Instruksi SBY tak menyentuh akar konflik itu sendiri yakni keberadaan Ahmadiyah yang menodai Islam.
Peristiwa Cikeusik menyisakan pertanyaan besar. Benarkah bentrokan ini adalah skenario Ahmadiyah sendiri? Soalnya, peristiwa itu terekam dengan sangat baik dan dalam waktu singkat langsung diunggah ke internet, saat wartawan belum mendapatkan gambar di tempat kejadian. Mereka ingin dunia internasional tahu?
Rekaman itu menunjukkan bahwa sang perekam sudah tahu ada rencana tersebut. Tak heran semua peristiwa sebelum kejadian pun telah diabadikan. Dari gambar-gambar yang terekam terlihat sang perekam bisa dengan leluasa berada di tengah massa. Bahkan seorang warga penyerang yang berpita biru pun menyampaikan salam, pas di depan kamera. ‘Provokator’ berjaket hitam, yang mengawali serangan, setelah massa merangsek, mereka menghilang.
Belakangan terungkap, si perekam video itu bernama Arief. Nurcholis, kuasa hukum Arif, menyatakan bahwa kliennya bukanlah provokator. “Justru Arif adalah anggota Ahmadiyah yang selamat dari amukan massa,” ujar Nurcholis kepada wartawan di Gedung Komnas HAM, Jakarta, Jumat (11/2).
Bukan kali ini saja Ahmadiyah menantang umat Islam. Masih ingat kejadian di Manis Lor, Kuningan, Jawa Barat, Juli 2010 lalu? Ketika umat Islam berusaha mendatangi kampung tersebut, mereka telah dihadang jemaah Ahmadiyah. Orang-orang Ahmadi—sebutan pengikut Ahmadiyah—telah mempersiapkan diri dengan senjata ketapel yang pelurunya adalah kelereng dan paku. Menurut informasi, para pemilik ketapel itu disebut pasukan Bandring Ahmadiyah.
Di Kampung Cisalada, Kec Ciampea, Kab Bogor, Ahmadi pun membuat ulah dengan menusuk warga setempat. Kejadian ini membuat warga marah dan terjadi bentrokan. Tempat ibadah Ahmadiyah dibakar massa.
Bisa jadi mereka selalu memancing tindakan kekerasan itu sendiri. Ini untuk memperlihatkan ke dunia internasional bahwa Ahmadiyah terzalimi sehingga perlu ditolong. Dalam bentrokan di Manis Lor dan di Cikeusik, hadir Ketua Komisi Keamanan PB Ahmadiyah Jakarta, Deden Sujana.
Langgar SKB
Di berbagai daerah, Ahmadiyah memicu konflik sosial di tengah masyarakat. Selama kurun waktu 2007-2010, menurut catatan Setara Institute, ada 342 bentrokan. Warga resah karena Ahmadiyah tak menghiraukan konstitusi negara berupa Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri.
SKB itu jelas-jelas melarang para Ahmadi menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran Agama Islam pada umumnya, seperti peng-akuan adanya Nabi setelah Nabi Muhammad SAW. SKB itu juga memperingatkan dan memerintahkan untuk semua warga negara untuk tidak menceritakan, menafsirkan suatu agama di Indonesia yang menyimpang sesuai UU No 1 PNPS 1965 tentang pencegahan penodaan agama.
Bukti-bukti pelanggaran Ahmadiyah ini tak terelakkan lagi. Kasus di Cikeusik, misalnya. Warga resah karena sepak terjang Suparman yang secara terang-terangan menyampaikan ajaran Mirza Ghulam Ahmad ke masyarakat. Hal yang sama ter-jadi di tempat lain. Mereka belum juga mengubah keyakinannya terhadap Mirza.
Ketua Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam Amin Djamaluddin, mengaku memiliki segepok bukti pelanggaran Ah-madiyah. Di antara bukti tersebut adalah surat-surat resmi Ahmadi-yah yang ditujukan kepada sejumlah instansi di Nusa Tenggara Barat, seperti MUI Provinsi NTB, Kanwil Depag NTB, serta sejum-lah pondok pesantren di NTB.
Isi surat itu berupa pernytaan bahwa Ahmadiyah dengan ormas-ormas Islam lain di Indonesia seperti satu pohon, dan Ahmadiyah salah satu rantingnya. Padahal, kata Amin, Ahmadiyah sama sekali belum mengingkari keyakinan mereka akan kenabian Mirza Ghulam Ahmad.
Anehnya, meski begitu banyak bukti pelanggaran, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang katanya taat hukum, tak berbuat banyak alias kucing—bukan macan—ompong.
Niat Menteri Agama, Suryadharma Ali menyatakan dukungannya untuk pembubaran kelompok Ahmadiyah tak pernah kesampaian. Dalam berbagai kesempatan, Suryadharma sepakat Ahmadiyah harus dibubarkan. “Karena melecehkan agama Islam, dengan cara mengamalkan Alquran secara setengah-setengah dan memiliki nabi baru setelah Nabi Besar Muhammad SAW, yakni Nabi Mirza Gulam Ahmad,” kata Suryadarma dalam sebuah kesempatan.
Pemerintah SBY terlihat selalu mengulur-ngulur waktu. Ia mungkin sangat tahu bahwa Ahmadiyah adalah bisul umat Islam yang harus dihilangkan. Namun ia gamang menghadapi opini yang akan diterimanya jika berani membubarkan Ahmadiyah.
Lihat saja bagaimana ia kini ‘menyalahkan’ aparat keamanan di bawahnya yang dianggap tidak efektif. SBY menambahkan, sesungguhnya benturan itu bisa dicegah.”Tetapi pencegahan tidak cukup efektif dilakukan baik oleh aparat keamanan atau Pem-da setempat,” tandasnya. Ia lagi-lagi bicara soal hukum, bahwa siapa yang melakukan pelanggaran hukum mesti diberi sanksi. ”Tidak boleh toleransi ini terjadi lagi,” katanya.
SBY meminta semua pihak menaati SKB. “Saya ingin kesepakatan yang telah dicapai di 2008 untuk mencegah bentrok horizontal sungguh ditepati. Saya minta jajaran pemerintah investigasi siapa yang tidak menepati kesepakatan yang telah dicapai,” kata SBY.
Apakah pelanggaran SKB oleh Ahmadiyah masih kurang bukti lagi? Beginilah sosok pe-nguasa yang tak melindungi akidah umat Islam dan lebih me-mentingkan citra diri di hadapan manusia. Justru sikap pemerintah seperti ini yang jadi sumber masalah.[]
Pengajian mingguan kecamatan di Majelis Taklim Mujtahidin, Desa Cikareo, Kec. Cikeusik. Muncul pembahasan tentang sikap terhadap Ahmadiyah.
Senin (31/1)-Kamis (3/2)
Tersebar pesan singkat untuk aksi damai menuntut pembubaran Ahmadiyah
Kamis (3/2) malam pukul 19.00 WIB
Suparman, Aquino Haina Toang (istri Suparman), diamankan ke Polres Pandeglang
Ahad (6/2) pukul 06.00 WIB
Sebanyak 17 orang jemaah Ahmadiyah dari Jakarta, Bogor, dan Bekasi datang dengan menggunakan dua mobil, yaitu Inova B 1435 YE dan APV B 7049 GB. Berdasarkan olah TKP, dua mobil ini mengangkut ‘senjata’, yaitu ketapel, tombak, golok, dan batu.
Pukul 07.00 WIB
Aparat kepolisian melakukan mediasi agar jemaah kembali pulang karena akan ada aksi massa dengan jumlah besar. Tapi, permintaan ditolak.
Pukul 08.00 WIB
Aparat kembali melakukan mediasi agar jemaah kembali pulang karena massa sudah berdatangan.
Salah seorang dari jemaah mengatakan,”Kalo Bapak tidak bisa mengamankan kami, biar kami yang mengamankan diri sendiri hingga titik darah penghabisan.”
Pukul 09.00 WIB
Mediasi ketiga dilakukan dengan melibatkan aparat keamanan, aparat desa, dan tokoh warga. Tapi, malah disambut dengan lemparan batu. Saat Sarta mendekat, seseorang yang berbadan tegap, tinggi besar dari dalam rumah menyabetkan golok. Tangan kiri Sarta terkena bacok. Pada saat bersamaan sekitar 50 massa sudah berdatangan dan menyaksikan kejadian itu.
Pukul 10.00 WIB
Suasana memanas. Tanpa dikomando, akibat ada pembacokan, massa menyerbu rumah itu. Bentrok pun terjadi. Rumah dan mobil rusak.
Pukul 12.00 WIB
Suasana mereda, tambahan aparat keamanan baru tiba.[]
SUmber: mediaumat.com (16/2/2011)