Lagi, Densus 88 Melakukan Pelanggaran Serius HAM

Tidak henti-hentinya Datasemen Khusus 88 Kepolisian Republik Indonesia melakukan kedzaliman kepada orang yang dituduhnya sebagai teroris dengan berbagai rekayasa. Salah satu contohnya adalah proses penangkapan Bahrun Naim (BN), seorang aktivis Islam yang dituduh Densus terlibat terorisme.

Hal  ini diungkap Harist Abu Ulya di hadapan sekitar 300 peserta Halqah Islam dan Peradaban (HIP) ke 25 , Selasa (21/12) siang di Wisma Antara, Jakarta. Menurutnya, BN ditangkap hari Selasa 9 Nopember, bukan Rabu 10 Nopember  seperti yang disebutkan oleh media massa yang mengutip pernyataan Polri.

Pada Selasa dia dibawa oleh Densus 88 untuk disiksa. Ditunjukkan pula foto-foto orang lain yang disangka densus sebagai teroris juga. Tetapi Densus tidak berhasil mengorek kesaksian bahwa BN itu kenal.

Setelah itu, Densus 88 mengembalikan dia ke rumah kontrakannya di Pasar Kliwon, Surakarta dan langsung ditangkap. Di situlah Harist Abu Ulya menduga kuat bahwa peluru yang dituduhkan sebagai milik BN ini, sebenarnya adalah rekayasa karena pada hari penggerebekan, ditemukan peluru yang jumlahnya jauh lebih banyak yakni lebih dari 500 butir.

“BN menyatakan dulu memang ia pernah dititipi peluru oleh kawannya, tapi sejak lama sudah dibuang, BN mengaku mestinya pelurunya hanya ada dua butir saja sebagai kenang-kenangan, tapi anehnya ketika Densus datang jumlahnya jadi sebanyak itu, ”  ujar Harist

Di perjalanan dari Solo hingga Jakarta, BN menerima perlakuan yang sangat buruk. Punggung, perut, kaki, dada, dipukuli Densus 88. Ketika sampai di tanahan Mabes Polri, BN pun dicekoki obat-obatan yang membuat dirinya trauma dan mimpi buruk, hal itu terjadi terus menerus selama 7 hari.

Menurut Harist, perlakuan densus itu merupakan pelanggaran yang sangat serius karena pada faktanya asas praduga tidak bersalah tidak diberlakukan kepada orang yang dituduh terkait teroris oleh densus.

Seseorang itu ketika dituduh terkait tidak mendapatkan penetapan dari peradilan tetapi baru saja diduga langsung dicokok begitu saja tanpa surat penangkapan. Barulah sudah dua atau tiga pekan atau lebih keluarga mendapatkan pemberitahuan melalui kurir bahwa salah satu anggota keluarganya ada di tahanan Polda Metro, Mako Brimob Kelapa Dua Depok, atau di tempat lain.

“Ini suatu bentuk pelanggaran yang sangat serius, melanggar UU HAM yang dibuat sendiri oleh pemerintah!” tegas Harist  yang sering menjadi investigator indipenden kasus penanganan orang yang diduga teroris itu.

UU NO. 39 Th 1999 Tentang HAM, Pasal 4 disebutkan: “hak hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah Hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.”

“Berarti pemerintah telah membuang UU tersebut ke tong sampah!”  ujarnya. Sebelumnya  dalam investagasi di Sumatera Utara terkait penanganan kasus perampokan Bank CIMB Niaga, Harits menemukan fakta bahwa densus melakukan operasinya dengan data yang tidak valid atau sangat diragukan tingkat keakuratannya. Hal itu dibuktikan dengan banyak kasus salah tuduh, salah tangkap, salah tembak, dan salah opini.

“Buktinya baru saja diduga langsung dieksekusi sehingga terjadi extra yudicial kiling (pembunuhan diluar prosedur hukum)” tegasnya.  Sayangnya, hal itu terus berulang dan pelakunya lagi-lagi adalah aparat negara.

Proyek Jangka Panjang

Kontra teroris yang dilakuan pemerintah ini sebenarnya adalah derivat dari proyek global war on terorisme (GWOT)-nyaAmerika. Di Indonesia ternyata GWOT menemukan kematangannya dengan dibentuknya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dengan dikomandani Ansaad Mbay, menyusul densus.

Harits menyatakan didirikannya BNPT menandakan proyek ini adalah proyek jangka panjang dengan melakukan tiga hal. Pertama,pendekatan kekerasan. BNPT akan mengambil orang-orang yang diduganya terlibat terorisme dengan pendekatan kekerasan.

Kedua, penguatan payung hukum. Dengan itu, diharapkan dapat memayungi apa yang dilakukan oleh BNPT ke depan. Saat ini pemerintah sudah mengajukan draf  RUU Anti Terorisme dan draf RUU Intelijen.

“Saya mendapatkan draf yang terbaru dari RUU Intelijen,” bebernya. Dalam draf tersebut diberikan kewenangan yang lebih leluasa kepada intelijen. Sehingga nantinya, badan intelijen tidak lagi hanya mengumpulkan data tetapi juga memiliki kewenangan melakukan penindakan termasuk melakukan penyadapan kepada siapa pun yang disangka teroris. Tanpa ada proses penetapan dari pengadilan. Sehingga siapa pun yang dituduh aparat sebagai teroris akan disadap baik emailnya, telponnya, kiriman pos, dan lainnya.

“Padahal selama ini aturannya, penyadapan itu hanya boleh dilakukan bila telah mendapatkan ketetapan dari pengadilan,” keluhnya.

Ketiga, deradikalisasi. Nampaknya BNPT akan melakukannya secara kontinyu dan simultan dengan melibatkan banyak instrumen. Dengan harapan bahwa kelompok yang oleh BNPT dikategorikan sebagai Islam radikal alias kelompok-kelompok yang dianggap bisa menstimulasi orang-orang untuk melakukan tindakan teror ini bisa dihentikan.

Contoh yang paling baru adalah BNPT menggandeng MUI dan praktisi media massa nasional untuk menggelar melakukan Halqah Nasional Penanggulanggan Terorisme (HNPT) di berbagai kota, terutama enam kota, termasuk Surabaya. Dan tanggal 30 Desember nanti di Medan. Dalam HNPT itu nampak sekali ada upaya untuk menyimpangkan makna Jihad.

Tentu ini sangat berbahaya. Namun sayangnya HTI yang konsern dibidang politik dan pemikiran Islam tidak pernah diundang sebagai pembicara. “HTI tidak pernah diundang sebagai pembicara, tetapi HTI datang untuk menyanggah, itu yang terjadi!” ujar Harits.

Menurut Harist terminologi Islam radikal, Islam moderat adalah kepentingan politik dan perang opini. Tujuannya tentu saja mencap jelek para aktivis Islam yang memperjuangkan tegaknya syariah dan khilafah sehingga masyarakat awam akan menganggap para aktivis itu orang yang menyimpang dari ajaran Islam.

“Hal itu dilakukan untuk menjerumuskan orang-orang Islam yang lurus sehingga dicap sebagai orang Islam yang menyimpang,” tegas Harits dalam acara yang bertema REFLEKSI AKHIR TAHUN 2010: Indonesia di Jurang Sekulerisme dan Masa Depan Syariah tersebut.

Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sendiri  dalam metode perjuangannya telah menegaskan tidak menggunakan kekerasaan (non violence), akan tetapi lewat dakwah pemikiran dan politik. HTI berjuang untuk menegakkan kembali syariah dan khilafah, menyatukan umat  dan membangkitkan umat dari keterpurakannya, membebaskan dari penjajahan imperialisme kapitalis. Dalam dakwahnya, HT dengan tegas menyatakan hanya syariah Islam-lah yang bisa menyelamatkan bangsa  Indonesia dan dunia ![] joko prasetyo/mediaumat.com

One comment

  1. Sekulerisme, kapitalisme, bukanlah hasil sebuah pemikiran unggul. Peradaban yg dihasilkannya pun tdk jauh dr itu, peradaban sampah. Penuh kontradiktif dimana-mana, irasional. Derajat kehidupan manusia jatuh hingga menyamai binatang!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*