Federasi Serikat Pekerja Badan Usaha Milik Negara Bersatu (FSB) melaporkan dugaan mark up pembelian pesawat MA 60 buatan Xi’an Aircraft Industry ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pengadaan 15 unit pesawat senilai US$ 174 juta diduga telah merugikan negara.
“Kerugian negara dari setiap pesawat mencapai 2,6 juta dolar Amerika,” kata Presiden FSB, Arief Puyono, Kamis siang 12 Mei 2011.
Ada delapan pihak yang dilaporkan FSB ke KPK, antara lain mantan Menteri Perhubungan Hatta Rajasa, Kepala Bappenas, mantan Menteri Perdagangan Marie Elka Pangestu, Menteri Perhubungan Fredy Numberi, Menteri Keuangan Agus Martowardoyo, Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan, Pemilik PT Bukit Pelangi Golf Mulyadi Sanjaya, dan mantan Direksi Merpati Airlines Hotasi Nababan.
Bekas menteri ataupun yang masih menjabat menteri tersebut dilaporkan karena diduga terlibat pada proses pembelian pesawat sejak 2005 sampai 2010. Adapun Mulyadi Sanjaya disebut sebagai pengusaha yang berperan dalam pengadaan barang tersebut. “Mereka semua yang kami laporkan,” katanya.
Laporan serikat buruh ini sudah diterima oleh bagian Penerima Laporan Pengaduan Masyarakat KPK, Kuswanto.
Proses pengadaan pesawat MA 60 sejak 2005-2010 untuk menggantikan armada Merpati Airlines yang sudah tua. Kemudian terjadi kesepakatan antara Merpati Nusantara Airlines dan Xi’an Aircraft Industry pada 24 November 2005 untuk pembelian 15 unit pesawat MA 60. Pada tahun yang sama Kementerian Perhubungan mengeluarkan sertifikat pesawat atau ATC (Aircraft Type Certificate) untuk pesawat MA 60, sehingga laik terbang di Indonesia.
Pada 7 Juni 2006, Merpati menindaklanjuti kesepakatan itu seharga US$ 11,6 juta per unit. Total harga 15 unit sebesar US$ 174 juta.
Pembelian pesawat ini menggunakan pinjaman dari Bank Exim Cina dengan pola pembayaran selama lima tahun oleh jaminan Pemerintah Indonesia. Namun, Merpati tidak membayar angsuran, sehingga terpaksa dilakukan penerusan pinjaman atau subsidiary loan agreement (SLA).
Sampai 2008, Merpati baru mendapat dua pesawat dengan cara disewa, tapi tetap mengkategorikannya sebagai pengadaan pesawat baru yang dibeli Merpati.
Dari mekanisme tersebut, serikat pekerja, kata Arief, menemukan dugaan ketimpangan, yaitu harga pesawat yang sudah disewa seharusnya tidak sampai US$ 11,6 juta per unit.
Dugaan ketimpangan lain, sesuai dengan data yang diperoleh Serikat Pekerja, Merpati diduga mengubah harga pesawat pada proposalnya pada 2009 menjadi US$ 14,6 juta per unit. Setelah perubahan ini, pada Agustus 2010 SLA kembali diterbitkan atas persetujuan Departemen Keuangan dan Badan Anggaran DPR.
Perubahan proposal ini disinyalir menimbulkan mark up. “Padahal pesawat ini (MA 60) yang termurah di kelasnya,” ujar Arief.
Pesawat MA 60 ini mengalami kecelakaan beberapa hari lalu di Kaimana, Papua Barat, yang menyebabkan seluruh penumpangnya tewas. (tempointeraktif.com, 12/5/2011)
Wajib diusut tuntas kasus ini.