Harian ini membuat geger. Edisi Sabtu (9/4) Media Indonesia menampilkan karya foto jurnalistik eksklusif yang merekam kelakuan jorok anggota DPR. Kelakuan jorok itu terjadi Jumat (8/4), di forum terhormat, di sidang paripurna yang membahas materi sangat penting, yaitu pembangunan gedung baru DPR yang ditentang publik.
Anggota DPR itu adalah Arifinto dari Partai Keadilan Sejahtera, yang berasal dari daerah pemilihan Jawa Barat VII. Kamera wartawan foto Media Indonesia M Irfan menangkap basah bagaimana jari tangan Arifinto dengan sengaja memilih video porno di komputer tablet yang dibawanya ke ruang sidang dan menikmatinya sejak pukul 11.39.23 hingga pukul 11.41.57 WIB.
Media Indonesia memiliki 60 frame visual berisi kelakuan anggota DPR itu. Sebuah jumlah yang lebih dari cukup untuk membuktikan secara faktual bahwa tidak benar anggota DPR itu membuka komputer tabletnya karena ada surat elektronik yang masuk, sebagaimana kilahnya, dan pula tidak benar ia menontonnya hanya beberapa detik, tak sampai setengah menit, seperti katanya.
Sebagian dari foto jurnalistik itu telah dipublikasikan di harian ini dan di situs Mediaindonesia.com dengan sengaja mengaburkan bagian gambar yang porno. Hal itu bertujuan menghormati keadaban publik dan mematuhi Undang-Undang Pornografi.
Semua itu perlu ditegaskan kembali melalui Editorial ini untuk menggarisbawahi betapa telah terjadi kebangkrutan moral anggota DPR. Bukan sembarang kebangkrutan moral karena yang menonton video porno itu adalah anggota DPR dari Partai Keadilan Sejahtera, partai yang berbasiskan nilai-nilai agama dan yang paling gigih memperjuangkan lahirnya Undang-Undang Pornografi.
Kelakuan jorok anggota DPR itu bukan hanya menunjukkan moral susila yang rusak, melainkan juga moral politik. DPR sedang bersidang paripurna menyangkut pembangunan gedung DPR yang akan menelan Rp1 triliun lebih, eh, si anggota DPR tidak peduli, malah asyik menikmati pornografi.
Kasus itu menambah panjang daftar dekadensi anggota DPR. Bukankah banyak anggota DPR yang masuk penjara karena korupsi? Bukankah amat banyak anggota DPR yang gemar mangkir bersidang? Bukankah banyak keputusan DPR produk transaksional? Bukankah hasil studi banding omong kosong? Bahkan, ada studi banding yang diselingi menonton tari perut. Sekarang ditambah menonton video porno di sidang paripurna.
Semua itu jelas bukti DPR mengalami kebangkrutan moral yang menggerus kepercayaan publik. Bahkan, tidak berlebihan untuk mengatakan sesungguhnya telah terjadi kebangkrutan kepercayaan dan kebangkrutan legitimasi terhadap DPR. Tiga kebangkrutan yang fundamental. Lalu dengan dasar apa DPR masih layak memutuskan kebijakan publik atas nama rakyat?
DPR sekarang lebih banyak mudaratnya daripada maslahatnya. Oleh karena itu, sebaiknya DPR berhenti bersidang. Sebaiknya reses dilanjutkan saja sampai masa kerja berakhir pada 2014, sampai dilahirkan DPR yang baru hasil pemilu mendatang.
Anggaplah DPR yang sekarang ini koma, pingsan berat, akibat keracunan bermacam-macam kelakuan jorok. Kiranya untuk sementara negara ini lebih baik berjalan tanpa DPR yang dekaden itu. (mediaindonesia.com, 11/4/2011)