Sejumlah negara di kawasan Arab kini menghadapi ancaman perpecahan secara geografi. Sejumlah negara secara de facto telah terbelah secara sektarian atau mazhab.
Beberapa pekan mendatang, persisnya pada 9 Januari 2011, akan digelar referendum untuk menentukan nasib sendiri bagi rakyat Sudan selatan. Hampir dipastikan hasilnya adalah pemisahan Sudan selatan dan utara.
Rakyat di Yaman selatan juga melakukan aksi pembangkangan terhadap pemerintah pusat di Yaman utara. Yaman utara dan selatan bersatu pada tahun 1990. Pada 1994, Yaman selatan mencoba memisahkan diri, tetapi dipatahkan oleh militer. Yaman selatan berupaya lagi memisahkan diri.
Yaman terpecah lagi antara wilayah Yaman utara di dekat perbatasan Arab Saudi yang dikontrol kaum Syiah Houthi. Wilayah pegunungan di Yaman timur dan selatan dikuasai Al Qaeda. Yaman selatan dihuni kaum pembangkang Yaman selatan.
Perjuangan rakyat Sahara barat untuk pisah dari Maroko dan mendeklarasikan negara sendiri tidak pernah pula surut.
Kini, presiden otoritas wilayah Kurdi Irak, Masoud Barzani, dalam kongres Partai Demokrat Kurdistan (KDP), yang dia pimpin, Sabtu (11/12) di Irbil, juga menuntut hak untuk bisa menentukan nasib sendiri.
Semua fasilitas dan kekuasaan besar yang diperoleh rakyat Kurdi setelah ambruknya rezim Saddam Hussein tahun 2003 tidak cukup menggiurkan bagi Kurdi untuk tetap hidup di bawah naungan Irak.
Kurdi saat ini telah mendapat jabatan presiden, menteri luar negeri, dan sejumlah posisi di kementerian lain. Wilayah Kurdi juga menikmati otonomi luas yang hampir menyamai sebuah negara. Semua itu tetap tidak cukup bagi rakyat Kurdi.
Hal serupa terjadi di Sudan. Pasca-kesepakatan damai Nifasha tahun 2005, Gerakan Pembebasan Rakyat Sudan (SPLM) yang berkuasa di Sudan selatan mendapatkan kekuasaan besar.
Di dalam pemerintahan koalisi bersama dengan Partai Kongres Rakyat pimpinan Presiden Omar Hassan Bashir, SPLM mendapatkan jabatan wakil presiden, menteri luar negeri, dan sejumlah pos di kementerian lainnya. Semua kekuasaan itu juga tetap tidak cukup bagi rakyat Sudan selatan.
Sejumlah negara lain di kawasan Arab juga dihantui perpecahan secara sektarian dan mazhab.
Irak, selain menghadapi ancaman pemisahan dari kaum Kurdi, kini sesungguhnya telah terbelah antara Irak selatan yang didominasi kaum Syiah dan Irak tengah yang dikontrol kaum Sunni. Irak utara kini praktis sudah ada di bawah otoritas etnis Kurdi.
Lebanon juga mengalami nasib serupa. Lebanon selatan didominasi kaum Syiah, di Lebanon utara ada kaum Sunni. Sebagian wilayah pegunungan dan Beirut timur dikontrol kaum Kristen dan sebagian lagi wilayah pegunungan itu dikontrol kaum Druze.
Palestina pun tak luput dari perpecahan, yaitu antara Tepi Barat yang dikuasai faksi Fatah dan Jalur Gaza yang dikontrol Hamas.
Realitas perpecahan terjadi di sejumlah negara Arab. Ini terjadi karena Arab sedang berada dalam titik lemah paling akut.
Negara gagal
Sejumlah negara di Arab masuk kategori negara gagal, seperti Yaman, Sudan, Lebanon, Irak, dan Palestina.
Potret dunia Arab saat ini mirip seperti keadaan pada era terakhir kejayaan Dinasti Abbasiah, yang ambruk pada tahun 1258, dan Ottoman, yang ambruk pada tahun 1923. Keambrukan emporium ini ditandai dengan perpecahan negara atau wilayah.
Kaum Kurdi di Irak utara dan kaum Afrika hitam di Sudan selatan paham keadaan ini. Kaum-kaum itu kini melihat Arab yang sedang berada di titik terlemah dan tiba waktunya untuk memisahkan diri.
Tak berlebihan apabila Pemimpin Libya Muammar Khadafy dalam forum Konferensi Tingkat Tinggi Liga Arab di Sirte, Libya, akhir Maret lalu, memberikan peringatan keras bahwa bangsa Arab akan mengalami kepunahan jika tidak bersatu. (kompas, 14/12/2010)