Teror Harga Menyambut Ramadhan

Dr. Muhammad K Sadik
(Anggota Lajnah Mashlahiyah DPP HTI)

Seperti agenda rutin tahunan, masyarakat diteror kenaikan harga kebutuhan pokok setiap kali menjelang Ramadhan tiba. Semestinya, bulan yang penuh berkah itu disambut dengan penuh keceriaan oleh masyarakat Muslim, namun kenyataannya tidak dapat dipungkiri harga-harga kebutuhan pokok yang terus beranjak naik itu telah ‘mengganggu’ keceriaan tersebut.

Liputan6.com (12/07/11) melaporkan bahwa dua pekan menjelang datangnya puasa Ramadhan, harga sejumlah kebutuhan pokok di berbagai tempat di Tanah Air merangkak naik. Di Pasar Palmerah, Jakarta, harga daging lokal naik dari Rp 65 ribu per kilogram menjadi Rp 70 ribu per kilogram. Diperkirakan harga daging bisa mencapai Rp 80 ribu per kilogram atau lebih. Sementara di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan kenaikan harga komponen sembako cukup signifikan. Bawang merah naik dari Rp 16 ribu menjadi Rp 24 ribu rupiah per kilogram. Harga cabai merah naik dari Rp 5 ribu menjadi Rp 13 ribu per kilogram. Belum lagi kenaikan beras, minyak curah, dan gula yang naik hingga 50 persen. Kenaikan harga diduga masih akan terus terjadi hingga puasa dan lebaran nanti.

Sementara menurut Metotvnews.com (15/07/11), di pasar tradisional Kosambi, Bandung, Jawa Barat, harga telur ayam mencapai Rp 17 ribu per kilogram. Padahal, harga sebelumnya hanya Rp 14 ribu. Sedangkan minyak kelapa curah dijual Rp 18 ribu per kilogram, naik Rp 2 ribu dari harga sebelumnya. Begitu pula dengan pasar tradisional di Palopo, Sulawesi Selatan. Kenaikan harga Rp 1.000 hingga Rp 1.500 terjadi pada beberapa jenis beras, seperti beras kepala dan beras ketan putih. Sedangkan harga cabai naik dari Rp 8 ribu menjadi Rp 10 ribu. Telur ayam dibanderol dengan harga Rp 33 ribu per kilogram, padahal harga sebelumnya hanya Rp 22 ribu.

Memperbaiki Nasib Umat

Menurut data Badan Pusat Statistik (bps.go.id) 2011, sejak Desember 2009 hingga Desember 2010 telah terjadi tren kenaikan harga kebutuhan pokok. Harga beras naik 30,9%, cabai rawit 119,14%, cabai merah 62,41%, minyak goreng 9,89%, telur ayam ras 9,82%, dan daging ayam naik 6,65%. Kenaikan harga tersebut akan berdampak langsung pada menurunnya daya beli masyarakat. Apabila diperkirakan rata-rata 60% pendapatan rumah tangga di Indonesia dihabiskan untuk konsumsi pangan, maka dampak kenaikan harga pangan terhadap daya beli masyarakat akan sangat signifikan khususnya masyarakat miskin. Padahal jumlah penduduk miskin,  menurut BPS per Juli 2011, dengan standar pendapatan kurang dari Rp 233 ribu, terdapat sebanyak 30,02 juta jiwa (12,49%). Sementara penduduk yang mendekati miskin dengan pendapatan diatas garis kemiskinan hingga Rp 250 ribu mencapai 57,15 juta jiwa (23,78%).

Konsep Kapitalisme dalam aspek peran negara, liberalilasi perdagangan pangan, dan spekulasi komoditas pangan di lantai bursa saham merupakan tiga hal utama sebagai penyebab terjadinya lonjakan harga kebutuhan pokok khususnya pangan. Hal itu dapat dijelaskan secara ringkas sebagai berikut:

Pertama, prinsip dasar sistem ekonomi Kapitalisme adalah bahwa negara tidak boleh campur tangan dalam perekonomian, sehingga ekonomi diserahkan pada mekanisme pasar semata yaitu harga, supply, dan demand. Negara bertindak seperti korporasi yang hanya bertugas menjamin berjalannya ekonomi mengikuti hukum supply dan demand. Terkadang negara berfungsi sebagai produsen dan terkadang berfungsi sebagai konsumen yang sama-sama mencari keuntungan dalam setiap transaksi dengan rakyatnya.

Hal ini berbeda secara diametral dengan sistem ekonomi Islam. Menurut Dr. Abdurrahman al-Maliki dalam bukunya ‘Siyasah al-Iqtishadiyyah al-Mutsla‘ (Politik Ekonomi Ideal) menyatakan bahwa politik ekonomi Islam adalah sejumlah hukum (kebijakan) yang ditujukan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok/primer setiap individu dan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) sesuai dengan kadar kemampuannya. Untuk itu, semua kebijakan ekonomi Islam diarahkan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan primer dan memberikan kemungkinan terpenuhinya kebutuhan pelengkap pada setiap individu yang hidup di dalam Khilafah Islamiyah, sesuai dengan syariah Islam.

Konsekuensinya, pada saat terjadi kenaikan harga kebutuhan pokok misalnya beras, maka Khilafah akan melakukan operasi pasar untuk menstabilkan harga guna menjamin terjangkaunya kebutuhan pokok oleh masyarakat. Berbeda dengan operasi pasar yang dilakukan oleh Bulog yang menganut konsep Kapitalisme, tujuan operasi pasar oleh Khilafah bukanlah untuk mendapatkan keuntungan, namun hanya untuk menjaga kemampuan daya beli masyarakat dan menciptakan keuntungan bagi para petani.

Teknisnya misalnya Khilafah melakukan kebijakan pembelian beras petani sesuai harga pasar kemudian menjualnya kepada para pedagang dan masyarakat dengan harga terjangkau di bawah harga pasar. Hal ini akan melindungi petani sebagai produsen sekaligus melindungi masyarakat yang menjadi konsumen. Sementara Bulog, ketika melakukan operasi pasar, membeli beras dari petani dengan batas harga tertinggi sesuai Harga Pokok Produksi (HPP) yang telah ditetapkan dan menjualnya ke masyarakat dengan harga di atas HPP.  Sehingga operasi pasar yang dilakukan pemerintah melalui Bulog adalah ‘operasi’ mengeruk keuntungan dari selisih harga HPP dengan harga jual tersebut, bukan dalam rangka melindungi petani dan masyarakat

Kedua, liberalisasi dan privatisasi di Indonesia melalui perusahaan multinasional di bidang pangan semakin kuat. Seperti yang dilaporkan oleh Surabayapost.co.id (25/05/11) penetrasi perusahaan asing di Indonesia tidak saja menguasai perdagangan pangan, tetapi meluas dari hulu ke hilir, seperti sarana produksi pertanian, meliputi benih dan obat-obatan hingga industri pengolahan, pengepakan, perdagangan, angkutan hingga ritel. Industri input pertanian saat ini dipasok hanya oleh sepuluh perusahaan multinasional (multinational corporation/MNC) dengan nilai penjualan mencapai Rp 340 triliun. Lima perusahaan raksasa diantaranya adalah Sygenta, Monsanto, Bayer Crop, BASF AG, dan Dow Agro. Di pihak lain, petani bergantung pada industri olahan dan pedagang pangan. Sepuluh besar MNC menguasai penjualan pangan senilai Rp 3.477 triliun. Lima di antaranya, yakni Nestle, Cargill, ADM, Unilever, dan Kraft Foods. Korporasi raksasa tersebut dapat dengan mudah mengontrol harga-harga pangan untuk kepentingan mereka. Sehingga naiknya harga pangan menjelang Ramadhan merupakan ‘berkah’ bagi mereka dan bencana bagi masyarakat.

Menurut Syaikh Abdul Qadim Zallum, liberalisasi perdagangan adalah alat negara-negara maju untuk membuka pasar untuk produk-produk manufaktur dan investasi negara-negara maju di negara-negara berkembang. Kebijakan ini tidak hanya memperlemah perekonomian dalam negeri, akibat tidak bisa bersaingnya produk-produk dalam negeri dengan produk-produk impor, tetapi juga akan melarikan kekayaan negara-negara berkembang ke negara-negara maju. Negara-negara berkembang akan terus menjadi konsumen utama dari komoditas dan investasi negara-negara maju. Akibatnya, negara-negara berkembang semakin sulit membangun pondasi ekonomi yang tangguh, akibat ketergantungan yang besar terhadap negara-negara industri.

Atas dasar tersebut, Khilafah tidak akan mengikatkan diri dengan  perjanjian perdagangan internasional khususnya pangan seperti WTO, APEC, dan AFTA, karena hal itu akan membuka kran dikuasainya umat Islam secara ekonomi oleh negara-negara kapitalis dunia. Allah Swt telah mengharamkan hal tersebut sebagaimana firman-Nya:

Allah tidak akan pernah memberikan jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang Mukmin (QS an-Nisa’: 141).

Ketiga, faktor lain yang turut mempengaruhi kenaikan harga kebutuhan pangan adalah terjadinya perdagangan komoditas pangan di lantai bursa oleh perusahaan multinasional di atas. Sebagai ajang pertaruhan, para investor akan membeli saham suatu komoditas jika diprediksi harganya akan mengalami kenaikan dan menjual ketika harganya diatas pembelian mereka. Mereka akan meraup keuntungan melalui fluktuasi harga tersebut, bahkan beberapa perusahaan bermodal besar bisa mempermainkan harga saham suatu komoditas sesuai target keuntungan yang ingin diraihnya. Parahnya, transaksi jual beli komoditas pangan di pasar riil justru mengikuti permainan ‘pat-gulipat‘ harga di lantai bursa tersebut.

Dari paparan di atas, jelas bahwa sistem Kapitalisme yang dianut di negeri ini telah menjadi sumber utama berbagai problem ekonomi termasuk kenaikan harga-harga pangan pokok. Karenanya, mengganti sistem Kapitalisme dengan sistem Islam merupakan kunci terpenting untuk menyelesaikan berbagai krisis dan problem ekonomi tersebut. Namun mana mungkin syariah Islam yang mulia itu dapat diimplementasikan tanpa adanya institusi penegaknya, yakni Khilafah Islamiyah. Sehingga seruan kaum Muslim di negeri ini untuk kembali pada syariah dalam naungan Khilafah Islamiyah harus dapat dibaca sebagai wujud kepedulian untuk membebaskan negeri ini dan memperbaiki nasib umat dari berbagai keterpurukan akibat penerapan Kapitalisme. Hanya dengan ketakwaan dalam wujud penerapan syariah-Nya, kaum Muslim akan menuai keberkahan-Nya dari langit dan bumi, sebagaimana firman-Nya:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ

Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi” (QS. al-A’raf: 96).

2 comments

  1. Bagimana sih ini pak Beye, kok gak ada greget utk menyenangkan wong cilik….harga2 mosok dibiarkan naik terus…. ayo lah gaya diubah, kok kalem2 wae….. Cool…Calm….akhirnya….over Confident…
    rakyate sing podo “ngeden”….(terpaksa).

  2. kejadian di atas bukan lagi kejadian yang lumrah khususnya pada para penjual di indonesia. kita tidak bisa menyalahkan mereka karena mereka punya alasan yang tegas untuk kenaikan harga tersebut. untuk masalah ini kelemahan pemerintah dalam mengontrol harga dan lemahnya menanggapi faktor eksternal dan internal dari kenaikan harga di pasaran.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*