Jakarta – Sikap Menteri Luar Negeri Marty Nalategawa soal krisis dan serangan militer sekutu ke Libya dianggap tidak menegaskan posisi Indonesia. Selain itu, pertimbangan yang dipergunakan Marty dinilai hanya mencari posisi aman Indonesia antara kubu sekutu dan Liga Arab.
“Pernyataan itu menunjukkan posisi Indonesia tidak tegas. Mendukung serangan militer, tidak. Menolak serangan Khadafi ke demonstran juga tidak. Seharusnya, pemerintah tegas dengan menyatakan menolak serangan militer dan menolak juga serangan Khadafi ke massa anti pemerintah,” kata pengamat hubungan internasional Universitas Airlangga, Ahmad Safril Mubah, saat dihubungi detikcom, Selasa (22/3/2011).
Menurut Safril, sikap tersebut hanya mempraktikan politik luar negeri zero enemy. Akibatnya, posisi Indonesia sering diremehkan oleh masyarakat internasional.
“Itu hanya mempraktikkan politik luar negeri zero enemy Presiden SBY dan Menlu Marty. Bahwa 1.000 teman itu baik dengan tidak punya musuh. Dalam bahasa sehari-hari, cari posisi aman saja,” tandas Safril.
“Bukan hanya kali ini saja. Dalam krisis Mesir juga begitu. Kasus Ambalat dan hubungan dengan Malaysia juga begitu. Ini menjadikan Indonesia sering diremehkan karena tidak berani bersikap tegas,” tukas staf pengajar FISIP Unair tersebut.
Adapun alasan serangan milter sekutu ke Libya, menurut Safril, tidak bisa dibenarkan. Sebab, usai resolusi 1973 ditetapkan hari Kamis, Khadafi belum terbukti melanggar zona larangan terbang dan menggempur massa anti pemerintah.
“Kamis, resolusi ditetapkan. Jumat diserang. Padahal belum terbukti melanggar. Kalau pun melanggar, yang diserang hanya kota yang dilanggar, bukan menyerang kota-kota lain dan membuat warga sipil tewas. Kalau seperti ini, apa bedanya sekutu dengan Khadafi?” imbuhnya.
Diberitakan sebelumnya, usai rapat dengan Presiden di kantor presiden kemarin, Marty menyatakan posisi Indonesia mendukung hak warga Libya menentukan nasib sendiri. Namun, di sisi lain, Marty juga mengatakan resolusi 1973 memberi jalan penyelesaian (militer) asalkan tepat, terukur, dan tidak menimbulkan masalah baru.
“Kita ingin mengedepankan penyelesaian masalah ini secara damai dengan dialog, demokrasi terutama mengedepankan hak warga Libya menentukan masa depan dengan cara demokratis. Resolusi 1973 memberi celah penyelesaian masalah lebih baik tapi pelaksanaanya betul-betul tepat, terukur dan tidak menimbulkan masalah baru,” kata Marty. (detiknews.com, 22/3/2011)