Muslimah HTI Menjawab Keraguan Intelektual Surabaya
HTI Press. Di kalangan intelektual muslimah Surabaya, masih ada keraguan tentang syariah dan khilafah yang akan mampu mewujudkan Indonesia Mandiri, Kuat dan Terdepan. Karena itu, dalam Forum Intelektual Muslimah Surabaya, yang digelar Jum’at 24 Desember 2010 di Pecel Pincuk Jl. Jemursari 189A Surabaya, Gugus Tugas Intelektual Muslimah HTI menjawab keraguan tersebut.
Sekitar 40 intelektual muslimah Surabaya hadir dalam forum ini datang dari berbagai kampus di Surabaya. Diantaranya dari Universitas Airlangga, Institute Teknologi 10 Nopember Surabaya, Universitas Negeri Surabaya, IAIN Sunan Ampel, Universitas Wijaya Kusuma, Universitas Muhammadiyah Surabaya, Institute Teknologi Adhi Tama Surabaya dan beberapa kampus lain di Surabaya.
Forum dipandu dr Faizatul Rosyidah Koordinator Gugus Tugas Intelektual Muslimah HTI dan Hj. Nida Saadah SE Ak Koordinator Kajian Ekonomi Gugus Tugas Intelektual Muslimah HTI. Berbagai pertanyaan dilontarkan para intelektual muslimah. Seperti Dr Ramadhani dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya yang menanyakan, mengapa harus su’udzon pada bantuan-bantuan asing, karena pendonor asing itu sering terlibat dalam program penanganan bencana yang bisa jadi niat mereka ikhlas membantu Indonesia.
Pertanyaan tersebut dijawab dengan gambling, bahwa banyak fakta membuktikan terjadinya kapitalisasi bencana dan banyak penulis mengabarkan dan membuktikan fenomena tersebut. Maka wajar jika kita harus mewasdainya. Oliver Smith (2002) membenarkan adanya kecenderungan ekspansi kapitalis dalam penanganan bencana, yang justru membuat masyarakat yang terkena bencana semakin tersudut secara sosial, ekonomi, politik dan budaya. Salah satu contoh misalnya pada kasus tsunami Aceh, di negeri serambi Mekah tersebut sebelum peristiwa tsunami tidak pernah ada konser musik, namun pasca tsunami konser musik menggejala di mana-mana dengan mengatasnamakan konser-konser amal. Tentu saja konser seperti ini medegradasi nuansa Islami yang sangat kental di wilayah tersebut.
Kapitalisasi bencana mengubah orientasi dana “bantuan” menjadi dan “investasi”. Bantuan-bantuan kemanusiaan yang tersalur dibayangi pamrih dan diharapkan bisa dipetik di kemudian hari. Salah satunya terwujud melalui lembaga penyandang dana bantuan yang di-support oleh kebijaksanaan pemerintah dan lembaga internasional. Menurut Schuller (2008) ada 3 indikasi kapitalisasi bencana yang dapat diamati, yaitu: Privatisasi, langkah privatisasi dipaksakan lembaga penyandang dana kepada Negara yang terkena bencana. Program-program, instrumentalisasi bencana dengan mendesakkan program-program penanganan bencana. Pendiktean, kebijakan-kebijakan lokal cenderung didikte oleh para kapitalis transnasional.
Bagaimana Daulah Khilafah menangani bencana? Daulah mengadopsi sistem ekonomi Islam yang memungkinkan pos pemasukan dengan nominal yang luar biasa bahkan tidak terbayang besarnya jika dibandingkan dengan pos penerimaan Negara saat ini yang hanya bertumpu pada pajak dan hutang luar negeri yang terus berbunga. Pada pos pengeluaran penangan bencana pos darurat yang bisa mendapatkan dana tak berhingga. Hal ini semata-mata untuk mendorong wilayah terdampak bencana bisa segera bangkit. Bahkan berkaitan dengan infrastruktur yang rusak karena bencana tanpa pos pendanaan darurat Daulah telah menganggarkan perbaikan infrastruktur secara periodik tiap 10 tahun atau 20 tahun.
dr. Pirlina dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya menyoroti tentang dominasi laki-laki di parlemen apakah bisa mengakomodir kepentingan perempuan? Pertanyaan tersebut dijawab dengan jelas oleh Gugus Tugas Intelektual Muslimah HTI, bahwa persoalan negara menyangkut persoalan laki-laki bisa juga persoalan perempuan. Segala persoalan akan dapat diselesaikan tuntas jika seorang pemimpin memiliki sense mengurusi urusan umat. Keterwakilan suara perempuan dalam parlemen tidak berarti mengakomodasi persoalan perempuan jika dalam diri perempuan anggota parlemen tersebut tidak memiliki sense mengurusi urusan masyarakat termasuk urusan perempuan. Misalnya dalam beberapa kasus bencana persoalan pembalut yang notabene persoalan perempuan, masih menjadi masalah padahal telah banyak wakil perempuan di parlemen. Sebaliknya di dalam Islam, Imam Syafi’i meskipun seorang laki-laki beliau banyak meriwayatkan hadits tentang darah haidh dan darah kotor yang justru merupakan persoalan perempuan yang sangat pribadi. Beliau memandang hal tersebut sangat penting karena identifikasi yang jelas atas kedua jenis darah tersebut dapat membuat para perempuan dapat melaksanakan ibadah dengan penuh keyakinan. Demikian juga ketika suatu malam Khalifah Umar bin Khatab mendengar senandung kerinduan seorang perempuan yang ditinggal jihad suaminya. Maka Khalifah Umar bertanya kepada Hafsah putrinya, berapa lama seoarang perempuan bisa bertahan tanpa suaminya. Hafsah menjawab 4 bulan. Maka sejak saat itu pasukan yang berjihad di medan jihad digilir setiap 4 bulan sekali. Pada struktur Daulah Islam, ada posisi Majelis Wilayah yang perannya sangat penting karena bisa memberi masukan kepada kebijakan-kebijakan Khalifah secara langsung. Di dalam Majelis Wilayah, seorang perempuan, non Muslimin, profesional dan wakil-wakil masyarakat bisa menjadi bagian di dalamnya. Maka tidak ada alasan bahwa Islam tidak mengakomodasi suara perempuan.
Pertanyaan lain datang dari Hartati, MSi Ketua Pusat Penjaminan Mutu FST-Kimia Universitas Airlangga Surabaya, gagaimana jika di suatu tempat ada parpol tandingan yang mendirikan Daulah Khilafah? Tim Gugus Tugas Muslimah HTI menjawab, ada ciri-ciri dan karakteristik penting yang mencirikan suatu negara adalah Daulah Khilafah Islamiyah, meskipun pemimpinnya bisa disebut dengan istilah lain selain Khalifah. Ciri-ciri Daulah Khilafah Islamiyah adalah di dalamnya diterapkan seluruh peraturan Islam dan sistem keamanannya di tangan kaum muslimin. Jika salah satu ciri tersebut tidak ada maka sebuah negara tidak bisa diklasifikasikan sebagai Daulah Islamiyah. Misalnya munculnya daulah Islam di Irak yang pembentukannya dibidani oleh Barat maka negara tersebut tak ubahnya sebagai negara boneka. Adapun berkaitan dengan parpol lain selain HT yang juga hendak mendirikan Daulah, maka jika kriteria di atas terpenuhi maka keberadaannya akan diakui sebagai negara Daulah yang keberadaannya akan mengayomi seluruh kaum muslimin. Perjuangan partai yang shoheh InsyAllah akan bertemu dengan perjuangan HT.
Dari berbagai pertanyaan yang muncul di kalangan intelektual muslimah dan jawaban dari Gugus Tugas Intelektual Muslimah HTI yang dijelaskan secara gamblang, memberi respon positif di kalangan intelektual muslimah Surabaya. Dari angket yang disebarkan, 100% sepakat bahwa hari ini Indonesia sedang dalam masalah yang sangat kompleks akibat penerapan sistem sekulerisme-kapitalis yang diterapkan penguasa yang korup. Para intelektual muslimah Surabaya sepakat dengan solusi syariah sebagai sistem yang diterapkan khilafah dan sepakat dengan perjuangan Hizbut Tahrir untuk mewujudkan syariah dan khilafah. Bahkan para intelektual muslimah ini memberikan dukungan perjuangan Hizbut Tahrir untuk menjadi pendukung dan simpatisan perjuangan menegakkan syariah dan khilafah.[]