Pasal 15 : “Segala sesuatu yang menghantarkan kepada yang haram hukumnya adalah haram, apabila diduga kuat dapat menghantarkan kepada yang haram. Dan jika hanya dikhawatirkan, maka tidak diharamkan.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 88).
Pengantar
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia hampir tidak pernah bisa lepas dari yang dimanakan wasilah dengan berbagai bentuknya, mulai dari yang termurah hingga yang termahal, mulai dari yang paling sederhana hingga yang paling canggih dan modern sesuai dengan kemajuan teknologi.
Apalagi kemajuan teknologi merupakan realitas yang tidak bisa kita hindari dalam kehidupan ini, sebab kemajuan teknologi itu berjalan seiring dengan kemajuanm ilmu pengetahuan. Kemajuan teknologi ini telah menciptakan banyak wasilah yang memberikan manfaat positif bagi kehidupan manusia, memberikan banyak kemudahan dalam melakukan aktifitasnya, dan bahkan menjadikan dunia yang luas ini seolah-olah sesuatu yang kecil hingga semua hal dapat dijangkaunya dengan seketika. Hanya saja, meski pada awalnya wasilah-wasilah itu diciptakan untuk menghasilkan manfaat positif, namun di sisi lain wasilah-wasilah memungkinkan untuk digunakan pada hal-hal negatif yang menghantarkan manusia pada perbuatan yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Lalu, bagaimana negara Khilafah mengarahkan dan menjaga agar wasilah-wasilah itu tidak menjadi pintu kemaksiatan bagi warganya? Telaah kitab Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam kali ini akan membahas pasal 15 tentang haramnya wasilah yang menghantarkan kepada perkara yang haram, yang berbunyi: “Segala sesuatu yang menghantarkan kepada yang haram hukumnya adalah haram, apabila diduga kuat dapat menghantarkan kepada yang haram. Dan jika hanya dikhawatirkan, maka tidak diharamkan.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 88).
Pengertian Wasilah
Kata al-wasîlah (wasilah) adalah bentuk tunggal (mufrad), sedang bentuk jama’ (plural)nya adalah al-wasâ’il. Wasilah secara etimologi maknanya adalah ar-rughbah (keinginan) dan at-thalab (permohonan). Sehingga dikatakan “wasala“, jika ia memiliki keinginan. Sedang al-wâsilu maknanya adalah ar-râghibu ilallahi, orang yang memiliki keinginan (berdoa) kepada Allah (Ibnul Faris, Maqâyîs al-Lughah, VI/83). Kata wasilah juga memiliki makna al-Wushlah, sesuatu yang menghubungkan dua barang, dan al-Qurba, sesuatu yang paling dekat (Anis, al-Mu’jam al-Wasîth, II/1.032).
Adapun wasilah secara terminologi, maka para ulama bahasa Arab hampir sepakat, bahwa al-wasîlah adalah mâ yutaqarrabu bihi ila al-ghair, alat (media) yang dipergunakan untuk mendekatkan sesuatu kepada sesuatu yang lain (al-Jurjani, at-Ta’rîfât, hlm. 252; al-Fayumi, al-Mishbâh al-Munîr, II/660; dan al-Manawi, at-Ta’ârîf, hlm. 726). Dengan kata lain wasilah adalah apa saja yang dapat memudahkan sampainya sesuatu kepada sesuatu yang lain.
Dan wasilah itu bukan perantara. Perantara dalam bahasa Arab disebut dengan al-wasîthah, bukan al-wasîlah. Hubungan melalui telepon, misalnya, adalah hubungan langsung, bukan hubungan melalui perantara. Telepon bukan perantara, melainkan alat atau media yang memungkinkan terjadinya hubungan langsung antara dua orang yang saling berjauhan.
Al-Qur’an juga menggunakan kata al-wasîlah bukan dengan arti al-wasîthah (perantara), baik yang terdapat dalam surat al-Maidah ayat 35, maupun surat al-Isra’ ayat 57. Kata al-wasîlah dalam kedua ayat ini maknanya adalah sesuatu yang menjadikannya dekat kepada Allah, yaitu bertakwa dan hanya beribadah kepada-Nya. Qatadah mengatakan ketika menjelaskan firman Allah:
[وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ]
“Dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya” (QS. Al-Maidah [5] : 35), yakni “Dekatkan diri Anda kepada-Nya dengan menaati perintah-Nya dan melakukan perbuatan yang menyebabkan ridha-Nya.” (ath-Thabari, Tafsîr ath-Thabari, VI/146).
Wasilah yang Haram
Wasilah seperti yang disebutkan di atas adalah apa saja yang dipergunakan untuk mendekatkan sesuatu kepada sesuatu yang lain, atau apa saja yang dapat memudahkan sampainya sesuatu kepada sesuatu yang lain. Dan, wasilah itu dapat berupa benda yang hukum asalnya mubah, atau perbuatan yang dibolehkan syara’. Namun, jika wasilah itu menyebabkan kepada perkara yang diharamkan Allah, maka wasilah itu menjadi haram dipakai atau dilakukan. Sebagaimana kaidah syariah mengatakan:
الْوَسِيْلَةُ إِلَى الْحَرَامِ حَرِامٌ
“Wasilah yang menghantarkan kepada yang haram hukumnya adalah haram.”
Dalil kaidah ini adalah firman Allah SWT:
[وَلا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ]
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, sebab mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (TQS. Al-An’am [6] : 108).
Dengan ayat ini, Allah SWT melarang Rasulullah Saw dan kaum Mukmin dari memaki sembahan-sembahan kaum musyrik, sekalipun di dalamnya ada kebaikkan. Sebab hal itu akan mengakibatkan kerusakan yang lebih besar, yakni balasan kaum musyrik dengan memaki Tuhan kaum Mukmin, yaitu Allah yang tiada Tuhan selain Dia (Ibnu Katsir, Tafsîr Ibnu Katsir, III/282).
Memaki kaum kafir termasuk di antara perkara yang mubah. Dan Allah telah memaki mereka di dalam al-Qur’an. Hanya saja, jika makian ini diduga kuat (ghalaba ‘ala adz-dzan) akan menyebabkan kaum kafir memaki Allah, maka memaki mereka dan sembahan-sembahannya adalah haram. Sebab memaki Allah itu haram, bahkan merupakan dosa besar di atas dosa besar.
Dengan demikian, wasilah itu menjadi haram dipakai atau dilakukan jika diduga kuat (ghalaba ‘ala adz-dzan) akan menghantarkan kepada sesuatu yang haram. Dalam firman Allah ini misalnya, Allah menggunakan al-fa’ as-sababiyah, yaitu huruf athaf (fa’) yang menashabkan fi’il mudhari’ dengan (an) yang wajib disembunyikan, syaratnya adalah bahwa kalimat sesudahnya itu merupakan akibat dari kalimat sebelumnya (al-Khathib, al-Mu’jam al-Mufashshal fil I’râb, hlm. 305). Sehingga arti firman Allah “fayasubbû“, adalah “sebab kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, maka akibatnya mereka akan memaki Allah”.
Namum, jika wasilah itu hanya dikhawatirkan saja akan menghantarkan kepada yang haram, seperti keluarnya seorang perempuan tanpa memakai cadar (niqab) yang dikhawatirkan akan menghantarkan kepada fitnah, maka wasilah yang seperti ini tidaklah haram, karena khawatir saja belum cukup untuk mengharamkan sesuatu (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 88). Dengan demikian, wasilah yang haram adalah wasilah yang diduga kuat (ghalaba ‘ala adz-dzan) akan menghantarkan kepada sesuatu yang haram, jika tidak, maka ia tetap mubah.
Tidak Semuanya Haram
Allah SWT telah memubahkan segala sesuatu dengan dalil-dalil umum, sebagaimana firman-Nya:
[أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي اْلأَرْضِ]
“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan) mu apa yang di langit dan apa yang di bumi.” (TQS. Luqman [31] : 20).
Dan Allah SWT telah mengecualikan sebagian dari sesuatu itu, lalu mengharamkannya dengan dalil khusus, seperti firman-Nya:
[حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلاَّ مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ ]
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala.” (TQS. Al-Maidah [5] : 3).
Sehingga apabila ada sebagian sesuatu yang berbahaya atau menyebabkan bahaya, maka sebagian itu saja yang haram, sedang hukum sesuatu itu secara umum tetap mubah. Dalam hal ini kaidan syariah mengatakan:
الشَّيْءُ الْمُبَاحُ إِذَا أَوْصَلَ فَرْدٌ مِنْ أَفْرَادِهِ إِلىَ ضَرَرٍ حَرُمَ ذَلِكَ الْفَرْدُ وَحْدَهُ وَ بَقِيَ الشَّيْءُ مُبَاحًا
“Sesuatu yang mubah apabila bagian dari bagian-bagiannya menyebabkan bahaya, maka bagian itu saja yang diharamkan, dan sesuatu itu tetap mubah.”
Dalil atas kaidah ini adalah hadis riwayat Ibnu Hisyam bahwa Rasulullah Saw ketika melewati al-Hijr (perkampungan Tsamud kaum Shaleh), beliau berhenti dan para sahabat mengambil air dari sumurnya. Ketika semua beristirahat di sore hari, Rasulullah Saw bersabda:
((لاَ تَشْرَبُوْا مِنْ مَائِهَا شَيْئًا، وَلاَ تَتَوَضَّئُوْا مِنْهُ لِلصَّلاَةِ، وَمَا كَانَ مِنْ عَجِيْنٍ عَجَنْتُمُوْهُ فَاعْلِفُوْهُ الإِبِلَ، وَلاَ تَأْكُلُوْا مِنْهُ شَيْئًا، وَلاَ يَخْرُجَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ اللَّيْلَةَ إِلاَّ وَمَعَهُ صَاحِبٌ لَهُ))
“Jangan kalian minun sedikit pun dari airnya, dan jangan kalian berwudlu’ darinya untuk shalat. Sementara adonan roti yang telah kalian buat, berikanlah kepada unta, dan sedikit pun kalian jangan memakannya; serta janganlah seseorang dari kalian ada yang pergi malam ini, kecuali ada yang menemaninya.” (Ibnu Hisyam, Sîrah Ibnu Hisyâm, IV/296).
Sesungguhnya Allah SWT telah memubahkan air dan meminumnya, namun meminum air sumur Tsamud ketika itu adalah haram, karena berbahaya. Begitu juga, Allah SWT telah memubahkah perbuatan-perbuatan jibiliyah (pembawaan manusia), seperti makan, minum, berjalan dan sebagainya, sehingga pergi di malam hari sendirian adalah mubah, namun pergi sendirian pada malam itu bagi tentara adalah haram, karena berbahaya. Artinya, jika ada bagian dari sesuatu yang mubah yang menyebabkan bahaya, maka bagian itu saja yang haram, sedang sesuatu yang sama hukumnya tetap mubah (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 89).
Dengan kata lain, jika sesuatu yang mubah itu bagi sebagian orang membahayakan dirinya, atau menyebabkan ia tidak dapat melakukan kewajiban-kewajiban syariah, maka sesuatu itu haram bagi dirinya saja, sementara bagi yang lain tetap mubah. Dan apabila sesuatu itu tidak sampai membahayakan dirinya, maka sesuatu itu mubah bagi dirinya dan juga bagi yang lainnya (Abdullah, Mafâhîm Islâmiyah juz II, hlm. 155).
Dalam realitas kehidupan manusia sekarang yang diatur dengan undang-undang yang tidak bersumber dari akidah umat, bahkan memaksakannya dengan kehidupan sekuler, yang menjadikannya semakin jauh dari aturan agama, maka kemajuan teknologi dan wasilah-wasilah yang diciptakannya itu justru dijadikan wasilah (alat dan media) untuk mempermudah dalam melakukan perbuatan-perbuatan yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya.
Sehingga dengan ketetapan undang-undang ini, khususnya pasal 15, negara Khilafah akan mengarahkan dan menjaga agar wasilah-wasilah itu tetap pada tujuan awal diciptakannya, yaitu memberikan manfaat positif, dan tidak lagi menjadi pintu kemaksiatan bagi warganya; atau mencegah adanya sesuatu yang membahayakannya, serta yang menyebabkannya tidak mampu (lalai) untuk melakukan kewajiban-kewajiban syariah. WalLâhu a’lam bish-shawâb.(muhammad bajuri)
Daftar Bacaan
Abdullah, Muhammad Husain, Mafâhîm Islâmiyah juz II, (Beirut: Dar al-Bayariq), cetakan I, 1996.
Anis, Dr. Ibrahim, dkk, al-Mu’jam al-Wasîth, (tanpa penerbit), Cetakan II, tanpa tahun.
Al-Fayumi, Ahmad bin Muhammad bin Ali al-Muqri, al-Mishbâh al-Munîr fi Gharîbisy Syarh al-Kabîr li ar-Râfi’i, (Jakarta: Dinamika Berkah Utama), tanpa tahun.
Ibnul Faris, Abul Husain Ahmad bin Faris bin Zakaria ar-Razi, Maqâyîs al-Lughah, (Ittihad al-Kitab al-Arab), 2002. Program al-Maktabah al-Syamilah.
Ibnu Hisyam, Abdul Malik, Sîrah Ibnu Hisyâm, (Dar al-Ma’rifah), tanpa tahun.
Ibnu Katsir, Ismail bin Umar Abul Fida’ Imaduddin ad-Dimasyqi, al-Bidâyah wa an-Nihâyah, (Beirut: Maktabah al-Ma’arif), 1995.
Al-Jurjani, Asy-Syarif Ali bin Muhammad, Kitâb al-Ta’rîfât, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah), Cetakan III, 1988.
Al-Khathib, Thahir Yusuf, al-Mu’jam al-Mufashshal fil I’râb, (Al-Haramain), tanpa tahun.
Al-Manawi, Muhammad Abdur Rauf, at-Tauqîf ‘ala Muhimmâti at-Ta’ârîf, (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’ashir), Cetakan I, 1989. Program al-Maktabah al-Syamilah.
An-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.
Ath-Thabari, Muhammad bin Jarir bin Yazid, Tafsîr ath-Thabari, (Dar al-Ma’rifah), 1990.