Jakarta. Sangat tidak masuk akal ketika jaksa penuntut umum menuntut 20 tahun penjara tetapi hakim hanya memvonis Gayus 7 tahun penjara. Sementara bukti-bukti begitu gamblang. Gayus menerima suap itu tidak bisa dibantah. Gayus menyuap itu juga tidak bisa dibantah. Gayus 68 kali keluar masuk dari penjara juga tidak bisa dibantah.
Pendek kata, sudah lengkap sudah bukti-bukti materiil itu. Tapi mengapa vonis hakim begitu ringan? “Begitulah jika hukum menjadi bagian dari transaksional yang sangat kapitalistik!” ujar Jurubicara Hizbut Tahrir Indonesia Muhammad Ismail Yusanto kepada mediaumat.com, Rabu (19/1) malam di Jakarta.
Jadi hukum transaksional, sebagaimana juga keputusan politik sekarang ini menjadi keputusan yang transaksional. “Begitulah kekuatan uang dan sekaligus kelemahan dari para penegak hukum,” ujarnya yang menilai semuanya bukan didasarkan kepada benar-salah, halal-haram, dosa-pahala lagi tetapi berdasarkan berapa banyak uang atau keuntungan materi yang dapat ditransaksikan.
Nah, lanjut Ismail, ketika keputusan begitu rupa itu sesungguhnya mengindikasikan adanya mafia hukum itu. Itulah yang berkelindan di balik aparat hukum seperti polisi, jaksa, hakim dan lain sebagainya.
Menurutnya bukan sekali ini saja koruptor kelas kakap mendapatkan hukuman yang sangat ringan. Ayin misalnya. Terpidana kasus suap Jaksa Urip Tri Gunawan ini pada tanggal 23 Januari 2011dijadwalkan bebas. Karena pada tahun lalu ia mendapat remisi total 4 bulan.
Padahal dia punya pelanggaran telak pada 2010 itu dengan menyuap ruang tahanannya menjadi kamar mewah bak hotel berbintang lima. Alih-alih hukumannya ditambah, malah mendapat remisi. ” Itu sudah semakin tidak masuk akal,” ungkap Ismail.
“Saya pikir masyarakat tidak salah bila menyimpulkan bahwa negara ini sudah gagal dalam memerangi korupsi dan mafia hukum karena negara ini menjadi negara yang berada di bawah ketiak koruptor dan kekuatan mafia hukum!” tegasnya.
Jadi sistem sekular terbukti telak tidak bisa diharapkan memberantas korupsi dan kejahatan lainnya, karena tidak lagi mempunyai nilai-nilai transendental. Halal-haram, benar-salah, pahala-dosa hanya dipojokan di sudut masjid saja, sehingga tidak ada lagi di dalam kehidupan politik, kegiatan bisnis, dan kegiatan birokrasi.
“Itulah kelemahan yang paling mendasar dari pengelolaan negeri yang sekularistik ini,” pungkasnya. (mediaumat.com, 20/1/2011)
betul!!!!
krn sistem hukum yg sdh bobrok ni makany org brduit bisa mendpt hukuman ringan…
saatnya ganti dg syariah n khilafah!!!