Kontroversi RUU Intelijen, DPR dan Pemerintah Saling Tuding

Jakarta- Seakan tidak mau disalahkan sebagai penerus Orde Baru yang represif, pemerintah dan DPR saling tuding terkait RUU Intelijen yang mengandung pasal karet dan represif, seperti frasa “ancaman nasional” yang tidak definitif dan kewenangan intelijen menangkap dan mengintrograsi seseorang sampai 7 X 24 jam.
“RUU Intelijen ini yang usulkan adalah DPR, pemerintah hanya menanggapi,” ujar Direktur Analisis dan Strategi Kemenhan RI Brigjen Paryanto saat dituding bahwa pemerintah  mengajukan RUU kontroversial itu dalam talkshow UU INTELIJEN BARU: Kebangkitan Tirani & Rezim Represif?, Ahad (17/4) di Gedung Wisma Antara, Jakarta.

Ditohok seperti itu, Anggota Komisi I DPR RI Helmy Fauzi tidak dapat mengelak. “Betul ini adalah keinginan Komisi I untuk membahas RUU Intelijen dan disetujui sidang paripurna,” akunya.

Tapi kemudian Helmy melakukan serangan balik. “Tetapi sembilan fraksi ini sepakat tidak ada pasal penangkapan maupun intrograsi sampai 7 X 24 jam, itu adalah usulan pemerintah dalam DIM (daftar inventaris masalah),” kelit Helmy seolah berharap agar sekitar 300 peserta yang menyimak talkshow bulanan yang diselenggarakan Hizbut Tahrir Indonesia itu tidak menyalahkan DPR.

Direktur Program Imparsial Al Araf yang mengetahui kronologis tarik ulur antara DPR dan pemerintah terkait RUU ini pun langsung menegur Helmy.  “Ayo teruskan… belum selesai itu, DPR akhirnya setuju juga kan?” ujar pembicara yang menyatakan dalam RUU Intelijen ada 25 pasal karet dan represif  itu.

Helmy yang dari Fraksi PDI Perjuangan itu berkelit, “PDI P tidak setuju, PDI P menolak!” Namun setelah didesak mengungkapkan kondisi  sesungguhnya di Komisi I,  sambil senyum ia pun menyatakan kalau delapan fraksi lainnya kecil kemungkinan untuk tidak menyetujui keinginan pemerintah.

“Wah, kalau partai koalisi masa akan berbeda sikap dengan pemerintah? kecil kemungkinanlah,” ujarnya.
Sedangkan pembicara lainnya, Ketua Lajnah Siyasiyah Harits Abu Ulya menyatakan harus ada defenisi yang jelas terkait prasa “ancaman nasional” dan frasa multitafsir lainnya sehingga definitif dan tidak menjadi pasal karet yang dapat ditarik ulur seenaknya oleh penguasa untuk memberangus lawan politik dan gerakan Islam.
“Mengapa emas dirampok Amerika tidak dikatakan ancaman nasional?” ujarnya. Padahal sesungguhnya ideologi yang diusung Amerika dan pengusung sistem yang membolehkan kekayaan negeri ini dijarah asinglah yang merupakan ancaman nasional sesungguhnya.

Maka agar tidak keliru dalam mendefinisikan siapa yang menjadi ancaman dan siapa yang harus dibela, mau tidak mau negeri yang berpenduduk mayoritas Muslim ini wajib menerapkan syariah Islam secara total dalam bingkai khilafah, karena setiap permasalahan akan dirujuk pada dasar yang sama yakni larangan dan perintah Allah SWT bukan berdasarkan kepentingan penguasa. (mediaumat.com, 18/4/2011)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*