Penetrasi asing melalui perusahaan multinasional di bidang pangan semakin kuat. Perusahaan asing di Indonesia tidak saja menguasai perdagangan, tetapi meluas dari hulu ke hilir, seperti sarana produksi pertanian, meliputi benih dan obat-obatan hingga industri pengolahan, pengepakan, perdagangan, angkutan hingga ritel.
Liberalisasi di sektor perdagangan dan industri, telah memberi peluang kepada asing untuk meningkatkan pasarnya di Indonesia. “Mereka masuk seperti sudah dalam satu paket. Begitu liberalisasi dibuka, semua lini mereka kuasai,” kata profesor riset pada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementrian Pertanian, Husein Sawit, kemarin (24/5) di Jakarta.
Pada awalnya mereka masuk di perdagangan, setelah itu untuk memastikan terjaminnya pasokan barang, mereka juga masuk ke produksi. Untuk meningkatkan volume produksi, mereka kuasai industri benih dan menciptakan ketergantungan.
Itu saja belum cukup, mereka melangkah lebih lanjut masuk ke industri pengolahan melalui akuisisi perusahaan nasional. Untuk menjamin produk mereka terjual, perusahaan asing juga masuk ke ritel.
Industri input pertanian saat ini dipasok hanya oleh sepuluh perusahaan multinasional (multinational corporation/MNC) dengan nilai penjualan mencapai Rp 340 triliun. Lima perusahaan raksasa diantaranya adalah Sygenta, Monsanto, Bayer Crop, BASF AG, dan Dow Agro.
Di pihak lain, petani bergantung pada industri olahan dan pedagang pangan. Sepuluh besar MNC menguasai penjualan pangan senilai Rp 3.477 triliun. Lima di antaranya, yakni Nestle, Cargill, ADM, Unilever, dan Kraft Foods. Indonesia juga masuk dalam cengkeraman jaringan MNC, terutama Nestle yang terbesar menguasai perdagangan kakao dunia, Cargill menguasai perdagangan pakan ternak, dan Unilever menguasai pangan olahan.
Ritel pangan dunia juga dikuasai MNC, di antaranya Wal Mart, Metro Group, Tesco, Seven & I Holdings, dan Carrefour.
Husein mengungkapkan, banyak produk pangan yang secara lokal sudah dijual ke perusahaan asing, di antaranya Danone (Perancis), Unilever (Belanda), Nestle (Swiss), Coca Cola (AS), Hj Heinz (AS), Campbels (AS), Numico (Belanda), dan Philip Morris (AS).
Menteri Pertanian Suswono sebelumnya mengungkapkan bahwa politik kebijakan agroindustri di Indonesia dikendalikan oleh kelompok tertentu, yang memiliki akses dan lobi kuat tidak saja kepada pemerintah, tetapi juga legislatif. (surabayapost.co.id, 25/5/2011)
wahai kaum yg beriman,
lihatlah kenyataan pahit penerapan sistem kapitalis !
mereka, kaum kapitalis telah menguasai pangan kita dan tetnu berakibat buruk bagi ummat…
sudah saatnya kita bersatu dan menyatukan langkah dalam berjuang menegakkan syariah di bumi Allah dalam naungan khilafah….
kasian rakyat indonesia, mereka menjadi pembeli di lahan pesawahannya sendiri.
Rakyat Indonesia sangat kaya. Buktinya cukai rokok yang disisihkan 5 % dari setiap pembelian 1 bungkus terkumpul 60 trilyun. Masyaallah luar biasa besar. Berarti uang yang dibelanjakan perokok sejumlah 20 x 60 trilyun = 1200 trilyun. Luar biasa melebihi APBN kita yang hanya 800 trilyun. Juga melebihi yang diambil koruptor. Dari sejumlah itu hanya 10 % saja yang ke pekerja. Sisanya (1200 – (60 + 120) = 1050 trilyun masuk ke pengusaha. Orang Indonesia termasuk tukang becak memberi kontribusi pada pengusaha. Masyaallah, sungguh kaya orang Indonesia. Mau melunasi utang Indonesia cukup berhenti merokok 2 tahun saja lunas. Khilafah harus ditegakkan.