Distas Muballighoh Tangsel: Dakwah Dengan Bahasa yang Mudah Dimengerti
HTI Press. Sabtu, (4/6) Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (MHTI) wilayah Tangerang Selatan mengadakan acara Diskusi Terbatas. Acara ini memang terbatas untuk tokoh muslimah yang telah banyak berkiprah di kegiatan dakwah dalam rangka memberi pencerahan kepada umat. Tidak kurang dari 14 orang tokoh muslimah, Ustadzah & Muballighoh dari kecamatan Ciputat dan Pamulang menghadiri acara ini. Kediaman salah satu ustadzah yaitu Hj. Nyai Aisyah Nasution menjadi tempat diselenggarakannya acara yang berlangsung pk 09.00 – 12.00 WIB.
Dalam sambutannya, tuan rumah menceritakan pengalamannya dalam berdakwah. Tidak semua niat baik untuk mengajak orang ke jalan yang lurus dapat diterima dengan baik. Namun kebenaran tersebut harus tetap disampaikan walaupun pahit. Hal ini dikuatkan pula oleh ketua panitia Isnaini.S.Si yang mengatakan bahwa para peserta diskusi sudah berbuat banyak untuk menyadarkan umat, namun umat Islam yang faham akan aturan Rabb nya, belum sesuaiĀ harapan. Oleh karena itulah dibutuhkan sinergi dakwah untuk membangkitkan umat. Berdakwah tidak bisa dilakukan sendirian, karena keterbatasan masing-masing, namun harus dilakukan secara berjamaah. Menyatukan potensi yang ada pada masing-masing orang atau kelompok. Sehingga, tinggal mencari formula yang tepat agar umat bisa bangkit dari keterpurukannya selama ini.
Apa yang menjadi pokok masalah dalam membangkitkan umat ini, dipaparkan oleh pembicara yang juga merupakan salah seorang dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Hj. Qothrun Nadaa, M.Si. Menurut pembicara, ada 4 pilar perubahan yaitu : keinginan sungguh-sungguh umat untuk berubah, konsep rinci perubahan yang diinginkan, pemimpin baru yang dipercaya, juga dukungan dari kekuatan militer.
Keempat pilar tersebut harus ada pada setiap upaya perubahan yang dilakukan. Perubahan yang diinginkan, harus jelas tujuannya dan benar caranya. Banyak contoh membuktikan apabila konsep rinci perubahan yang diinginkan tidak jelas, maka arah perubahanpun tidak jelas. Sehingga dimungkinkan adanya pihak yang berusaha untuk membelokkan arah perubahan yang diinginkan. Aqidah menjadi dasar untuk perubahan. Sehingga kalau kita lihat lagi perubahan yang dilakukan oleh Rosulullah SAW dengan tuntunan Allah SWT adalah perubahan menuju keadaan yang lebih baik dari sebelumnya, dari keadaan masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat yang Islami (Thoriqoh dakwah Rosulullah SAW). Itulah yang harus kita contoh. Sehingga para tokoh muslimah, ustadzah & muballighoh yang ingin agar umat berubah kepada keadaan yang lebih baik, mau tidak mau harus mengetahui secara rinci proses perubahan sehingga mereka dapat menjalankan perannya : mengajak umat untuk siap dengan perubahan itu. Selain itu, keikhlasan adalah sesuatu yang harus ada pada para tokoh dan seorang pemimpin.
Dengan melihat aktivitas Rosulullah, perubahan yang diinginkan adalah perubahan mendasar, dimana manusia tidak lagi menghamba pada aturan buatan manusia, tapi berubah menghamba hanya pada aturan Allah SWT. Perubahan yang dilakukan juga tidak didasarkan oleh rasa benci ataupun marah sehingga bisa merusak apa saja, tetapi rasa cinta terhadap saudara muslim lainnya. Karena seorang muslim harus selalu terikat kepada aturan Allah SWT, sehingga jika tidak seperti itu, maka harus ada aktivitas amar ma’ruf nahi munkar. Hal ini menjawab pertanyaan Ustadzah Maslihah yang menanyakan tentang dasar dan pedoman Hizbut Tahrir dalam melakukan perubahan, dan juga kekhawatiran beliau jika terjadi perubahan, sehingga beliau berpendapat tidak perlu perubahan, cukup dengan mendukung yang sudah ada.
Di penghujung acara, Banowati SP sebagai moderator juga menambahkan bahwa konsep perubahan ini bisa disampaikan kepada umat dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh mereka. Hal ini bisa dilakukan oleh para tokoh muslimah, ustadzah dan muballighoh, dimana umat masih mendengar seruan mereka. Sehingga umat mengerti bahwa jika mau berubah, maka sistem yang ada juga harus berubah. Jawaban untuk pertanyaan yang diajukan oleh Ustadzah Hasanah, menutup acara diskusi terbatas pada hari itu.
Untuk menguatkan peran tokoh di masyarakat, diputarkan pula film dokumenter Mutiara Kebangkitan yang dekat dengan aktivitas para undangan, yaitu Nyai Hj. Munawaroh, yang merupakan bu nyai di salah satu pesantren di Jember. Dimana beliau menyampaikan dakwah dengan bahasa yang dipakai dan dimengerti oleh masyarakat di sekitarnya.[]