Referendum Sudan: Proyek Kolonial Terbaru

Disain asing untuk memisahkan Sudan adalah tujuan dari Referendum Sudan Selatan

Referendum di Sudan yang bertujuan untuk memisahkan negara itu akan menjadi kesimpulan atas sebuah proyek kolonial kembali seperti pada abad ke-19 lalu. Perang saudara dan kekerasan telah menyiratkan perjuangan itu dan akibatnya banyak fakta mendasar yang telah hilang, sehingga memudahkan jalan untuk meng-internasionalkan pemisahan sebuah negara Muslim. Dengan pemikiran seperti itu, hal-hal berikut harus dipahami berkaitan dengan pemisahan Sudan:

1. Masalah sebenarnya di Sudan adalah perjuangan kolonial untuk merampas kekayaan Negara itu. Selama lebih dari seabad, Inggris, Amerika dan Perancis telah berjuang untuk menguasai Sudan. Sebelum diperolehnya kemerdekaan dari pemerintahan Inggris pada tahun 1965, Sudan dikuasai oleh pasukan yang merupakan kaki tangan Anglo-Mesir pada 1899 setelah kekalahan pasukan Mahdi, dimana Mesir sendiri adalah bagian dari Kerajaan Inggris pada waktu itu. Darfur ditalkukkan oleh Inggris pada 1916, tapi setelah dukungan keuangan dari Khartoum bagi daerah di bagian luar seperti Darfur  membuat kesenjangan kekayaan yang menyebabkan perselisihan suku yang sejak itu telah dimanfaatkan Barat untuk memisahkan wilayah itu.

2. Perselisihan antara suku menyebabkan perang saudara pada tahun 1970. Lalu, Amerika menengahi Perjanjian damai Naivasha pada tahun 2005, yang berpuncak pada berakhirnya perang saudara antara kelompok pemberontak utama, Gerakan/Tentara Pembebasan Rakyat Sudan / (SPLM / A) dan pemerintah Sudan. Persyaratan dari perjanjian tersebut meliputi berbagai tindakan yang memberikan otonomi bagi wilayah Selatan dan prospek memisahkan diri pada tahun 2011 ketika kesepakatan itu berakhir. Amerika secara aktif membantu dan mendukung pemberontak minoritas Kristen di Sudan Selatan dengan menyediakan mereka senjata yang jika tanpa bantuan itu pemberontak tidak akan menikmati keberhasilan mereka dalam memaksa pemerintah Sudan untuk mendapatkan penyelesaian damai.

3. Untuk mengatasi hal ini baik Inggris maupun Perancis memberikan senjata ke Chad, untuk mendukung dan mempersenjatai para pemberontak di Darfur, sehingga menjadikan Darfur sebagai suatu masalah. Kedua negara itu berhasil meng-internasionalisasikan masalah Darfur dan memperumit rencana Amerika untuk memisahkan Sudan Selatan dan mengubahnya menjadi sebuah negara merdeka. Hilary Clinton mengatakan kepada para hadirin Dewan Hubungan Luar Negeri bahwa adalah “tidak terelakkan” bahwa Sudan Selatan akan memilih untuk memisahkan diri dan membentuk sebuah negara merdeka.

4. Barat telah berhasil meng-internasionalisasikan masalah Sudan yang sekarang yang berarti bahwa solusi atas masalah Sudan akan diambil alih kekuatan dunia yang bersaing satu sama lain. Hal ini mirip dengan Timor Leste di mana Amerika Serikat itu sendiri yang memaksa Indonesia untuk menyerahkan penguasaan atas wilayah itu. Demikian pula Inggris memenuhi permintaan Yahudi atas sebuah tanah air dengan menciptakan suatu kondisi bagi mereka di Timur Tengah dimana hal ini tidak akan mungkin tanpa bantuan mereka. Saat ini Amerika terus  menjanjikan kaum Zionis status permanen dan memaksa kaum muslim di wilayah itu untuk menyerahkan wilayahnya kepada negara Yahudi. Sengketa dalam negeri  dari berbagai faksi secara historis merupakan celah bagi Barat untuk ikut campur.

5. Pemisahan Sudan sama sekali tidak ada kaitannya dengan masalah dalam negeri. Hal ini hanyalah upaya menghindari solusi nyata terhadap masalah-masalah pengabaian terhadap rakyat di wilayah selatan. Dengan mengikuti kekuatan colonial itu, para pemimpin Sudan dari utara hingga selatan telah mengabaikan orang-orang Sudan. Sebagaimana pemerintah yang mengabaikan rakyat, gerakan pemberontak pun lalu mengabaikan orang-orang yang seharusnya mereka perjuangkan.

Berbeda dengan hari ini, Sudan menjadi makmur di bawah kekuasaan Islam. Islam masuk ke Afrika Utara ratusan tahun yang lalu, dan Islam memasuki banyak wilayah Darfur serta bagian lain dari Sudan pada abad ke-14. Sebagian besar penguasa muslim di sana mencontoh pemerintahaanya dari Khilafah, meskipun Kesultanan Funj dari Sinnar tidak langsung di bawah kontrol Khilafah Usmani pada saat itu hingga tahun 1821. Namun hal ini masih menyatukan rakyat terlepas dari etnis dan kemakmuran dicapai. Hal ini dikarenakan rakyat mengeyampingkan perselisihan kecil mereka dan mereka bersatu atas dasar Islam.

Oleh karena itu pemisahan bukanlah solusi bagi rakyat Sudan, namun merupakan upaya lain oleh kekuatan asing untuk memecah umat lebih lanjut.

Sumber: www.hizb.org.uk

One comment

  1. NASIONALISME-lah yg menjebak islam dalam entitas2 negara bagian……karena:

    NASIONALISME MEMBAWA KITA KE AMBANG KEHANCURAN
    NASIONALISME ADALAH PERTANYAAN…..
    NASIONALISME ADALAH KEPENTINGAN YG “KITA” BELA

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*