kembali Ke Jalan Allah
Mempertahankan kapitalisme sebagai sistem hidup dan membiarkan para penjaganya tetap berkuasa tentu bukanlah pilihan logis. Jika ini terjadi, jangan harap berbagai permasalahan TKI yang akarnya adalah kemiskinan ini bisa diselesaikan dengan tuntas. Kaum perempuanpun akan tetap terhinakan dan menjadi korban kebusukan kapitalisme sebagaimana juga laki-laki. Mereka akan selalu berada dalam kondisi dilematis dalam menjalankan peran-peran mereka. Padahal, Allah SWT telah tetapkan kedudukan mereka dalam posisi yang mulia sebagai ummu wa Rabbatul Bait, ibu dan pengatur rumahtangga, penyangga kemuliaan generasi umat dan arsitek peradaban Islam di masa depan.
Terlebih persoalan TKI hanyalah sebagian kecil dari dampak penerapan sistem kapitalisme ini. Di dalam negeri, jutaan buruh menjerit karena upah yang tak sepadan dengan kebutuhan hidup mereka. Uang rakyat, malah digunakan foya-foya oleh para pejabat korup mereka, sementara itu, para penguasa berasyik masyuk dengan pemimpin para penjajah dan berkonspirasi menambah penderitaan rakyat dengan menandatangani berbagai nota kesepakatan yang mengokohkan penjajahan kapitalisme atas negeri mereka. Pada saat yang sama, para penguasa itupun membiarkan rakyatnya berjalan sendirian, menderita dan menangis sendirian dan meninabobokan mereka dengan janji-janji kosong yang tak lebih hanya untuk pencitraan semata.
Sudah saatnya umat negeri ini sadar, bahwa jalan terbaik adalah kembali ke jalan Islam. Jalan yang menjanjikan kemuliaan manusia sebagai individu maupun umat, melalui penerapan aturan Islam secara kaffah dalam wadah Khilafah Islamiyah. Aturan-aturan Islam inilah yang akan menyelesaikan berbagai persoalan manusia secara adil dan menyeluruh, termasuk masalah kemiskinan berikut dampak turunannya. Dalam sistem ini, para penguasa dan rakyat akan saling menjaga dan mengukuhkan dalam melaksanakan ketaatan demi meraih keridhaan Allah. Tak ada pihak yang dirugikan, termasuk kaum perempuan.[][]
harusnya bagaimana menyikapi itu semua?