Oleh: Lajnah Siyasiyah -DPP HTI
Tiga buah bom meledak dalam waktu berdekatan Rabu (15/3) kemarin. Satu di kantor Radio 68H, satu untuk BNN dan satu lagi untuk tokoh ormas kepemudaan. Karena target peledakan ini beragam, maka spekulasi apa sebenarnya yang menjadi target dari aksi paket bom tersebut menjadi tidak mudah.Ditengah kisruh isu reshuffle, “serangan ” wikileaks dan lainya menjadi sangat menarik untuk menafsiri apa yang menjadi motif sebenarnya bom-bom itu dikirim.Apa benar seperti komentar sebagian pihak; kalau ini terkait pertarungan kelompok moderat-non moderat, serangan kelompok ekstrimis terhadap kelompok moderat. Ini paket bom yang bormotif politik, atau bahkan lebih jauh (paranoid) mengkaitkan dengan terorisme dan ancaman terhadap NKRI.
Agak ganjil, berita bom yang ditujukan untuk tokoh JIL, Ulil Abshar Abdalla, justru lebih banyak mengisi porsi pemberitaan media massa ketimbang dua bom lainnya. Entah karena unsur jurnalisme-nya, name makes news, atau jangan-jangan karena ingin men-drive opini publik tentang target bom tersebut. Stasiun televisi TVOne, misalnya langsung mengundang godfather ‘war on terror’, Hendropriyono untuk mengomentari kasus bom buku. Kesimpulannya; kelompok militan Islam di balik semua ini.
BNPT, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, lewat lisan Ansyad Mbai juga setali tiga uang. Demikian pula kolega Ulil seperti Usman Hamid. Yang lucu, Partai Demokrat Jafar Hafshah juga ikutan berkomentar kalau aksi ini didalangi oleh terorisme, bukan karena status Ulil sebagai kader Partai Demokrat.
Menariknya lagi, di tengah maraknya tudingan terhadap kelompok Islam ‘garis keras’ sebagai pelaku oleh sejumlah pihak — di antaranya oleh BNPT, Hendropriyono, dan pengurus Parpol Demokrat –Kapolda Metro Jaya justru tidak sependapat. Inspektur Jendral Sutarman, selaku Kapolda, justru keberatan bila ledakan ini dikaitkan dengan terorisme. Menurutnya terlalu sumir untuk menyimpulkan motif dan pelakunya (vivanews.com, 15/3).
Demikian pula psikolog forensik Reza Indragiri Amriel tidak sependapat dengan tudingan terorisme. Ia melihatnya sebagai aksi vandalisme karena beberapa alasan (detiknews.com, 17/3). Di antara alasannya ialah, bomnya low explosive, rakitannya sederhana dan bukan bunuh diri seperti yang lalu-lalu.
Pernyataan sementara Kapolda Metro Jaya cukup menenangkan suasana dan amat logis. Terlalu sumir untuk menyatakan kelompok teroris berada di balik bom-bom ini. Setidaknya ada beberapa alasan untuk bersikap demikian, yaitu;
Pertama, sasaran bom itu beragam. Bukan saja untuk Ulil, tapi juga untuk pimpinan BNN Gories Mere, dan Japto selaku aktifis kepemudaan. Mungkin orang bisa berdalih bahwa Gories Mere berada di belakang operasi ‘war on terrorism’ sehingga menjadi sasaran pemboman, tapi bukankah bom itu dikirim ke BNN yang menangani narkoba? Mengapa bukan ke rumahnya atau ke markas Densus 88? Lalu bagaimana dengan Yapto? Apa relevansinya ia dengan benturan pemikiran Islam ‘garis keras’?
Cara berpikir teroris apapun yang sungguhan – bukan rekayasa – hanya akan menyerang target yang clear; person atau simbol dari musuh-musuh mereka. Bukan dengan serangan sporadis seperti sekarang maupun yang lalu-lalu. Gerakan teroris IRA (Irish Republican Army) misalnya, menyerang person atau lembaga – seperti bank — milik pemerintah Inggris yang memang mereka anggap sebagai penjajah negeri mereka. Atau gerakan teroris-separatis Basque (ETA) di Spanyol, menyerang individu atau tempat-tempat yang mereka anggap sebagai pendukung penjajahan Madrid atas kawasan Basque, seperti membunuh jurnalis atau politisi yang anti gerakan ETA.
Kedua, bila 3 bom lalu dikaitkan dengan benturan Islam ‘garis keras’ dan kaum liberal, ini adalah ‘lebay’. Kenyataannya Ulil sudah lama tidak menyuarakan lagi pemikiran liberal-nya. Dan bila benar ditujukan untuk Ulil karena ke-liberalan-nya, mengapa tidak sedari dulu ia diteror? Seperti pengakuannya kepada sejumlah wartawan, ia tidak pernah mendapatkan ancaman fisik ketika masih menjadi koordinator JIL. Padahal dulu Forum Ulama Umat Islam pernah menyatakan darahnya sudah halal. Justru saat ia berada di sebuah parpol yang kebetulan jadi parpol penguasa, ini terjadi.
Ketiga, bila tujuan bom itu sebagai warning, seperti kata Ulil, maka lagi-lagi tidak masuk logika berpikir teroris. Kelompok teroris manapun di dunia, tidak pernah memberikan serangan awal sebagai warning pada lawan-lawan mereka. Kelompok teroris macam IRA atau ETA biasanya langsung mengeksekusi person atau institusi yang dianggap sebagai lawan mereka.
Keempat, melihat operasi terorisme internasional, biasanya cara mereka mengeksekusi target yang bersifat personal, bukan massa atau lembaga maupun gedung, adalah langsung menyerangnya secara individual, misalnya dengan menembak langsung, baik dari jarak dekat atau dengan sniper, menikam, atau bom bunuh diri atau dengan bom berpengendali jarak jauh, atau meracuninya seperti yang dialami Munir atau mantan intelijen Rusia yang masuk Islam Levitnenko. Mengirimkan paket bom ke kantor dengan sasaran personal, tidaklah lazim karena kemungkinan melesetnya amat besar.
Kasus 3 bom yang dikirim ke rumah atau ke kantor seperti yang terjadi beberapa hari lalu, jauh dari sasaran personal. Bom-bom itu lebih bersifat mengacaukan keamanan belaka, karena toh ternyata low explosive.
Kelima, paket sudah biasa masuk ke “Utan Kayu” maka kenapa untuk kali ini paket bisa diduga Bom dan ada kecurigaan berisi bom?
Jadi untuk siapa dan untuk apa bom-bom itu dikirim? Masih belum jelas. Terlalu berlebihan bila tiga bom itu dipakai untuk mengungkit lagi agenda ‘war on terror’. Apalagi kejadiannya bertepatan dengan kondisi pemerintahan yang tengah carut marut. Penguasa tengah kelimpungan menghadapi hak angket pajak oleh DPR, yang ini juga mengancam perpecahan koalisi yang sudah dibangun. Meski konon tidak bakal terjadi reshuffle kabinet, tapi kondisi setgab justru tengah memanas karena ada upaya mendongkel pengurus setgab.
Pemerintahan SBY juga sudah dibuat panik dengan bocoran kawat diplomatik dari kedubes AS yang ditebar Wikileaks. Tudingan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, korupsi dan memperkaya diri yang dilansir 2 harian Australia dari Wikileaks sempat membuat sejumlah pejabat sibuk melakukan bantahan dimana-mana.
Sementara itu, kalangan oposisi justru cenderung untuk percaya kepada pemberitaan tersebut. Direktur Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum (FH) UGM Zainal Arifin Muchtar, meminta pemerintah SBY menyodorkan bukti bila tudingan Wikileaks itu tidak benar (detiknews.com, 14/3).
Kredibilitas pemerintah di mata rakyat dan pengamat juga terus merosot. Selain kasus hukum kelas kakap yang tidak selesai – mafia pajak, mafia hukum, Bank Century –, ditambah lagi rencana kenaikan BBM non-subsidi. Membuat rakyat semakin sengsara dan tidak percaya lagi atas keberpihakan penguasa kepada mereka. Tidak berlebihan jika sebagian kalangan berpikir, jangan-jangan kasus bom ini adalah pengalih isu, atau setidaknya bisa dimanfaatkan sebagai pengalih isu.
Atau jika ada tanda-tanda ngototnya pihak tertentu untuk membawa kasus paket bom ini kepada espektasi lebih jauh tentang terorisme dan ancamannya terhadap NKRI dan semacamnya, maka makin membuat kita “curiga”. Cara pandang yang “katarak” ini menjadi adanya jejak motif dan konspirasi yang terjadi, dugaanya kalaulah benar yang melakukan kelompok “teroris” maka itu “teroris binaan” dari pihak-pihak tertentu yang selama ini tahu peta dan punya akses kendali di kalangan mereka. Karena faktanya banyak para “combatan” yang sudah dilebur dalam cawan proyek kontra-terorisme, dengan kopensasi “fasilitas” dan reward lainya. Strategi eksekusinya dengan menggunakan variable yang mendukung: adanya judul buku yang menarik, sasaran yang relevan (khususnya Ulil dan Gories), dan ada kasus persidangan ustad ABB dimana saat itu sudah ada warming tentang ancaman untuk orang-orang tertentu (termasuk untuk Gories). Dan teknik deception (pengelabuhan) juga disiapkan, dengan membuat paket bom 3 buah yang satu untuk seorang Yapto. Di sisi lain terkait kasus ustad ABB, ada pengakuan “taubat” yang dikeluarkan oleh Khoirul Gazhali (Kasus CIMB Medan) menjadi tamparan keras bagi Densus 88, hingga terdengar sayup-sayup Densus 88 “mengamuk” di Medan untuk memberi “stick” kepada K Gazhali cs. Artinya kasus bom paket ini, pasti ada target sebenarnya yang diinginkan. Jawabanya; lihat para komentator, lihat kemasan media dan apa yang menjadi sikap pihak terkait. Tentu yang lebih tau adalah dalang di balik paket bom ini.
Seperti kata pepatah, serangan bom ini adalah sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampaui. Mengalihkan perhatian publik dan politisi, mengundang simpati kepada kelompok liberal yang pro Ahmadiyah, juga menyudutkan kelompok Islam pro-syariah. Atau terkait dengan kontinuitas proyek WOT (war on terrorism) beserta target di baliknya.
Bukan tidak mungkin, nanti kondisi akan berbalik. Seperti kasus Ahmadiyah di Pandeglang, Banten, publik dan pengamat juga Komnas HAM justru percaya dan bisa membuktikan ada unsur rekayasa di sana. Boleh saja musuh-musuh Islam membuat aneka makar, toh Allah tetap pembuat makar yang terbaik.
“maka apakah orang-orang yang membuat makar yang jahat itu, merasa aman (dari bencana) ditenggelamkannya bumi oleh Allah bersama mereka, atau datangnya azab kepada mereka dari tempat yang tidak mereka sadari,”(QS. An-Nahl: 45).[]
yah, paling itu permainan jaringan mereka sendiri yang juntrungnya menuduh islam. Banyak yang tahu sudah gayanya mereka.Makar mereka pasti ketehuan dan pasti bisa dikalahkan. Yaa Allah, segerakanlah berdirinya daulah khilafah yaa Allah.