Belum lagi RUU Intelijen disahkan, namun Anggota DPR RI Komisi I dari Fraksi PDIP, Sidarto Danusubroto mengatakan bahwa mayoritas anggota DPR sebenarnya menyetujui RUU ini.
“Ada 80% yang setuju, 20% yang menolak. Saya (FPDIP, red.) hanya minoritas,” paparnya saat diskusi Halaqoh Islam dan Peradaban yang diselenggarakan Hizbut Tahrir Indonesia, minggu 17/7/2011 di Jakarta.
Mantan Kapolda Jawa Barat ini mengatakan bahwa RUU Intelijen ditelurkan bukan untuk kepentingan rakyat, tapi demi langgengnya kekuasan pemerintah saat ini.
“Pemerintah ingin membuka taring kekuatan dengan UU ini,” tandasnya.
“UU ini harusnya untuk rakyat, bukan untuk kekuasaan. Sebab UU ini akan menjadi alat politik untuk membungkam lawan-lawan politik pemerintah,” tambahnya.
Kecenderungan Anggota DPR menerima RUU Intelijen memang diamini oleh Ahmad Muzani selaku perwakilan Komisi I dari Partai Gerindra.
“Kami tidak menolak, tapi kami meminta RUU ini mesti disempurnakan. Karena kami menilai ada 2 hal yang krusial yang harus diselesaikan. Pertama intersepsi (penyadapan, red). Kedua, penangkapan.” paparnya saat di diskusi yang sama.
Selanjutnya, Sidarto berpesan kepada pemerintah untuk tidak memanfaatkan intelejen demi kepentingan politik. Sebab sejatinya, tugas intelijen hanya menjadi early warning system, bukan eksekutor.
“Intelijen hanya menjadi early warning system, tapi jika menangkap itu bukan tugas intelejen. Intel itu doktrinnya boleh berbuat apa saja asal tidak kelihatan, tapi kalau ketahuan itu intel bodoh namanya.”
Sebelumnya beberapa kalangan LSM dan Umat Islam menolak RUU Intelijen. Mereka menilai RUU ini memberikan peran yang lebih luas terhadap intel seperti penyadapan dan penangkapan langsung kepada warga negara. (eramuslim.com, 18/7/2011)