Hidup di Bawah Ancaman Kejahatan

Jakarta- Warga Jakarta dan sekitarnya hidup di bawah ancaman kejahatan. Di wilayah ini, setiap 9 menit 56 detik, seorang warga menjadi korban kejahatan. Kalau sebelumnya penumpang kendaraan umum hanya menjumpai pencopet, kini mereka menghadapi aksi kejahatan yang lebih keras, berupa pembekapan, penculikan, dan pembacokan.

Penjahat sudah tidak lagi pilih korban, dan mereka tidak ragu menggunakan kekerasan bahkan senjata api. Dari 10 sampai 14 Januari saja, di Pamulang (Tangerang Selatan), Cikarang dan Cibitung (Bekasi), Duren Sawit (Jakarta Timur), dan Cibodas (Kota Tangerang) terjadi lima perampasan sepeda motor oleh penjahat bersenjata api. Salah seorang korban, Ferry (16), warga Cibitung, tewas ditembak penjahat yang mengambil sepeda motor Mio miliknya.

Sementara itu, korban perampokan di dalam angkutan kota di Depok sejak Agustus 2010-Januari 2011 ada lima orang. Mereka adalah Sri Sunarti (50), Maria (50), Elvira Taufani (40), Toyo (27), dan Sukiman (22). Tiga korban pertama dibekap di dalam angkutan kota, kemudian dibuang di tempat sepi di wilayah Cianjur, Depok, dan Bekasi.

Lebih naas lagi, dua korban terakhir dibacok pelaku di dalam angkutan kota dalam perjalanan dari Cililitan, Jakarta Timur, menuju Cimanggis, Depok.

Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Sutarman dalam jumpa pers pada akhir Desember 2010 mengatakan, di wilayahnya setiap 9 menit 56 detik ada seorang warga menjadi korban kejahatan. Angka ini lebih lambat 35 detik dibandingkan tahun 2009. Namun, kualitas kejahatan meningkat.

Menanggapi perkembangan kriminalitas belakangan ini dan trennya, menurut Sutarman, polisi akan memprioritaskan operasi penanggulangan kejahatan, terutama yang disertai kekerasan dan penggunaan senjata api. Langkah ini untuk mewujudkan rasa aman bagi warga. Polisi, di antaranya, sudah menyiapkan Operasi Sikat Jaya yang dilakukan awal Februari 2011. Sasaran utama operasi adalah kejahatan dengan senjata tajam, senjata api, dan bahan peledak.

Tekanan

Di luar ancaman kejahatan itu, setiap harinya warga Jakarta dan sekitarnya juga hidup dalam ancaman dan tekanan hidup yang berat. Mereka diteror kemacetan lalu lintas, harga kebutuhan hidup, serta kondisi tempat tinggal yang tak memenuhi syarat sehat, kenyamanan, dan keamanan.

Tekanan hidup yang amat berat ini membuat sebagian warga frustrasi, mudah marah, dan mendorong konflik komunal, bahkan ada yang mengakhiri hidup. Ini dilakukan Mursinah (41) yang tewas tergantung di rumah tetangganya di Jalan Kemuning III RT 8 RW 4, Utan Kayu, Jakarta Timur, Jumat (14/1), dan Arip bin Maman (43) yang ditemukan tewas tergantung di rumah kontrakan, di Gang Manggis, Kelurahan Margahayu, Bekasi Timur, Bekasi, Sabtu (15/1).

Warga kota juga mengalami tindak kekerasan. Pengeroyokan di wilayah hukum Polda Metro Jakarta, misalnya, kembali memakan dua korban pada akhir minggu kemarin. Mereka adalah Kopral Dua TNI Amirudin (34), yang tewas dibacok saat masuk ke Kafe Bagabe di Depok, dan Deni Supriyatna (21), warga Kecamatan Pulogadung, yang tewas dengan luka bacok di sekujur tubuh setelah dikeroyok di bawah jembatan layang Klender, Jakarta Timur.

Kualitas merosot

Psikiater dr Nalini Muhdi, Wakil Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, mengingatkan, tekanan hidup yang terus-menerus membuat kualitas hidup dan kualitas sumber daya warga merosot. Mereka depresi, ditandai perilaku menyimpang, seperti mudah marah atau tersinggung karena sebab sepele, sampai gangguan kejiwaan yang memunculkan kecenderungan orang mudah bunuh diri karena tak sanggup menahan tekanan hidup. ”Ini jadi ancaman dan bahaya besar, sebab dengan kondisi seperti itu, bagaimana bangsa kita akan bersaing dengan bangsa lain,” katanya.

Nalini menilai kondisi ini terjadi karena pemerintah melakukan penelantaran hak publik. ”Pemerintah mengatasi masalah sepotong-sepotong, tak komprehensif, sehingga memunculkan gangguan sistematik. Orang di tataran terbawah akan melakukan segala cara sebagai mekanisme pertahanan hidupnya,” jelasnya.

Nalini yang pernah tinggal di Jakarta dan kini mengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, melihat, warga Jakarta mendapat masalah bertumpuk. Tidak ada tempat tinggal dan sarana angkutan murah, nyaman, aman, dan cepat, lapangan kerja, harga barang stabil, dan minimnya rasa aman.

Persoalan kemacetan dan lainnya yang entah kapan berakhir memunculkan ketidakpastian dan ketiadaan pengharapan bagi warga. Mereka yang tidak mampu bersaing memilih jalan pintas. Yang berkendaraan di jalan saling serobot dan melanggar aturan lalu lintas, sedangkan yang terpuruk secara ekonomi memilih mencuri, merampok, menodong asal bisa makan hari ini.

Sosiolog Universitas Airlangga, Hotman Siahaan, dan sosiolog Universitas Indonesia, Nur Ida Rowaida, secara terpisah menilai kehidupan di Jakarta makin tak berpihak pada masyarakat kecil.

Menurut Hotman, kondisi kota ini secara ekonomi berkembang, tetapi tidak berimbas bagi masyarakat bawah. ”Kota Jakarta telah berada pada titik nadir. Jika tak ada keberpihakan pada masyarakat kecil, apa pun tindakan pemerintah atau siapa pun tak akan berhasil membenahi kota ini,” kata Hotman.

Pemerintah, pihak paling bertanggung jawab terhadap situasi Jakarta yang kian kacau, justru terjebak pada utopia yang mereka bangun. ”Mereka berpikir demokrasi telah berjalan, ekonomi tumbuh, tetapi pemerintah lupa semua itu dinikmati siapa? Pertumbuhan ini tak berimbas pada masyarakat bawah,” katanya.

Sofyano Zakaria, Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik, juga menyatakan, Jakarta kota yang sarat masalah. Tidak cuma soal kemacetan, tetapi juga sosial, kemiskinan, pendidikan, dan sederet persoalan lain. ”Kota ini mungkin memang dalam kondisi sakit. Penyebabnya adalah pemerintah provinsi tidak bisa mendiagnosis masalah atau penyakitnya dan kemudian menyembuhkannya,” katanya. (kompas, 17/1/2011)

One comment

  1. HANYA SYARI’AH DAN KHILAFAHLAH SOLUSINYA….!!!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*