Takut Kepada Allah Melahirkan Jiwa Kesatria, Perkasa Dan Berwibawa (Bagian I)

Adanya rasa takut dalam diri manusia adalah hal biasa (alami). Sebab rasa takut itu  merupakan salah satu inidikasi dari naluri untuk bertahan hidup (gharîzah al-baqâ’) yang ada di dalam diri manusia. Ketika indikasi ini tergerak oleh sesuatu apapun, maka manusia akan menghadapinya dengan dorongan akidah yang dimilikinya, serta menentukan perilaku sesuai pemahamannya tentang sesuatu yang telah membangkitkan rasa takut dalam dirinya. Jika pemahamannya ini salah, maka akan melahirkan perilaku yang salah. Sebaliknya, jika pemahamannya ini benar, maka akan melahirkan perilaku yang benar pula.

Dengan demikian, rasa takut mungkin melahirkan kepengecutan dan kerendahan jika itu dihasilkan dari rasa takut kepada manusia; ia mendekat pada manusia untuk mencari kerelaannya, dan untuk mendapatkan kesenangan duniawi yang dimilikinya. Sebaliknya, rasa takut mungkin melahirkan keperkasaan dan kemuliaan jika itu dihasilkan dari rasa takut kepada Allah SWT, dengan mencari ridha-Nya, dan kenikmatan surga-Nya.

Sungguh penting sekali bagi kaum Muslim yang menginginkan kebangkitan dari bencana dan malapetaka yang mewarnai kehidupannya sepanjang hari, agar mereka tidak takut kecuali kepada Allah Yang Mahakuasa atas hamba-Nya. Sehingga mereka menjadi orang-orang yang perkasa dalam ibadahnya, serta menjadi orang-orang yang paling mulia ketika hidup dan matinya.

Allah SWT berfirman: “Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu melihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al-Qur’an) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al-Qur’an dan kenabian Muhammad Saw). Mengapa kami tidak akan beriman kepada Allah dan kepada kebenaran yang datang kepada kami, padahal kami sangat ingin agar Tuhan kami memasukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang saleh?” Maka Allah memberi mereka pahala terhadap perkataan yang mereka ucapkan, (yaitu) surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, sedang mereka kekal di dalamnya. Dan itulah balasan (bagi) orang-orang yang berbuat kebaikan (yang ikhlas keimanannya).” (TQS. Al-Maidah [5] :  83-85).

Allah SWT juga berfirman: “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Qur’an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorangpun pemberi petunjuk baginya.“(TQS. Az-Zumar [39] :  23).

Sebagaimana firman Allah SWT yang lain: “Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk. Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik).“(TQS. Ar-Ra’d [13] :  21-22).

Dan begitu juga dengan ayat-ayat lainnya yang senantiasa memuji mereka yang di dalam hati mereka begitu besar rasa takutnya kepada Allah SWT. Sebab setiap saat mereka sangat takut akan murka dan siksaan-Nya, sehingga mereka berusaha untuk meraih ridha-Nya, dan begitu berharap untuk mendapatkan pahala dari-Nya.

Apabila warna seperti ini telah terbentuk dalam hati manusia, maka ia akan menjadi seseorang di antara mereka yang Allah sebutkan di dalam Al-Qur’an. Allah SWT berfirman: “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah (janjinya).“(TQS. Al-Ahzab [33] : 23).

Dan firman-Nya: “Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (TQS. An-Nur [24] : 37-38).

Dengan demikian, jika tanaman yang bersih dan baik ini, benihnya telah ditanam dalam hati seorang yang mukmin dan telah berakar, maka ia akan berbuah dan memberikan banyak kebaikan. Berbeda dengan hati yang sakit, yang tidak layak untuk benih yang bersih ini, sebab tanahnya tandus, sehingga tidak layak kecuali yang keji dan kotor. Oleh karena itu, hati ada dua jenis: Pertama, hati yang baik dan bagus, yang takut kepada Allah baik ketika sendirian maupun ketika besama banyak orang; takut akan rusaknya hubungan antara dirinya dengan Allah SWT, sehingga ia berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan ridha-Nya, sekalipun hal itu harus dibeli dengan murka orang lain.

Kedua, hati yang sakit dan rusak, tidak takut kepada Allah, terang-terangan melakukan kemaksiatan, tidak peduli dengan hubungan yang menghubungkan dirinya dengan Allah, dan tidak memperhitungkan hisab (perhitungan) apapun, sehingga ia terlihat membeli kesenangan orang lain dengan murka Allah atas dirinya.

Dan berdasarkan jenis hati ini, orang-orang diklasifikasikan, dan berbagai aktivitas dilakukan. Seseorang yang mendatangi penguasa zalim dan menasihatinya, lalu ia ditangkap dan dibunuh oleh penguasa. Tentu, ini berbeda dengan seseorang yang diberi oleh Allah pengetahuan tentang hukum-hukum agama, lalu ia duduk di lantai penguasa zalim, dam membuatkannya fatwa yang membenarkan berbagai aktivitas dan kebijakan yang dilakukannya, dan seperti inilah kebanyakan mereka sekarang.

Maka yang pertama, adalah orang yang menyampaikan Islam. Apabila ia dibunuh oleh seorang penguasa zalim pada saat ia menyampaikan nasihat kepadanya, maka ia adalah syahid. Sedang yang kedua, adalah orang yang menjadikan sorban putihnya sebagai otoritas untuk mengubah kata-kata dari maksud sesungguhnya, membuat kebohongan atas nama Allah, dan memelintir nash-nash untuk memalingkan isinya, lalu disesuaikan dengan keinginannya, dalam rangka untuk menyenangkan hawa nafsu penguasa. Inilah yang difirmankan Allah SWT: “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak akan mensucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih.” (TQS. Al-Baqarah [2] : 174).

Dan dalam firman-Nya yang lain: “Sesungguhnya di antara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab, supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab, padahal ia bukan dari Al Kitab dan mereka mengatakan: “Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi Allah”, padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah, sedang mereka mengetahui.“(TQS. Ali Imran [3] : 78).

Dan begitulah hati yang buta, yang tidak ada ketakwaan dan rasa takut kepada Allah sama sekali, sebaliknya ia dipenuhi dengan rasa takut kepada para thaghut dan para wali setan. Oleh karena itu, apabila hati telah buta, maka yang diperhitungkan pertama adalah kemarahan penguasa zalim hingga melupakan murka Allah. Sehingga pahala dan siksa akhirat terlihat remeh baginya, dan menukarnya dengan kesenangan dunia yang fana dan murah!!

Jadi, jangan heran dengan adanya fatwa-fatwa aneh yang dikeluarkan oleh orang-orang seperti mereka ini, seperti fatwa bolehnya berdamai dengan negara Yahudi, bolehnya meminta bantuan kaum kafir untuk memerangi kaum Muslim, bolehnya membunuh (bughat, kaum pemberontak) yang membangkang pada penguasa yang melakukan kekufuran secara nyata, serta bolehnya menumpahkan darah, merampas harta dan kehormatan mereka yang ikhlas di antara umat ini, yaitu mereka yang melakukan amar makruf nahi munkar, karena mereka diklaim sebagai “teroris, ekstrimis, dan tidak menaati penguasa”, dan fatwa-fatwa lainnya yang dibuat oleh mereka yang telah menjual dirinya pada para penguasa jahat. Sehingga apapun pekerjaan dan ketetapan yang mereka buat, semua berujung pada kejahatan dan kriminalitas[].

Sumber: hizb-ut-tahrir.info (31/12/2010)

3 comments

  1. Na’udzubillah min dzaalik tsumma na’udzubillah..
    Ya Robb karuniakankanlah kamai hati para kesatriaMu.. Aamiin..

  2. Dengan jiwa kesatria yang dimiliki oleh para hambanya, maka kemenangan islam akan semakin dekat….

  3. lebih baik kita tidak ada di dunia dari pada tidak menerapkan hukum ALLAH…..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*