Bagaimana Islam mengatur masalah harta gono gini suami istri dalam kasus perceraian?
Jawab :
Harta suami dan istri dalam masa perkawinan mereka tidak lepas dari tiga kategori berikut :
Pertama, harta milik suami saja, yaitu harta yang dimiliki oleh suami tanpa kepemilikan istri. Misal harta yang diperoleh dari hasil kerja suami, atau harta yang dihibahkan oleh orang lain kepada suami secara khusus, atau harta yang diwariskan kepada suami, dan sebagainya.
Kedua, harta milik istri saja, yaitu harta yang dimiliki oleh istri saja. Misal harta yang dari diperoleh hasil kerja istri, atau harta yang dihibahkan oleh orang lain khusus untuk istri, atau harta yang diwariskan kepada istri, dan lain-lain.
Ketiga, harta milik bersama suami istri. Misalnya harta yang dihibahkan oleh seseorang kepada suami istri secara bersamaan, atau harta benda (misalnya mobil, rumah, TV) yang dibeli oleh suami istri dari uang mereka berdua (patungan), atau harta yang sudah sulit diidentifikasi milik suami ataukah istri, dan sebagainya.
Harta kategori ketiga inilah yang disebut dengan istilah harta gono gini, yaitu harta milik bersama suami istri yang diperoleh sepanjang masa perkawinan mereka. Dalam istilah fiqih, harta milik bersama ini disebut syirkah amlak, yaitu kepemilikan bersama atas suatu benda (syarikah al-‘ain), semisal kepemilikan bersama atas harta yang diwarisi oleh dua orang, atau harta yang dibeli oleh dua orang, atau harta yang dihibahkan orang lain kepada dua orang. (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, hlm. 150). Inilah manath (fakta) yang hendak dihukumi. Bagaimana pembagian harta gono gini ini menurut syara’?
Sesungguhnya syara’ tidak membagi harta gono gini ini dengan bagian masing-masing secara pasti (fixed, tsabit), misalnya istri 50 persen dan suami 50 persen. Sebab sejauh pengetahuan kami tidak ada nash yang mewajibkan demikian, baik dari Al-Kitab maupun As-Sunnah. Pembagiannya bergantung pada kesepakatan antara suami dan istri berdasarkan ash-shulhu (perdamaian) di antara suami istri. Dalilnya adalah hadits dari ‘Amr bin ‘Auf Al-Muzni RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Perdamaian adalah boleh, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal dan [perdamaian] yang menghalalkan yang haram, dan kaum muslimin [bertindak] sesuai syarat-syarat di antara mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal dan syarat yang menghalalkan yang haram.” (HR Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi, dan disahihkan oleh Tirmidzi) (Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, 4/246, hadits no. 821; Imam Syaukani, Nailul Authar, 8/463, hadits no.2325)
Imam Ash-Shan’ani memberi syarah (penjelasan) hadits di atas bahwa di antara macam perdamaian adalah perdamaian antara suami istri dan perdamaian untuk memberikan sejumlah harta kepada lawan sengketa jika terjadi pada harta milik bersama (amlak). (Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, 4/247).
Dengan demikian, jika suami istri bercerai dan hendak membagi harta gono gini di antara mereka, dapat ditempuh jalan perdamaian (ash-shulhu). Sebab salah satu jenis perdamaian adalah perdamaian antar suami istri, atau perdamaian tatkala ada persengketaan mengenai harta bersama (amlak).
Dengan perdamaian, pembagian harta gono gini bergantung pada musyawarah antara suami istri. Boleh suami mendapat 50 persen dan istri 50 persen. Boleh suami mendapat 30 persen dan istri 70 persen, boleh pula suami mendapat 70 persen dan istri 30 persen, dan boleh pula pembagian dengan persentase-persentase yang lain. Semuanya dibenarkan syara’, selama merupakan hasil dari perdamaian yang telah ditempuh berdasarkan musyawarah dan kerelaan masing-masing pihak. Wallahu a’lam.[]