Gereja Katolik Keuskupan Timika, Papua merasa mereka telah gagal dalam mengubah “perilaku mabuk” sebagian masyarakat suku Amungme dan Kamoro di wilayah itu.
Pastor Paroki Katedral Tiga Raja Timika, Romo Amandus Rahadat Pr kepada ANTARA, Rabu mengatakan kasus tewasnya lima warga Kampung Nayaro gara-gara mengonsumsi minuman keras (miras) racikan spirtus, kuku bima dan air kelapa dan juga kasus tewasnya empat mahasiswa asal Mimika usai pesta miras di Bandung pekan lalu menjadi tamparan keras bagi gereja setempat.
“Selama kurang lebih 100 tahun gereja ada di tanah Mimika-Amungsa, pastor, tim pastoral dan gereja buat apa sehingga masyarakat tetap minum, mabuk dan mati gara-gara miras. Itu artinya, kami telah gagal membina mentalitas dan moral umat,” kata Romo Amandus.
Pastor yang sudah enam tahun bertugas di Gereja Katedral Timika itu mengaku sempat menitikan air mata saat memberikan khotbah pada perayaan misa hari Minggu (9/1). Saat itu, Romo Amandus menyinggung tentang kejadian memilukan yang dialami warga Kampung Nayaro dan para orang tua yang tak kuasa menahan sedih taatkala menerima kepulangan anak-anak mereka dari Jawa dalam keadaan tak bernyawa dalam peti mati.
“Atas nama seluruh misionaris yang berkarya di tanah Mimika dan Amungsa mulai dari Pastor Tillemans (yang juga mantan Uskup Agung Merauke) hingga Pastor Franke Mollen, atas nama Uskup dan atas nama Gereja Katolik, kami mohon ampun dari Tuhan karena kami telah gagal,” tuturnya.
Romo Amandus mengatakan, selama ini Gereja Katolik di Mimika bersama elemen lainnya sudah berjuang keras untuk mengarahkan umat agar tidak mengonsumsi miras dan berperilaku mabuk-mabukan. Namun semua upaya itu sia-sia karena sebagian orang Katolik setempat masih menjadi “hamba miras”.
“Menjadi pertanyaan, apakah orang-orang yang mati karena miras ini benar merupakan orang Katolik ataukah hanya Katolik KTP saja. Kalau benar-benar merasa diri orang Katolik jangan bikin malu,” imbaunya.
Ia mengatakan, dalam arus modernisasi saat ini semua hal ditawarkan kepada manusia baik sisi positif maupun negatif seperti pelacuran, miras dan lain-lain. Semua tawaran kenikmatan itu, katanya, akan terpulang kembali kepada kesadaran pribadi setiap orang untuk memilih jalan yang mana.
“Kalau tidak mau terinfeksi HIV, jangan pergi ke tempat pelacuran. Kalau tidak mau mabuk dan mati akibat mengonsumsi miras, jangan beli miras. Semua kembali kepada mentalitas pribadi masing-masing,” katanya.
Romo Amandus melarang umat Katolik setempat melakukan razia tempat-tempat penjualan miras baik miras kemasan pabrik maupun miras racikan.
“Mulai sekarang jangan lagi protes dan razia tempat jual minuman. Di mana-mana minuman dijual bebas seperti di Jayapura dan Jakarta, tergantung kita sendiri mau beli atau tidak, mau mati atau tidak. Orang mengonsumsi minuman untuk senang-senang, bukan untuk mati,” tuturnya.
Warga tewas bertambah
Sementara itu dari data Rumah Sakit Mitra Masyarakat (RSMM) Timika, jumlah warga Nayaro yang tewas akibat mengonsumsi miras racikan bertambah menjadi lima orang.
Kepala Bagian Humas RSMM Timika, Maria Kotorok kepada ANTARA, Rabu mengatakan ada dua warga Nayaro yang tewas akhir pekan lalu setelah menjalani perawatan intensif di RSMM Timika selama beberapa hari.
Kedua orang tersebut yaitu Siprianus Operawiri dan Beni Apoka. Sebelumnya satu rekan mereka atas nama Yohanis Umurufu meninggal pada 3 Januari saat penanganan awal di UGD RSMM Timika. Dua warga lainnya yaitu Agus Arwaparo dan Marthen Nawaripi meninggal di Kampung Nayaro pada Minggu (2/1) sebelum sempat dibawa ke rumah sakit.
Menurut Maria, saat ini masih terdapat sembilan warga Kampung Nayaro yang menjalani perawatan di RSMM Timika. Enam orang dirawat di ruang intensif (high care) atas nama Dominggus Operawiri (22), Rafael Mametapo (45), Germanus Irahewa (29), Yacobus Keraparo (22), Yonas Arwaparo (17), dan Yulius Manauw (15).
Sedangkan tiga lainnya dirawat di Bangsal Theresia yaitu Anselmus Keramokeyauw (22), Martinus Ponsan (21) dan Erik Tirapara (25).
Maria mengatakan, kondisi delapan pasien cukup baik, namun Anselmus sering berteriak-teriak.
Sembilan pasien itu masuk ke RSMM Timika pada mulai 3 Januari hingga 8 Januari.
Para pasien tersebut diduga mengalami keracunan miras racikan spirtus, kuku bima dan air kelapa saat malam pergantian tahun, Jumat (31/12). (ANTARA, 12/1/2011)
“Mulai sekarang jangan lagi protes dan razia tempat jual minuman. Di mana-mana minuman dijual bebas seperti di Jayapura dan Jakarta, tergantung kita sendiri mau beli atau tidak, mau mati atau tidak. Orang mengonsumsi minuman untuk senang-senang, bukan untuk mati,” tuturnya.
aneh banget tuh pastor…sedih tapi membiarkan tetap dijual bebas
kaum non muslim telah mengakui bahwa kondisi sekarang telah bobrok dan mereka pun juga sedih karea umatnya terpuruk menjadi korbansistem yang ada yaitu kapitalisme..
satu jawaban untuk ini semua ganti sistem kapitalisme dengan sistem Islam!!1
maka tidak akan ada lagi umat baik muslim maupun non muslim yang meninggal karena minuman keras karena negara akan melarang produksi dan beredarnya miras di tengah2 masyarakat…
.enurut islam, hukum khomer adalah haram berlaku terus sampai akhir zaman, maka berpikirlah wahai manusia baik muslim terlebih lagi yang non muslim..maka ditangan pemerintah yang tegas semuanya bisa diatasi yaitu menutup pabriknya dan peredaran serta memberi hukuman berat agar tidk ada lagi korban sia-sia….