Kata ‘Ekstrem’ hanya memiliki arti ketika didefinisikan atas beberapa tolak ukur. Cuaca ‘Ekstem’ adalah perubahan serius dari iklim normal yang diharapkan; air yang sangat panas atau sangat dingin didefinisikan seperti itu bila dibandingkan dengan, katakanlah, air hangat. Kata ini memiliki arti relatif dan didefinisikan dalam hubungannya dengan beberapa ‘norma’. Ide-ide tidaklah berbeda.
Jadi untuk pertanyaan – Apakah Kekhalifahan adalah suatu tujuan Islam yang ‘ekstrim’ – Islam adalah tolak ukur (benchmark) terhadapnya normalitas atas Khilafah diukur. Apakah Kekhalifahan adalah penyimpangan serius dari Islam, suatu keyakinan asing yang mewakili bentuk ekstrim dari norma Ortodoksi Islam ?
Tentu saja pertanyaan yang sama sekali berbeda yang diajukan oleh Barat dimana ‘ekstrim’ tidak diukur dalam kaitannya dengan Islam, tetapi dengan Barat, atau demokrasi sekuler liberal. Di situlah sangat langka hal ini disertai dengan beberapa definisi. Dalam kebanyakan kasus, ‘ekstrim’ tidak memenuhi syarat dan digunakan hanya untuk menyebutkan ide-ide Islam sebagai sesuatu yang berada di luar batas penilaian
Untuk pertanyaan pertama, apakah Khilafah adalah hal yang ekstrim jika dibandingkan dengan Islam, maka hal ini dapat dijawab dari perspektif doktrinal, hukum dan sejarah.
Secara historis, Kekhalifahan mendominasi 94% sejarah Islam. Secara resmi institusi ini berakhir pada tahun 1924 M; Khalifah pertama dipilih sekitar 1300 ratus tahun lalu yakni sebelum tahun 632 M. Meskipun dengan kekuatan dan kelemahan, puncak dan cekungan, norma sejarah adalah bahwa Umat Islam hidup dalam Khilafah. Jadi secara mapan hal ini terbukti secara historis, sebagian akademisi percaya bahwa kelemahan saat negara negara Muslim adalah merupakan konsekuensi dari sifatnya yang berakar mendalam dan transnasional dari Kekhalifahan dan ummat yang sekarang menantang adanya batas-batas negara pasca-kolonial. Pada saat berakhirnya Kekhalifahan, muncul kebingungan, doa tertangguhkan, orang-orang mengklaim Khilafah dari mulai Mesir hingga Sharif dari Mekah, dan pergerakan-pergerakan Islam segera terbentuk untuk mengamankan pendiriannya kembali. Jika kekhalifahan mewakili ekstrimitas, apa yang dapat menjelaskan dominasi Khilafah dalam sejarah Islam dan rasa kehilangan mendalam atas ketiadaanya dan dampak dari keruntuhannya?
Secara hukum, Khilafah merupakan kekuasaan eksekutif yang bertanggung jawab atas pelaksanaan Syariah. Para ahli hukum sepanjang sejarah Islam, mulai dari Shaybani’s Siyar (merupakan suatu risalah tentang hubungan internasional), Abu Yusuf al Kitab Kharaj melalui Ahkam al Sultaniyah karya Imam almawardi hingga banyak sekali ahli hukum lain selama berabad-abad, telah menulis tentang peran, hak-hak dan keutamaan kekhalifahan. Institusi Kekhalifahan merupakan fondasi hukum Islam. Sementara banyak hokum ‘hudud’ dari Barat, fakta-fakta menunjukkan bahwa ini hanya dapat diatur oleh suatu negara seringkali menjadi hal yang tidak terjawab. Hukum Islam selalu mengakui yurisdiksi temporal Islam: secara klasik ruang lingkupnya terdiri dari ibadah – yakni ibadah yang dilakukan secara personal – dan mu’amalat – yakni hukum temporal. Karena itu Syari’ah tidak berisi moralitas, ritual, orang dan keluarga, tetapi terdiri dari badan hukum Islam yang besar yang berkaitan dengan negara dan masyarakat. Lebih jauh lagi, hukum Islam klasik menganggap kekhalifahan adalah sebuah ‘kewajiban’ pada umat Islam untuk memastikan eksistensinya ada, dan bukan merupakan hal yang asing,. Seorang ahli hukum klasik Abu Hanifah, yang merupakan pendiri mazhab Islam yang diikuti oleh 70% Muslim Sunni, menggambarkan Khilafah sebagai ‘ibu’ dari semua kewajiban Islam. Hal ini dapat menjelaskan tuntutan yang sedang berlangsung bagi kembalinya Kekhalifahan – dan hal ini bukan hanya merupakan fungsi dari ‘daya tariknya’, tetapi karena hal itu mewakili persyaratan inti dari Islam.
Secara doktrin, keyakinan Islam menganggap bahwa kedaulatan Allah merupakan aspek penting dari Tauhid, keyakinan pada satu Tuhan. Sementara harus ada upaya akal manusia untuk memahami hukum dan menerapkannya, asal hukumnya adalah ilahiah dan merupakan acuan yang sah satu-satunya dalam penyelesaian sengketa dan hukum. Hukum Islam bersandar pada premis ini dan menjelaskan karakter dan ruang lingkupnya.
Sayangnya bagi Barat, hal-hal tadi bukanlah argumen dari para ‘Islamis’. Masing-masing hal itu dapat diverifikasi secara independen terhadap buku-buku klasik hukum dan teologi. Meskipun sebagiannya mungkin tidak memprioritaskan kekhalifahan, dengan menganggapnya terlalu sulit untuk diwujudkan segera, atau memilih untuk menunda berdirinya, hal ini adalah fungsi dari pertimbangan praktis dan bukan tantangan bagi kebutuhan pemerintahan menurut Islam di bawah Khilafah. Mereka yang telah mencoba untuk menantang persyaratan ini secara langsung telah mendapatkan diri mereka menjadi terkucil dari pelajaran Islam klasik, baik yang diutarakan oleh para Ulama maupun dari orang-orang pada umumnya. Karenanya, contoh dari usaha tersebut tidak banyak, tetapi Ali Abdul Razzaq’s merupakan salah yang lebih baru dan mewakili mengungkapkannya secara umum (walaupun ini adalah satu abad yang lalu). Bahkan kaum Modernis telah menghindari tantangan atas kebutuhan inti ini, dan memilihnya untuk mendefinisikan kembali (re-define) atau menafsirkan ulang (re-interpret) bentuk kekhalifahan.
Dr Nuh Feldman dalam bukunya “Kejatuhan dan Kebangkitan Negara Islam” dalam bab “Apa Yang Benar? ‘ menggambarkan berapa banyak orang di dunia Muslim berpandangan atas Negara Islam:” Jika seseorang memperhatikan bahwa selama seribu tiga ratus tahun, Islam memberikan bahasa dominan atas politik di Timur Tengah … maka munculnya kembali Islam seperti kembalinya norma ini. “
Adapun atas pertanyaan yang diajukan oleh Barat, hal ini perlu ditangani secara terpisah. Tapi cukup untuk mengatakannya di sini, seperti ketika Barat menggambarkan Kekhalifahan sebagai hal yang ekstrem dalam kaitannya dengan nilai-nilai Barat, banyak kaum muslim menggambarkan nilai-nilai moral, sosial dan ekonomi Barat dan menganggapnya sebagai pembusukan ekstrem bila dibandingkan dengan nilai-nilai Islam. Jelas pendekatan ini relatif, dan menyimpulkan tidak lebih dari fakta yang jelas bahwa Islam dan demokrasi liberal sekuler adalah berbeda. Sudah saatnya kita bergerak di luar label itu dan menilai substansi setiap rangkaian klaim ini. (rza)
Sumber: www.hizb-australia.org
KHILAFAH janji Alloh