Terabaikannya Hak Publik

Oleh : Rahmi Wijaya
Staf Pengajar di el-Diina Center Bogor

Sampai saat ini masyarakat masih menanti pengumuman merk susu yang terkontaminasi bakteri Enterobacter Sakazakii. Kasus susu formula mengandung bakteri bermula ketika Institut Pertanian Bogor (IPB) mengungkapkan hasil penelitiannya Februari 2008, 22.73 persen susu formula dan makanan bayi mengandung bakteri Enterobacter Sakazakii (“PR”, 17 Februari 2011). Hasil penelitian ini telah menimbulkan keresahan di masyarakat terkait keamanan susu formula yang beredar di pasaran.

Persoalan tersebut terus bergulir hingga Menteri Kesehatan dituntut konsumen yang meminta agar merk susu yang tercemar tersebut diumumkan. Gugatan itu dimenangkan di pengadilan hingga di Mahkamah Agung. Ketua MA, Harifin Tumpa, menegaskan agar segala sesuatu yang menyangkut kepentingan umum itu harus diumumkan kepada publik.

Persoalan susu formula ini sebenarnya sangat terkait dengan pemenuhan hak-hak publik, yaitu hak mendapatkan perlindungan dari bahaya yang berpotensi merusak kesehatan. Ada beberapa indikasi bahwa pemerintah lemah dalam memenuhi hak-hak publik tersebut:

Pertama, penelitian IPB ini sebenarnya sudah cukup lama dipublikasikan yaitu pada tahun 2008. Menurut penelitian tersebut, sebanyak 22.7 persen susu formula (dari 22 sampel) dan 40 persen makanan bayi (dari 15 sampel) yang dipasarkan antara April-Juni 2006 telah terkontaminasi bakteri Enterobacter Sakazakii (www.ipb.ac.id). Susu formula dan makanan bayi yang terkontaminasi oleh ES akan menghasilkan enterotoksin tahan panas yang dapat menyebabkan enteritis, sepsis, dan meningitis pada bayi. Mestinya saat itu pemerintah merespon hasil penelitian tersebut, karena ada potensi bahaya yang mengancam kesehatan rakyat. Terlebih lagi ancaman tersebut dapat menimpa bayi yang daya tahan tubuhnya sangat rentan.

Tidak ada alasan bagi pemerintah untuk mengabaikan informasi itu. Karena informasi tersebut bukanlah gosip, namun hasil kajian ilmiah IPB, sebuah institusi yang cukup kredibel untuk melakukan penelitian semacam itu. Seperti yang disampaikan oleh tim penelitinya di Fakultas Kedokteran Hewan IPB, bahwa penelitian tersebut dilakukan di sebuah laboratorium di Jerman yang sudah diakreditasi oleh Uni Eropa. Prof Stephen Forsythe seorang ahli mikrobiologi dari Inggris dan Prof Ewald Usleber dari Giessen University Jerman ikut menelaah penelitian tersebut.

Kedua,  Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih dan Kepala BPOM Kustantinah pada berbagai kesempatan enggan mengumumkan merk susu formula tersebut, meskipun MA telah memintanya untuk diumumkan kepada publik. Semestinya menkes berada di garda terdepan untuk merespon dan mengungkap informasi sekecil apapun yang terkait dengan hal-hal yang membahayakan kesehatan masyarakat. Sikap Menkes ini tidak sejalan dengan semangat transparansi sebagaimana dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Terlebih lagi MA telah menetapkan untuk mengungkap masalah tersebut secara transparan kepada publik.

Ketiga, seyogianya ketiga lembaga pemerintah yaitu Kemenkes, BPOM, dan IPB dapat berkoordinasi dan bekerjasama untuk memenuhi hak-hak masyarakat terkait kasus susu formula tersebut. Namun tampaknya BPOM justru mengambil langkah lain yang terkesan mau menganulir hasil penelitian IPB. Pada jumpa pers di Kementerian Komunikasi dan Informasi, Kamis (10/02/2011), BPOM mengumumkan hasil penelitian yang bertolak belakang dengan hasil penelitian IPB. Menurut BPOM, antara tahun 2008-2011 pihaknya tidak menemukan adanya susu yang tercemar.

Hasil penelitian BPOM ini jelas berbeda dengan IPB yang mengatakan ada 22 sampel susu formula yang terkontaminasi ES. IPB menggunakan sampel susu antara 2003-2006, sedangkan pemerintah melalui BPOM menggunakan sampel susu tahun 2008-2011. Sangat memungkinkan perusahaan susu formula memperbaiki produknya sejak 2008-2011 karena khawatir terhadap respon masyarakat terkait hasil penelitian IPB tersebut.

Namun ini tidak berarti menghapus hasil penelitian IPB sebelumnya, karena justru masyarakat ingin mendapatkan informasi merk susu formula mana saja yang pernah tercemar bakteri ES. Paling tidak masyarakat bisa berhati-hati terhadap beberapa merk susu formula yang ditengarai pernah terkontaminasi bakteri ES. Belum lagi masalah debatable terkait kredibilitas BPOM dibandingkan dengan IPB dalam melakukan penelitian ilmiah yang bersifat independen.

Terlihat bahwa tingkat sensitifitas pemerintah terhadap pemenuhan hak-hak publik masih rendah. Bahkan dalam masalah serius yang dapat mengancam jiwa dan kesehatan masyarakat pun pemerintah masih terlihat gamang dalam keberpihakannya pada masyarakat.

Tentu tidak berlebihan kalau masyarakat nantinya membaca sikap pemerintah ini sebagai wujud cengkeraman kapitalisme di negeri ini. Harus diakui, para pengusaha susu formula di negeri ini adalah para kapitalis besar, baik yang berskala nasional maupun internasional. Dan dalam banyak kejadian, justru pemerintah seringkali berpihak pada kepentingan para kapitalis dibandingkan mengabdi untuk kepentingan masyarakat.[]

Sumber: Pikiran Rakyat, (19/2/2011)

4 comments

  1. masihkah kita rela diatur dengan sistem kapitalis yang hanya memihak para kapitalis?? Of corse not! So, segera bjuang,dakwah demi tegaknya syariah n Khilafah yg pasti melindungi seluruh kaum muslimin..

  2. Setuju…, memang pemerintah tidak pernah peduli rakyat… , kecuali rakyat yang jadi pengusaha besar pasti jadi shohib pemerintah, tak terkecuali pengusaha asing. Ganti rezim dan sistemnya dengan syariah dan khilafah, agar rakyat sejahtera.

  3. Asslm.Ini juga menunjukkan bahwa pemerintah mematikan peran intelektual yg ada, sehingga para intelektual terbatasi untuk mempublikasikan penelitiannya.Wsslm

  4. Muhammad AlFatih

    SELAMATKAN GENERASI NEGERI INI DENGAN BERJUANG MENEGAKKAN SYARIAT DAN KHILAFAH. Allahu Akbar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*