Medan. “Tak ada teroris di Sumut!” Demikian statemen tegas dari Kapolda Sumut Irjen Pol Oegroseno dalam acara Halqoh Islam dan Peradaban (HIP) Edisi ke- 6 yang diselenggarakan Hizbut Tahrir Indonesia Sumut. Acara yang bertema “Menguak Kepentingan Di Balik Proyek Deradikalisasi dan Kontraterorisme” ahad (26/12) di hadiri lebih dari 400 oran dari kalangan ulama, tokoh umat Islam, akademisi, intelektual, aktifis
“Pada kasus penyerangan Polsek Hamparan Perak misalnya. Ketika saya tanyakan kepada tersangka mereka mengaku hanya mengincar tiga orang polisi sebagai aksi balas dendam atas teman mereka yang ditembak beberapa waktu sebelumnya. Ini murni kriminal,” ungkap Kapolda.
Kapolda juga mengkritisi defenisi “teroris” yang sering disematkan pada ummat Islam. Di sisi lain, ia sendiri tidak menemukan adanya upaya teror seperti defenisi yang dimaksud pada rentetan peristiwa Hamparan Perak, Tanjungbalai dan perampokan CIMB Niaga, Medan.
Selain itu, langkah penggerebekan yang dilakukan oleh Densus 88 juga disayangkan karena tidak ada koordinasi dengan aparat setempat. “Lahir 3 orang janda yang suami mereka ditembak mati ditempat dengan tuduhan melakukan aksi teror. Padahal bukti itu tidak ada, sampai detik ini,” sebut Kapolda lagi yang disambut teriakan takbir oleh peserta halqoh.
Sementara itu Abdul Hakim Siagian, menyebut, ada upaya terorganisir bagaimana menunggangi segala isu untuk kepentingan asing. Densus 88 sudah melakukan pelanggaran HAM berat padahal, belum ada keputusan tetap yang mengatakan mereka ini adalah teroris.
“Lalu dari mana isu itu muncul? Ini kasus yang penuh intrik dan konspirasi dari Barat, mengingat Amerika sangat takut dengan kekuatan Ummat Islam yang dapat menggeser hegemoni mereka atas penjajahan di Indonesia,” sebut Abdul Hakim.
Abdul Hakim juga mengatakan, rekomendasi terkait yang dilakukan Densus 88 juga sudah ditolak oleh Mahkamah Agung. “Proyek kontra terorisme yang dikomandoi oleh BNPT sebenarnya adalah satu proyek yang ingin melegalkan terorisme defenisi mereka jika itu benar-benar ada. Sementara terorisme itu belum ada defenisi yang jelas. Itu hanya opini media yang terlalu digemborkan atas konspirasi yang sengaja disetting oleh Amerika, lagi-lagi untuk kepentingan modal,” ujar Abdul Hakim Siagian .
Sementara pembicara lain Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia, Muhammad Ismail Yusanto menyebut, ada upaya untuk menunggangi semangat perlawanan terhadap penjajahan Amerika dengan mengaburkan makna jihad. “Kata teroris gencar berdengung pasca tragedi menara kembar WTC yang juga sarat dengan muatan konspirasi. Banyak keanehan yang sudah diungkap para pakar. Menyusul statemen dari Amerika yang memisahkan orang-orang bersama Amerika atau bersama teroris. Itu artinya, yang tidak mendukung Amerika atas segala tindakan kriminal dan penjajahannya adalah teroris,” sebut Ismail Yusanto lagi.
Ia juga berharap, para ulama yang diundang BNPT nanti hendaknya bersikap kritis terhadap program deradikalisasi yang hendak dirumuskan. Jangan sampai, program deradikalisasi justru menggiring ulama untuk menjadi corong dan jurubicara Densus 88. (HAU/mediaumat.com)